tirto.id - Penetapan tersangka mantan Kepala Kepatuhan dan Satuan Audit Internal Badan Amil Zakat Nasional (Baznas) Jabar, Tri Yanto, menuai polemik. Pasalnya, ia disebut beberapa pihak sebagai whistleblower kasus korupsi di lembaga tersebut, walau Baznas membantah hal ini.
Tri Yanto baru-baru ini secara resmi ditetapkan sebagai tersangka oleh Polda Jawa Barat (Jabar) atas tuduhan tindak pidana akses ilegal dan pembocoran dokumen rahasia. Ia dijerat dengan Pasal 48 jo Pasal 32 ayat (1) dan (2) Undang-Undang ITE.
Menurut keterangan Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Jabar, Tri Yanto ditetapkan menjadi tersangka oleh Polda Jabar pada 26 Mei 2025.
Penyidik juga kemudian memeriksa Tri di Markas Polda Jabar pada Senin (26/5/2025) pukul 10.00 WIB.
Dalam keterangan tertulis kepada Tirto, Kabid Humas Polda Jabar, Kombes Pol. Hendra Rochmawan, menerangkan, kasus Tri Yanto bermula atas laporan Wakil Ketua III Bidang Perencanaan, Keuangan dan Pelaporan, Baznas Jabar, Achmad Ridwan.
Dalam laporan bernomor LP/B/108/III/2025/SPKT.DIT SIBER/POLDA JAWA BARAT, disebutkan bahwa Tri Yanto mengirimkan dokumen kerja sama antara Baznas Jabar dengan Stikes Dharma Husada kepada pihak luar.
Hendra menjelaskan jika dokumen kerja sama yang dikirim pada 16 Februari 2023 itu dipindahkan ke laptop pribadi tersangka sekitar Agustus 2023.
"Selain itu, beberapa dokumen penting, termasuk laporan pertanggungjawaban atas dana hibah Belanja Tidak Terduga (BTT) APBD Provinsi Jawa Barat Tahun 2020, diduga turut dicetak dan disebarkan ke sejumlah instansi," kata Hendra, Selasa (27/5/2025).
Menurut Hendra, dokumen yang disebarluaskan oleh Tri Yanto masuk dalam klasifikasi informasi yang dikecualikan, berdasarkan Surat Keputusan Ketua Baznas Provinsi Jawa Barat Nomor 93 Tahun 2022. Polda Jabar telah memeriksa sejumlah pimpinan Baznas Jabar, sejumlah pakar pidana, dan ahli ITE sebagai penguat pembuktian.
Selain itu, Hendra juga membantah bila Tri Yanto telah membuat Laporan Polisi (LP) terkait dugaan kasus korupsi di internal Baznas Jawa Barat. Dia mendorong, apabila Tri Yanto memiliki bukti kuat bahwa telah terjadi korupsi, untuk segera dilaporkan kepada aparat penegak hukum.
"Hingga saat ini, kami belum menerima LP dari yang bersangkutan, kami mendorong apabila yang bersangkutan ini adalah whistleblower untuk segera membuat laporan ke kepolisian," katanya.
Saat ini, Tri Yanto telah menunjuk LBH Bandung untuk menjadi kuasa hukum atas kasus yang dihadapinya. Kepala Divisi Internal LBH Bandung, Rafi Saiful Islam, mengakui jika kliennya belum pernah membuat aduan ke Polda Jabar atas kasus dugaan korupsi.
"Belum pernah," kata Rafi saat dihubungi Tirto, Selasa (27/5/2025).

Meski demikian, Rafi menjelaskan bahwa Tri Yanto layak menyandang status sebagai whistleblower atau pengungkap fakta, karena pernah membuat laporan atas dugaan korupsi di Baznas Jabar.
Laporan tersebut diadukan secara internal kepada Baznas RI dan Inspektorat Jawa Barat. Selain itu, Tri Yanto juga disebut telah membuat laporan kepada Kejaksaan Tinggi Jawa Barat, namun belum ada tindak lanjut hingga kini.
