tirto.id - Pada Minggu (26/10/2025) dini hari, Repan—pemuda 16 tahun asal Desa Kanekes (awam lazim menyebut mereka Orang Baduy)—menjadi korban pembegalan. Semua berawal sekira pukul 03.30 WIB, saat Repan berjalan kaki dari arah Manggarai, Jakarta, ke arah Rawasari. Dia hendak ke sebuah pasar untuk menjajaki berjualan madu dari Kanekes.
Repan di Jakarta sudah lebih dari satu pekan terakhir. Rutinitas menjajakan madu asli Kanekes sudah dia lakoni beberapa tahun belakang.
Dini hari itu, Repan menenteng 10 botol madu. Itu adalah kiriman baru dari kampung setelah kloter pertama ludes terjual.
Enip, paman Repan, bercerita bahwa kondisi jalanan Rawasari saat itu lengang. Hingga kemudian, melintaslah motor yang dikendarai dua orang dari arah belakang Repan. Mereka membawa celurit.
“Lalu, dirampas tasnya. Karena kaget, Repan menjulur tangannya ke atas sampai leher karena yang diincar penjahat adalah leher Repan. Lalu, ditepis dan akhirnya kena sajam tangan kirinya,” kata Enip kepada Tirto, Senin (10/11/2025).
Tak lama kemudian, datang lagi kawanan begal bermotor. Mereka lantas membawa kabur hasil rampasan. Sementara itu, dua begal pertama tetap di tempat dan menghalau Repan dengan celuritnya.
Repan terkapar setelah diserang tiga kali dengan celurit. Satu tebasan mengenai tangan kiri, dua lainnya melenceng. Baju Repan ikut robek gara-gara serangan itu.
“Sampai Repan enggak berdaya, mereka lari,” ujar Enip.
Para pembegal membawa kabur uang tunai Rp3 juta dari Repan. Selain itu, 10 botol madu pun turut dicuri berikut sebuah ponsel seharga Rp1 juta. Jika ditotal, Repan merugi setidaknya Rp5 juta.
Usai pembegalan itu, Repan seorang diri mendatangi sebuah rumah sakit di kawasan Cempaka Putih, Jakarta Pusat. Dia tiba di rumah sakit dengan kondisi tangan sebelah kiri terluka. Darah pun masih bercucuran dari lukanya yang cukup dalam. Namun, pihak rumah sakit itu disebut hanya memberikan penanganan sekadarnya.
Luka Repan hanya dibalut perban untuk menekan keluarnya darah. Tak ada intervensi medis lebih lanjut. Pihak rumah sakit tak mengambil langkah medis lanjutan lantaran Repan tidak memiliki KTP. Karena tak ber-KTP, dia pun tak tercakup dalam Jaminan Kesehatan Nasional (JKN).
Dengan tangan diperban, Repan kemudian berjalan kaki ke arah Tanjung Duren, Jakarta Barat. Dia menuju kediaman seorang bernama Nello—kenalannya yang kerap membeli madu dan memberikan tumpangan menginap. Setidaknya, dia berjalan dengan tangan luka selama empat jam lamanya.
“Selama perjalanan ke rumah Pak Nello, warga yang melihat tidak ada yang menanyakan atau menghampiri Repan. Kecuali, saat melintas di depan Polsek Grogol. Di situ, ada polisi yang bertanya Repan mau ke mana dan ditawari untuk diantar. Tapi, Repan tidak mau karena tidak biasa naik motor. Lalu, dia dikasih jajan dan ditunjukkan arah jalan,” kata Enip.
Sesampainya di rumah Nello, barulah Repan mendapat perawatan serius. Dia dibawa ke klinik terdekat, tapi faskes itu tak mampu mengobati lantaran lukanya terlampau dalam. Repan akhirnya dirujuk ke RS Ukrida.
Di RS Ukrida itulah, dia mendapat pengobatan melalui jalur umum yang biayanya ditanggung oleh Nello.
Keluarga Repan Menuntut Keadilan
Enip bergegas ke Jakarta begitu dapat kabar keponakannya dibegal. Dia dan Repan kembali ke titik tempat pembegalan terjadi. Tujuannya sebagai bekal untuk pelaporan ke pihak kepolisian pada 2 November 2025. Mereka berjalan sekira 4 jam dari rumah Nello ke TKP tersebut.
“Lalu, saya ke Polsek Cempaka Putih berjalan kaki 1 jam. Di kantor polisi, Repan ditanyai kronologi kejadian. Dibikinkan laporan polisi. Setelah itu, dikasih juga laporannya dan disuruh tunggu satu minggu. Dibilang kalau tidak ada perkembangan selama seminggu, diarahkan pulang. Nanti akan dikomunikasikan kalau ada perkembangan, tapi sampai sekarang lebih dari seminggu belum ada info berarti apa pun,” kata Enip.
Pihak Polsek Cempaka Putih, kata Enip, kesulitan dalam mencari alat bukti lantara tidak ada CCTV di sekitar TKP. Ditambah lagi, tidak ada saksi mata yang melihat kejadian pembegalan itu. Bahkan, polisi meminta Repan untuk kembali ke Kanekes.
