Menuju konten utama

Kasus Yayasan Supersemar Menutup Kans Gelar Pahlawan Bagi Soeharto?

Kasus Yayasan Supersemar yang sudah diputus dan dieksekusi pengadilan menuai kembali pro kontra wacana adanya peluang atau tidaknya Soeharto meraih gelar pahlawan nasional.

Kasus Yayasan Supersemar Menutup Kans Gelar Pahlawan Bagi Soeharto?
Presiden Ri ke-2, Soeharto. FOTO/Doc.Life.

tirto.id - Eksekusi Putusan Pengadilan Negeri Jakarta Selatan sejak 2016 berdampak pemulihan uang negara senilai Rp214 miliar yang berasal dari rekening deposito/giro/rekening milik Yayasan Supersemar. Yayasan ini dibentuk Soeharto pada 16 Mei 1974 dengan tujuan awal membantu dunia pendidikan.

Namun, pasca putusan pengadilan berimplikasi pada rekam jejak nama Soeharto sebagai sosok di balik pemrkarsa dan sempat memimpin Yayasan Supersemar saat berkuasa. Sehingga memunculkan spekulasi terutama pada wacana yang pernah beredar sebelumnya, yaitu layak atau tidak Soeharto mendapat gelar pahlawan nasional.

Persoalan integritas menjadi poin bila persoalan keputusan ini dikaitkan dengan wacana usulan pahlawanan nasional bagi presiden kedua Indonesia ini. Pada pasal 25 UU No 20 tahun 2009 tentang Gelar, Tanda Jasa dan Tanda Kehormatan secara jelas mensyaratkan bahwa penerima gelar, tanda jasa, dan tanda kehormatan, antara lain harus punya integritas moral dan keteladanan, berkelakuan baik, dan lainnya.

Langkah membentuk yayasan adalah cara Soeharto menghimpun dana. Dalam laporan mendalam yang pernah dirilis Tirto, diketahui bahwa Soeharto sudah mendirikan yayasan untuk membiayai keperluan tentara sejak menjabat Kepala Staf Divisi Diponegoro di Semarang pada 1950-an.

Kebiasaan mendirikan yayasan giat dilakukan Soeharto sejak ia menjadi Presiden, 1967 silam. Berdasarkan catatan George Junus Aditjondro, trio Yayasan Dakab-Supersemar-Darmais memiliki saham di 27 perusahaan.

Mengutip Business Week edisi 17 Februari 1997, George menyebutkan, ketiga yayasan itu menguasai saham di 140 perusahaan lewat PT Nusamba. Jumlah kekayaannya ditaksir 5 miliar dolar AS.

Salah satunya Yayasan Supersemar, berdasarkan laporan yayasan ini, hingga 2015 mereka sudah memberikan beasiswa Rp732 miliar. Organisasi itu memiliki dana abadi sekitar Rp600 miliar yang tersebar di rekening, giro, dan deposito milik Yayasan Supersemar. Selain menyalurkan beasiswa, Yayasan Supersemar ternyata juga menyalurkan uang ke beberapa perusahaan yang tak bergerak di bidang pendidikan.

Pemberian uang ke perusahaan-perusahaan itu dianggap salah oleh penegak hukum. Berdasarkan putusan pengadilan 2015 lalu, Supersemar terbukti menyalurkan uang ke empat perusahaan, yakni PT Bank Duta, PT Sempati Air, Kiani Lestari, dan PT Kalhold Utama.

PT Bank Duta menerima berturut-turut $125 juta, $19 juta, dan $275 juta. Aliran dana ke PT Sempati Air sebesar Rp13 miliar. Kemudian, Kiani Lestari menerima Rp150 miliar dan PT Kalhold Utama mendapat Rp12,7 miliar. Uang itu diberikan saat Soeharto masih menjadi Presiden.

Nah, dari sinilah ada yang berpendapat bahwa Soeharto tak layak mendapatkan gelar pahlawan nasional. Ahli hukum tata negara dari Sekolah Tinggi Hukum (STIH) Jentera Bivitri Susanti mengatakan kasus korupsi di Yayasan Supersemar tak terbantahkan.

