Menuju konten utama

Kasus Bom Bandung Bukti Program Deradikalisasi Tidak Efektif?

Program deradikalisasi BNPT dinilai kurang efektif meski pun anggaran yang diterima jumbo Rp431 miliar, lalu apa solusinya?

Kasus Bom Bandung Bukti Program Deradikalisasi Tidak Efektif?
Kapolri Jenderal Pol Listyo Sigit Prabowo (tengah) bersama Kapolda Jabar Irjen Pol Suntana (kanan) memberikan keterangan kepada awak media di tempat kejadian perkara dugaan bom bunuh diri di Astanaanyar, Bandung, Jawa Barat, Rabu (7/12/2022). ANTARA FOTO/Raisan Al Farisi.

tirto.id - Kapolri Jenderal Listyo Sigit Prabowo menyatakan Agus Sujanto alias Abu Muslim, pelaku bom bunuh diri di Polsek Astanaanyar, merupakan bagian dari Jamaah Ansharut Daulah Bandung. Agus pun sempat menjalani program deradikalisasi dari pemerintah.

"Untuk proses deradikalisasi butuh proses dan membutuhkan teknik dan taktik yang berbeda. Karena yang bersangkutan masih susah diajak bicara, cenderung menghindar meski melaksanakan aktivitas," kata Sigit, Kamis (8/12/2022).

Apabila dirunut dari artinya menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), deradikalisasi ialah praktik mendorong penganut ideologi agama atau politik yang radikal untuk mengadopsi pandangan yang lebih moderat.

Jika dikaitkan dengan terorisme di Indonesia, deradikalisasi adalah program yang dijalankan oleh beberapa instansi untuk menetralisasi paham radikal yang dianut oleh para narapidana terorisme. Salah satunya, program yang dijalankan oleh Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT).

Bagi anggota Komisi III DPR dari Fraksi Partai Demokrat Santoso, program deradikalisasi dinilai kurang tepat, apalagi kasus bom Astanaanyar dilakukan oleh mantan narapidana terorisme.

"Program deradikalisasi yang dilakukan oleh BNPT jangan hanya berorientasi pada penyerapan anggaran, tapi benar-benar membentuk sikap toleran antar-anak bangsa atas adanya perbedaan dan pandangan politik,” ujar dia, sebagaimana dikutip dari Bisnis.com.

Pada Agustus 2022, Kepala BNPT Komjen Pol Boy Rafli Amar menekankan selaku pemimpin lembaga penanggulangan terorisme di Tanah Air, harus melakukan pemberdayaan seluruh potensi negara dalam mencegah aksi terorisme dengan memaksimalkan anggaran, termasuk pinjaman luar negeri pada rencana program lembaga tahun anggaran 2023, dikutip dari laman BNPT.

RAKER KOMISI III DENGAN KEPALA BNPT

Kepala Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT) Komjen Pol Boy Rafli Amar mengikuti rapat kerja dengan Komisi III DPR di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, Selasa (25/1/2022). ANTARA FOTO/Dhemas Reviyanto/rwa.

Rancangan program kerja yang disusun BNPT untuk tahun 2023 sesuai dengan tugas pokok dan fungsi lembaga dalam pencegahan, pengawasan, koordinasi dan penanggulangan terorisme. BNPT berupaya agar program-program di bidang pencegahan dan penanggulangan ini bisa berhasil dengan maksimal.

Sebagai lembaga yang mengemban fungsi koordinasi, BNPT menjadikan upaya penanggulangan terorisme sebagai prioritas. Sebagai bukti, total anggaran yang digelontorkan untuk penanggulangan mencapai lebih dari setengah porsi anggaran yang diterima lembaga yakni Rp254 miliar. Sedangkan jumlah anggaran total yang diterima BNPT pada tahun 2022 sekira Rp431 miliar.

Mengukur Efektivitas Program Deradikalisasi

Direktur Deradikalisasi BNPT Irfan Idris menjelaskan program deradikalisasi ialah proses yang berkesinambungan terpadu dan terencana, yang dilaksanakan untuk mengubah pemikiran radikal anarkis menjadi moderat.

Jika prosesnya berkesinambungan, bagaimana dengan keefektifan program deradikalisasi terutama terkait outputnya?

"Sangat efektif jika belum ditingkatkan karena ini proses. Bagi yang tidak mau mengakui tentu tidak menerima, namun kami terus mengupayakan bersama banyak pihak," ucap dia kepada reporter Tirto, Jumat, 9 Desember 2022.

Anggaran yang diterima BNPT sebesar Rp431 miliar tahun ini, Irfan merinci penanggulangan mencakup sembilan hal yakni pencegahan, perlindungan, deradikalisasi, koordinasi penindakan dan pembinaan kemampuan. Selain itu, program penegakan hukum, bilateral, perangkat hukum internasional hingga multilateral.

Dari dana jumbo yang telah digelontorkan sepanjang tahun ini Rp431 miliar itu termasuk untuk program deradikalisasi. Meski dari sisi output programnya dinilai masih kurang efektif, dengan munculnya kejadian kasus bom bunuh diri di Polsek Astanaanyar, Bandung dimana pelaku sudah pernah menjalani program deradikalisasi.

Wakil Sekjen Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) Suleman Tanjung berujar program deradikalisasi harus dievaluasi dan bisa melibatkan banyak pihak guna menumbuhkan pemahaman dan kesadaran. "Saya menilai selama ini ada forum-forum yang dibuat oleh BNPT, forum di setiap provinsi, umumnya (dihadiri) oleh kaum intelektual," kata dia ketika dihubungi reporter Tirto, Jumat (9/12/2022).

