Menuju konten utama

MA Nyatakan Tidak Ada Kekebalan Hukum Bagi Whistleblower

MA menyatakan bahwa kekebalan hukum bagi pelapor tindak pidana atau "whistleblower" tidak berlaku di Indonesia.

MA Nyatakan Tidak Ada Kekebalan Hukum Bagi Whistleblower
Gedung Mahkamah Agung di Jalan Medan Merdeka Utara, Jakarta. FOTO/Mahkamah Agung

tirto.id - Mahkamah Agung (MA) menyatakan hukum di Indonesia tidak memberikan kekebalan hukuman bagi pelapor tindak pidana atau "whistleblower".

"MA hanya memberikan keringanan hukuman namun tidak memberikan kekebalan hukum bagi pelapor tindak pidana atau saksi yang bekerja sama dalam kasus pidana," kata Kepala Biro Humas dan Hukum MA Abdullah di Gedung MA Jakarta, Jumat (6/10/2017).

Abdullah mengatakan hal tersebut tertuang dalam Surat Edaran Mahkamah Agung (SEMA) Nomor 4 Tahun 2011 bertanggal 10 Agustus 2011 tentang Perlakuan Bagi Pelapor Tindak Pidana (whistleblower) dan Saksi Pelaku yang Bekerja Sama (justice collaborator).

Dalam SEMA No.4 Tahun 2011 tertulis bahwa para hakim diperkenankan memberikan perlakuan khusus berupa keringanan pidana dan atau perlindungan, namun bukan kekebalan hukum.

Keringanan pidana bagi pelapor tindak pidana dan saksi atau pelaku yang bekerja sama dapat diberikan oleh hakim dalam bentuk pidana percobaan bersyarat khusus atau hukuman penjara yang paling ringan dibandingkan dengan terdakwa lain dalam perkara yang sama.

"Pemberian perlakuan khusus tetap harus mempertimbangkan rasa keadilan masyarakat," kata Abdullah.

Hal ini, menurut Abdullah memang berbeda dengan Konvensi PBB Anti Korupsi Pasal 37 ayat (2) dan ayat (3) serta Konvensi PBB Anti Kejahatan Transnasional yang Terorganisasi, yang mengatur tentang kewajiban negara peserta konvensi untuk mempertimbangkan pengurangan hukuman bahkan kekebalan hukum dari penuntutan bagi pelaku yang bekerja sama (justice collaborator).

Penuntut umum dalam tuntutannya harus menyebutkan bahwa yang bersangkutan telah memberikan keterangan dan bukti-bukti yang sangat signifikan, kata Abdullah.

"Namun semua berpulang kepada penuntut umum untuk menyebutkan dalam surat tuntutan atau tidak," pungkas Abdullah.

Sebelumnya agen khusus FBI Jonathan Holden dalam keterangannya menyatakan bahwa saksi kunci kasus e-KTP, Johannes Marliem, dalam wawancara terakhirnya di KJRI pada tanggal 6 Juli 2017 memberikan pernyataan tertulis bahwa Marliem akan memberikan seluruh bukti fisik dan elektronik kepada KPK dengan imbalan berupa kekebalan dari tuntutan.

Baca juga artikel terkait KORUPSI E-KTP atau tulisan lainnya dari Dipna Videlia Putsanra

tirto.id - Hukum
Reporter: Dipna Videlia Putsanra
Penulis: Dipna Videlia Putsanra
Editor: Dipna Videlia Putsanra