"Soal korupsi Yayasan Supersemar ini sangat jelas. Badan hukumnya apa, siapa yang memegang kontrol atas badan itu, dan jelas sudah ada putusan Pengadilan yang sudah berkekuatan hukum tetap bahkan dieksekusi sebagian," kata Bivitri kepada Tirto, Kamis (22/3/2018).

Pendiri Pusat Studi Hukum dan Kebijakan Indonesia (PSHK) itu menyinggung beberapa alasan yang kerap digunakan bagi mereka menentang wacana pemberian gelar pahlawan nasional untuk Soeharto. Persoalan integritas moral dan keteladanan Soeharto.

Selain itu, Soeharto juga disebutnya sering dikaitkan dengan pelanggaran HAM masa lalu, tetapi tidak banyak kasus-kasus yang bisa dihubungkan langsung terhadapnya.

"Jadinya supaya lebih lebih jelas ukurannya dari aspek hukum. Seseorang yang memimpin sebuah badan hukum, yang terbukti korupsi, sangat tidak memenuhi kriteria ini (gelar kehormatan)," ujar Bivitri.

Pro dan Kontra

Ahli hukum dari Universitas Andalas, Feri Amsari mengatakan selain bukti kesalahan di kasus Yayasan Supersemar, gelar pahlawan nasional tak bisa diberikan karena Soeharto meninggalkan banyak masalah di masa lalu.

"Terutama berkaitan dengan pelanggaran HAM yang mengorbankan rakyat Indonesia sendiri. Itu menyebabkannya berbeda dengan figur tokoh-tokoh bangsa yang meskipun punya masalah masa lalu, tetapi tetap diberikan gelar pahlawan,” kata Feri.

Namun, perspektif Feri ini berlawanan dengan pakar hukum tata negara dari Universitas Islam Indonesia (UII) Ni'matul Huda. Menurut alumnus program doktoral UII itu, pemberian gelar pahlawan seharusnya tak dilakukan karena pertimbangan hukum saja.

"Benarkah HM. Soeharto selama menjadi presiden tidak ada jasa yang bisa diapresiasi oleh warga bangsa? Mungkin beliau tidak butuh gelar pahlawan, tetapi bangsa yang baik adalah yang selalu menghargai jasa pemimpinnya,” kata Ni'matul kepada Tirto.

Argumen Ni'matul Huda juga tak terlepas dari pasal 25 UU No 20 tahun 2009 tentang Gelar, Tanda Jasa dan Tanda Kehormatan, salah satu syaratnya adalah "berjasa terhadap bangsa dan negara"

Anggota Komisi III DPR RI dari Fraksi PKSNasir Djamil berpendapat, Soeharto lebih baik tidak diusulkan menjadi pahlawan nasional. Menurutnya, Soeharto merupakan sosok yang kerap menimbulkan kontroversi. Nasir khawatir ada kegaduhan baru bila Soeharto diusulkan mendapat gelar pahlawan.

"Menurut saya memang sebaiknya lupakan saja keinginan untuk menjadikan Soeharto sebagai pahlawan nasional... Masih banyak kok tokoh bangsa yang memang perlu dilihat untuk dijadikan pahlawan nasional," kata Nasir kepada Tirto.

Hal senada juga diungkapkan Ketua Fraksi PKB di DPR RI, Jazilul Fawaid. Ia menilai, sulit bagi Soeharto mendapat gelar pahlawan nasional. Kesulitan muncul karena Soeharto dinilai memiliki banyak tunggakan masalah.

“Salah satunya [Supersemar mempersulit]. Kami berikan apresiasi saja yang mau mengajukan monggo [silakan]. Tapi kan ada aturannya, kemungkinannya agak sulit. Gus Dur setingkat guru bangsa saja sulit kok [mendapat gelar pahlawan]," ujar politikus asal Gresik, Jawa Timur itu.

Baca juga artikel terkait YAYASAN SOEHARTO atau tulisan lainnya dari Lalu Rahadian

tirto.id - Politik
Reporter: Lalu Rahadian
Penulis: Lalu Rahadian
Editor: Abdul Aziz