Keluarga Repan menginginkan pengungkapan kasus pembegalan ini dituntaskan. Mereka tidak menafikan bahwa memang ada isu ketimpangan akses kesehatan bagi masyarakat adat, tetapi kini jauh lebih penting soal penegakan hukum kriminalitas yang dialami Repan.
“Keluarga berharapnya kalau pihak polsek tidak sanggup mengusut, baiknya dilempar saja ke polres atau polda. Pelaku harus ditindak sesuai aturan berlaku,” ujar Enip.
Teranyar, Repan tengah berada di kantor Badan Penghubung Provinsi Banten yang ada di Jakarta Selatan. Saat Tirto mendatangi kantor tersebut, pihak pengelola mengonfirmasi bahwa Repan sedang menjalani perawatan lanjutan dari pihak Dinas Kesehatan Provinsi Banten.
Keadilan Akses Layanan Kesehatan untuk Masyarakat Adat
Koordinator Advokasi BPJS Watch, Timboel Siregar, mewanti-wanti bahwa rumah sakit semestinya tidak menolak atau memberikan perawatan ala kadarnya pada pasien yang tak memiliki dokumen kependudukan atau tak tercakup dalam JKN.
Pihak rumah sakit itu disebut tidak memahami asas lahirnya Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2023 tentang Kesehatan. Padahal, Pasal 2 UU tersebut telah menegaskan asas perlindungan dan keselamatan.
“Kalau benar Repan hanya dibalut perban tanpa diobati lukanya secara serius. Itu sudah melanggar UU Kesehatan,” kata Timboel kepada Tirto, Senin (10/11/2025).
Pihak rumah sakit juga disebut Timboel tidak memahami regulasi bahwa korban kekerasan ada yang menjamin, yaitu Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban. Sehingga, pihak rumah sakit jangan melulu berpatokan pada kepemilikan JKN.
Pun demikian, fasilitas kesehatan semestinya terbuka untuk menangani siapa pun yang mengalami kondisi gawat darurat.
“Jadi, itu sudah pelanggaran oleh RS. Masyarakat yang datang ke RS dengan kondisi gawat darurat wajib diterima dan diobati oleh pihak RS. Tapi, masalahnya kalau tidak punya KTP dan tidak punya JKN atau tidak aktif itu akan sulit diterima karena RS berorientasi siapa yang menjamin,” ujar Timboel.
Oleh karena itulah, Timboel menekankan masalah ketimpangan akses kesehatan bagi masyarakat adat mesti segera diatasi. Jika yang menjadi masalah adalah KTP, pemerintah semestinya bisa menjamin kepemilikan KTP dengan memperhatikan unsur kearifan lokal. Rujukannya jelas seperti Pasal 28H Syat (3) UUD 1945 yang menyatakan setiap orang berhak atas jaminan sosial.
“Kasus [Repan] soal akses layanan kesehatan ini menjadi refleksi. Seandainya pun ada masalah kearifan lokal di masyarakat adat terkait kepemilikan KTP, ya tetap saja pemerintah pastikan pencatatan legalnya supaya bisa mendapatkan hak layanan kesehatannya. Jadi, karena tidak punya KTP lantas tidak bisa terlindungi jaminan kesehatan, itu salah,” tegas Timboel.

Sementara itu, Direktur Advokasi Kebijakan, Hukum, dan HAM Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN), Muhammad Arman, mengingatkan bahwa pencatatan sipil bagi masyarakat adat memang masih bermasalah. Banyak masyarakat adat belum terlayani untuk urusan KTP.
Banyak faktor yang mempengaruhinya, salah satunya karena layanan administrasi kependudukan tidak bersesuaian dengan kultur masyarakat adat. Di antaranya adalah persoalan agama yang harus diisi dalam kolom KTP.
“Lalu, ada permintaan dari pemerintah untuk melepas ikat kepala seperti yang dipakai masyarakat Baduy,” kata Arman kepada Tirto, Senin (10/11/2025).
“Saya kira proses penerbitan e-KTP harus lebih inklusif. Harus ada upaya jemput bola dari pemerintah yang lebih menyeluruh. Kalau masyarakat adat setempat tidak ingin melepas ikat kepalanya saat pengurusan KTP, itu semestinya diakomodir untuk kepentingan masyarakat adat,” terang Arman.
Menurut Arman, jaminan negara mestinya bersifat menyeluruh tanpa diskriminasi. Masyarakat adat pu seharusnya juga bisa mengakses layanan kebutuhan dasar semacam kesehatan.
Dia juga menyayangkan pihak rumah sakit yang memandang sebelah mata masyarakat tanpa KTP. Kasus Repan menjadi preseden tidak baik bahwa pelayanan kesehatan di Indonesia masih timpang dan tak inklusif.
“Harus ada jaminan negara untuk pemenuhan hak dasar masyarakat adat seperti masyarakat umumnya. Apalagi, masyarakat Baduy sudah diakui oleh pemerintah daerah. Saya enggak bilang enggak ada upaya pemenuhan pemerintah [dalam hal akses kesehatan] untuk masyarakat adat, tapi memang belum maksimal upaya pemerintah menjamin hak kesehatan masyarakat adat,” ucapnya.
Penulis: Rohman Wibowo
Editor: Fadrik Aziz Firdausi
Masuk tirto.id


