"Saudara TY menduga ada dugaan korupsi di Baznas Jabar, kemudian melaporkan secara internal ke Inspektorat Jabar, namun entah kenapa identitasnya diketahui," kata Rafi.
Hal ini juga senada dengan keterangan Indonesia Corruption Watch (ICW) di siaran persnya. Mereka menyebut bahwa kriminalisasi pelaporan dugaan korupsi Baznas bermula saat TY selaku internal auditor melaporkan dugaan kasus korupsi dana zakat sebesar Rp9,8 miliar pada periode 2021-2023 dan dana hibah APBD Pemerintah Provinsi Jawa Barat sebesar Rp3,5 miliar. Tri Yanto sebagai whistleblower menempuh jalan panjang dengan melaporkan dugaan kasus korupsi tersebut ke berbagai pihak, antara lain Aparat Pengawas Internal Pemerintah (APIP), pengawas internal Baznas, hingga ke sejumlah penegak hukum.
Rangkaian upaya yang ditempuh Tri Yanto harus dipandang sebagai upaya itikad baik dalam perbaikan tata kelola dana zakat dalam Baznas. Namun, pelaporan yang dilakukan oleh TY tidak berkembang.
Status Tri Yanto sebagai pelapor pun akhirnya diketahui oleh Wakil Ketua Baznas selaku terlapor, yang kemudian dilaporkan balik ke Polda Jawa Barat. Alih-alih fokus pada kebenaran materiil pada pelaporan Tri Yanto, Polda Jawa Barat justru menetapkan Tri Yanto sebagai tersangka.
Klarifikasi Baznas dan Perlindungan Bagi Whistleblower
Berbeda dengan keterangan ICW, Wakil Ketua IV Baznas Jabar, Achmad Faisal, membantah jika pihaknya mengadukan Tri Yanto ke Polda Jabar karena tindakannya yang berusaha mengungkap kasus korupsi di internal lembaga filantropi tersebut.
Faisal menegaskan bahwa Tri Yanto telah mengakses dokumen tanpa ijin di internal Baznas Jabar dan kemudian disebarluaskan kepada publik. Padahal menurutnya, dokumen tersebut bersifat rahasia dan tidak boleh disebarluaskan.
"Bahwa permasalahan Saudara TY bukanlah pengaduan persoalan whistleblower, melainkan saudara TY telah mengakses dokumen internal secara tidak sah dan menyebarkannya kepada pihak-pihak yang tidak berkepentingan atau berwenang baik perorangan maupun pada grup-grup media sosial," kata Faisal saat dihubungi Tirto, Selasa (28/5/2025).
Dia menyebut, tudingan korupsi di internal Baznas Jabar telah diselesaikan dengan audit investigasi yang dilakukan oleh Inspektorat Jabar bersama Baznas RI. Dari hasil audit tersebut dinyatakan tidak ada bukti korupsi, sehingga menurut Faisal, Tri Yanto tidak berhak menyandang status sebagai whistleblower.
"Pada kenyataannya, yang bersangkutan melakukan pelanggaran terhadap prosedur mengakses dokumen tanpa ijin dan menyebarkannya ke berbagai pihak yang tidak bertanggung jawab," kata dia.

Faisal mengakui, Tri Yanto sudah dipecat oleh pihak Baznas Jabar. Dia membantah bila pemecatan itu dilakukan karena Tri Yanto mengungkap kasus korupsi di Baznas Jabar, namun dikarenakan permasalahan etika internal. Dia menyebut proses pemecatan sudah dilakukan sejak setahun sebelum aduan masuk ke Polda Jabar.
"Narasi yang menyatakan bahwa Saudara TY diberhentikan karena mengadukan dugaan korupsi adalah tidak benar, dan linimasanya tidak sesuai," kata Faisal.
Kuasa Hukum dari LBH Bandung, Rafi Saiful Islam, mengungkapkan bahwa upaya pemindahan file yang dilakukan oleh Tri Yanto adalah dalam rangka prosedur pengaduan atas dugaan kasus korupsi di internal Baznas Jabar.
Rafi membantah jika file internal tersebut disebarkan ke publik, sebagaimana dituduhkan oleh Baznas Jabar.
