Menuju konten utama

Kawin-Cerai antara Politik dan Agama

Presiden Jokowi menyatakan agar rakyat memisahkan urusan politik dengan agama. Prinsip memisahkan antara urusan politik dengan agama itu dikenal dengan sekularisme. Bagaimana praktiknya di berbagai negara dunia?

Kawin-Cerai antara Politik dan Agama
Duta Besar Indonesia Agus Sriyono disambut Paus Fransiskus di Vatikan. Foto/L’Osservatore Romano.

tirto.id - Dahulu, di Eropa, hampir semua aspek dalam masyarakat diatur Gereja. Dengan menggunakan nama Gereja, mereka juga memaksa masyarakat untuk mematuhi segala peraturannya dan dilarang untuk menentang Gereja.

Namun Gereja yang dianggap terlalu mendominasi hingga ke semua aspek dalam kehidupan masyarakat kemudian melahirkan gerakan untuk memisahkan antara Agama dan Negara. Kini banyak dikenal dengan nama sekularisme.

Doktrin Gereja juga banyak bertentangan dengan ilmu pengetahuan. Para ilmuwan dipaksa tunduk kepada doktrin Gereja. Sehingga ajaran Gereja pun ikut dipisahkan dari ilmu pengetahuan.

Faktor lain yang mendorong pemisahan antara agama dan negara di Barat karena adanya gerakan Reformasi Protestan awal abad ke-16 yang mengatakan bahwa Gereja telah menggunakan wewenangnya untuk kepentingan pribadi.

Martin Luther melakukan pemberontakan terhadap Paus terkait praktek jual beli surat penebusan dosa. Pada 31 Oktober 1517, Martin Luther memberontak dengan cara menempelkan 95 poin pernyataan (Ninety-five Theses) di pintu gerejanya, di Jerman.

Sekularisme mulai diperhitungkan keadaannya secara politis bersamaan dengan lahirnya Revolusi Perancis pada 1789. Lambat laun, sekularisme juga meluas ke berbagai negara di dunia. Terutama dalam bidang politik dan pemerintahan pada abad ke-20 M.

Di Perancis, pemisahan antara agama dan negara dikenal dengan Laïcité yang semangatnya mulai ada sejak Revolusi Perancis. Istilah Laïcité adalah kata yang tidak hanya bermakna netralitas negara terhadap agama, tetapi juga menandakan adanya komitmen yang kuat untuk menyebarluaskan seperangkat nilai-nilai sipil dan nasional.

Pada 1905, pemerintah Perancis dengan tegas memutuskan hubungan dengan Paus dan mengungkapkan pemisahan secara secara resmi terhadap agama dan negara dan menjadi negara sekuler ekstrem. Negara tak membiayai kegiatan apa pun terkait agama.

Tidak seperti negara Eropa lainnya yang berusaha untuk memberlakukan kebijakan ekumenikalisme dan pluralisme dalam menghadapi ketegangan agama dan negara, Perancis semakin memperketat pemisahan antara negara dan agama. Pemerintah Perancis juga sibuk mengurus atribut keagamaan. Perempuan dilarang berhijab di tempat-tempat umum, misalnya sekolah negeri.

Di Amerika Serikat, pemisahan antara negara dan agama tercantum dalam undang-undang dasar negara tersebut. Namun, di negeri Paman Sam, anggota militer dibolehkan memakai pakaian yang terkait kewajiban religius, misalnya hijab dan turban.

Di Inggris Raya, peran Gereja Inggris mulai dikurangi dalam kehidupan politik. Namun, kebijakan negara tetap mendukung semua agama dan tetap memberikan dana fasilitas pendidikan tak hanya untuk sekolah Anglikan tetapi juga sekolah Protestan, Yahudi, Hindu, dan lainnya.

Salah satu negara Skandinavia yakni Swedia, memisahkan hukum agama dengan hukum nasional. Meski sudah dipisahkan, negara masih memiliki hubungan dengan agama karena negara masih menyokong dana kepada organisasi-organisasi keagamaan.