"Sementara kecenderungan publik, melihat pelaku-pelaku terorisme justru bukan kalangan intelektual, tapi kalangan menengah ke bawah," sambung Suleman.

BOM BUNUH DIRI DI POLSEK ASTANAANYAR BANDUNG

Tim Inafis Polda Jabar melakukan olah TKP usai peristiwa bom bunuh diri di Polsek Astana Anyar, Bandung, Jawa Barat, Rabu (7/12/2022). ANTARA FOTO/Novrian Arbi/aww.

Kejadian bom bunuh diri Astanaanyar, mendorong PBNU meminta evaluasi dan memperbarui program BNPT. Ihwal anggaran BNPT, Suleman menyatakan segala program harus menyentuh masyarakat yakni orientasi penyadaran.

Menurut Suleman, penerapan program-program deradikalisasi tersebut harus efektif dan efisien mengingat jumlah anggaran yang besar harus dipertanggungjawabkan. Misalnya, program itu juga menyasar jemaah taklim agar tumbuh kesadaran.

Bila program deradikalisasi tidak efektif, lantas bagaimana? Suleman berpendapat melalui evaluasi, tentu tidak semua program saat ini yang dibuat, ada kekurangan. Lalu program itu bisa disempurnakan.

"PBNU siap membantu BNPT. Karena PBNU punya jaringan di mana-mana, mulai dari anak ranting, ranting, hingga cabang, dan punya struktur. Saya kira ini sudah ada sepemahaman dengan Pak Boy Rafli, itu kami terjemahkan bersama dan perlu berkesinambungan," terang Suleman.

Perlu Ganti Program Deradikalisasi?

Stanislaus Riyanta, Direktur Pusat Studi Politik dan Kebijakan Strategis Indonesia, menuturkan ada informasi tidak utuh yang diterima DPR yakni ketika Agus Sujanto alias Abu Muslim menjalani hukuman, ia menolak menjalankan deradikalisasi. Agus emoh bicara dengan sipir atau pemerintah.

Maka saat mendekam di Lembaga Pemasyarakatan Nusa Kambangan, petugas menempatkan Agus dalam sel dengan pengamanan ketat (maximum security). "Jadi, dia (Agus) tak pernah mengikuti program deradikalisasi," kata Riyanta kepada reporter Tirto, Jumat (9/12/2022).

Program deradikalisasi, ketika Riyanta menanyakan kepada pihak BNPT, merupakan program sukarela alias tidak perlu diikuti. Kecuali narapidana terorisme (napiter) ingin mengajukan pembebasan bersyarat, maka ia wajib ikut program deradikalisasi.

Riyanta menyoroti ihwal 'napiter merah' atau yang masih memiliki ideologi radikal, kemudian ia bebas dari penjara tapi tidak ada pengawasan; atau pun diawasi kenapa bisa lolos dan kembali melakukan teror. "Pengawasan ini menjadi tugas siapa?" tambahnya.

Dalam penanggulangan terorisme, memang BNPT sebagai lembaga terdepan, tapi sumber daya manusia mereka terbatas yaitu sekitar 600 orang; sedangkan Densus 88 mencapai 2.000-3.000 orang, itu termasuk Satuan Tugas Wilayah se-Indonesia.

Jika narapidana terorisme bebas, maka perlu ada mekanisme pembinaan. Program pembinaan itu perlu dipikirkan apakah akan melalui pemerintah daerah, dinas sosial, atau instansi yang berkaitan.

IKRAR SETIA KEPADA NKRI UNTUK NARAPIDANA TERORIS

Seorang narapidana tindak pidana khusus terorisme memberi hormat bendera merah putih saat ikrar setia kepada Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) di Lapas Narkotika Kelas IIA Gunung Sindur, Kabupaten Bogor, Jawa Barat, Selasa (9/11/2021). ANTARA FOTO/Humas Ditjenpas/Arf/hp.

Maka, lanjut Riyanta, program pembinaan napiter yang sudah bebas ini perlu diperjelas dan ada perbaikan regulasi. "Sehingga tidak asal-asalan seperti ini, siapa yang membina, siapa yang mengawasi. Kalau tidak ada regulasi, akhirnya tidak terawasi," jelas dia.

Program deradikalisasi tidak bisa dianggap efektif atau tidak efektif, lantaran setiap orang tak bisa digeneralisasikan. Setiap orang memiliki pemicu dan faktor pendorong bertindak radikal pun berbeda-beda, semisal balas dendam, sakit hati.

Bukan berarti program deradikalisasi gagal, ada juga mantan narapidana terorisme yang sekarang bantu pemerintah untuk menjadi agen perubahan dalam melakukan deradikalisasi. Pun ada yang tidak ikut program, bahkan berpura-pura ikut program tersebut.

"Perlu ada optimalisasi deradikalisasi dengan melibatkan banyak pihak. BNPT menggandeng ormas, Muhammadiyah, NU, tapi perlu ada gerakan nasional," jelas Riyanta.

Gerakan nasional itu agar publik sepakat bahwa terorisme dan radikalisme merupakan musuh bersama. Situasi sekarang bertolak belakang, masih ada pihak yang mendorong radikalisme. Kemudian, soal anggaran BNPT. Riyanta berpendapat anggaran bukan semata komponen utama permasalahan radikalisme dan terorisme, namun belum ada kolaborasi kuat antara masyarakat dan pemerintah untuk memberantas terorisme.

Baca juga artikel terkait DERADIKALISASI atau tulisan lainnya dari Adi Briantika

tirto.id - Hukum
Reporter: Adi Briantika
Penulis: Adi Briantika
Editor: Maya Saputri