"Tidak ada penyebaran file, yang ada adalah permintaan dokumen terkait guna mendukung pengaduan Saudara TY, di 3 instansi di atas," kata Rafi.
Di sisi lain, Kepala Divisi Hukum dan Investigasi ICW, Wana Alamsyah, mendesak polisi membatalkan status tersangka Tri Yanto karena informasi yang dibagikan merupakan milik publik. ICW juga menilai kriminalisasi terhadap pelapor dugaan kasus korupsi yang terjadi di Baznas menunjukkan kemunduran dalam upaya pemberantasan korupsi di Indonesia.
Selain itu, menurut Wana, Tri Yanto hanya membagikan informasi kepada aparat penegak hukum dan inspektorat pengawas yang kemudian dibocorkan oleh oknum internal.
Hal ini berdasar pada Pasal 17 Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2008 tentang Keterbukaan Informasi Publik, bahwa ada 10 jenis informasi yang dikecualikan.
"Selain itu, informasi yang dikuasai oleh Tri Yanto selaku whistleblower tidak pernah sekalipun disampaikan ke publik, hanya diberikan kepada pengawas internal Baznas, APIP (Aparat Pengawasan Intern Pemerintah), Kementerian Agama, dan penegak hukum," kata Wana dalam keterangan pers, Selasa (28/5/2025).
Wana mengungkapkan, Tri Yanto adalah saksi kunci atas dugaan 6 kasus korupsi dana zakat dengan total 13 pelaku. Kerugian keuangan negara dalam kasus-kasus ini mencapai Rp12 miliar pada tahun 2011 hingga 2024. Enam pelaku di antaranya merupakan pengurus Baznas, mulai dari jabatan ketua, wakil ketua, hingga bendahara.
ICW berpedoman bahwa KPK memberikan perlindungan bagi whistleblower sesuai dengan Pasal 15 huruf a Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2019 tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Ini mestinya memperkuat alasan bagi Tri Yanto untuk dibebaskan dari jeratan tersangka dan proses penahanan maupun wajib lapor.
"Polda Jawa Barat harus menghentikan laporan dan mengeluarkan SP3 terhadap TY karena patut diduga ada upaya membungkam whistleblower dalam untuk membongkar dugaan korupsi di Baznas," katanya.
Senada, LBH Bandung juga menilai telah terjadi beberapa pelanggaran. Pertama, terhadap hak atas perlindungan whistleblower (Pasal 33 UU No. 13/2006 tentang Perlindungan Saksi dan Korban) yang sejatinya merupakan derivasi dari UN Convention Against Corruption Pasal 32-33.
Kedua, hak atas proses hukum yang adil, sesuai International Covenant on Civil and Political Rights (ICCPR) Pasal 14, dimana terjadi ketimpangan akses keadilan antara pelapor (individu) dengan institusi kuat seperti Baznas.
Ketiga, hak atas kebebasan berekspresi, sesuai Pasal 19 ICCPR, yang dibatasi melalui pemidanaan UU ITE. Kemudian, kasus ini memperlihatkan pola struktural yang problematik dimana hukum digunakan sebagai alat represi dengan penggunaan pasal karet di UU ITE untuk melindungi pelanggaran & terjadi asimetri kekuasaan di mana terjadi ketidakseimbangan antara pegawai biasa versus lembaga berjaringan politik kuat.
"LBH Bandung mencatat setidaknya terdapat potensi dampak sistemik dari kasus ini, beberapa di antaranya adalah terciptanya chilling effect bagi pegawai lain yang mengetahui penyimpangan, melemahnya partisipasi masyarakat dalam pengawasan dana publik, ancaman terhadap iklim transparansi di sektor zakat nasional. Bila dibiarkan, kasus ini akan menjadi preseden buruk bagi perlindungan whistleblower di Indonesia," kata lembaga ini dalam siaran persnya.
Penulis: Irfan Amin
Editor: Farida Susanty
Masuk tirto.id


