"Titik kunci adalah bahwa Gereja Swedia tidak lagi memiliki kekuatan hukum pajak. Negara ini sekarang hanya membantu gereja mengumpulkan sumbangan sukarela, dan (untuk) agama lain juga,” kata Carl-Einar Nordling dari Departemen Kebudayaan, seperti dikutip Washington Post.

Infografik Sekularisme

Di Rusia, pemerintah setempat memisahkan urusan agama dengan politik. Namun aturan di Rusia cukup kontradiktif karena ada larangan aktivitas lembaga keagamaan di sekolah. Namun, negara ini mengizinkan pendidikan agama di sekolah-sekolah negeri.

Kontradiksi ini juga menunjukkan adanya ketidaksepakatan di Rusia mengenai tingkat hubungan antara gereja dan negara. Selain itu, beberapa aturan yang dibuat juga cenderung untuk mendukung Kristen Ortodoks di wilayah itu.

Di Tunisia, negara paling utara di Afrika, mulai beralih menjadi negara demokrasi setelah sekitar enam tahun lalu berjuang menggulingkan penguasa dan menjadi bagian dalam Arab Spring. Tunisia juga memisahkan antara kegiatan keagamaan dari orang-orang politik.

“Tunisia sekarang adalah [negara] demokrasi, Kegiatan keagamaan harus benar-benar independen dari aktivitas politik.... sehingga agama tidak akan disandera politik,” kata Politisi Tunisia, Rached Gannouchi untuk menggarisbawahi batasan konstitusional di kedua sekular ekstrem dan religius ekstrem, seperti dikutip GulfNews.

Cina juga termasuk yang memisahkan urusan agama dengan negara. Menurut tulisan pada situs Departemen Luar Negeri Amerika Serikat, konstitusi Cina menyatakan bahwa warga Cina "mempunyai kebebasan keyakinan beragama." Konstitusi itu juga melarang pemerintah, lembaga negara, dan individu untuk memaksa warga negara untuk meyakini, atau tidak meyakini, agama apa pun.

Namun, di Cina ada pembatasan. Konstitusi hanya melindungi "kegiatan religius normal", yang diawasi lima lembaga agama yang direstui pemerintah, yakni lembaga agama Buddha, Tao, Islam, Katolik, dan Protestan. Anggota Partai Komunis Cina tak dibolehkan terlibat dalam kegiatan-kegiatan religius. Kegiatan-kegiatan agama di tempat publik juga tak diperkenankan. Mereka hanya boleh berkegiatan di tempat-tempat ibadah yang terdaftar.

Norwegia, Islandia, Finlandia dan Denmark adalah negara yang semuanya mempunyai hubungan konstitusional antara Gereja dengan negara, namun mereka juga dikenal lebih progresif dan liberal dibandingkan negara tanpa hubungan agama. Misalnya, pemerintah Finlandia yang menyediakan dana untuk pembangunan masjid.

Di antara negara-negara di dunia, tentu ada yang menggunakan hukum agama untuk mengatur negara. Misalnya Arab Saudi yang berlandaskan hukum Islam. Juga Republik Islam Iran.

Sedangkan di Indonesia, Presiden Joko Widodo meminta semua pihak agar memisahkan persoalan politik dan agama. Pemisahan persoalan politik dan agama dipisahkan agar tidak terjadi gesekan antarumat. Ini terkait pilkada yang juga menyerempet kehidupan beragama.

"Memang gesekan kecil-kecil kita ini karena Pilkada. Benar enggak. Karena pilgub, pilihan bupati, pilihan walikota. Inilah yang harus kita hindarkan," kata Presiden Jokowi.

"Dipisah betul, sehingga rakyat tahu mana yang agama, mana yang politik," kata Jokowi, seperti dikutip Antara.

Secara prinsip, Indonesia kerap mengklaim bahwa negara ini bukanlah negara agama, tapi juga bukan agama sekuler. Indonesia mengakui 6 agama, mempunyai Departemen Agama, juga mengadopsi hukum Islam dalam UU Perkawinan. Ada pula wilayah yang memakai hukum agama, yakni Provinsi Aceh.

Baca juga artikel terkait SEKULARISME atau tulisan lainnya dari Yantina Debora

tirto.id - Politik
Reporter: Yantina Debora
Penulis: Yantina Debora
Editor: Maulida Sri Handayani