Menuju konten utama
Aloysius Sugianto

Karier Mentok Kolonel Sugianto akibat Berita Silsilah Soeharto

Karier Aloysius Sugianto mentok di pangkat kolonel. Laki-laki yang ikut serta mendirikan Orde Baru ini adalah pimpinan umum majalah POP yang pernah bikin Soeharto murka.

Karier Mentok Kolonel Sugianto akibat Berita Silsilah Soeharto
Presiden Suharto meninjau pabrik kondom. FOTO/Buku Otobiografi Soeharto

tirto.id - Pimpinan Redaksi Rey Hanityo mendapat informasi dari Yogyakarta soal silsilah Presiden daripada Soeharto dan melaporkannya kepada pimpinan umum majalah POP, Aloysius Sugianto. Informasi itu menyebutkan bahwa ayah daripada Soeharto bukan Kertosudiro, melainkan R.L. Prawirowijono alias Raden Rio Padmodipuro. Informasi ini sangat menarik dan berpotensi jadi berita besar, meski kebenarannya masih diragukan. Berhubung Sugianto harus ke luar negeri, ia hanya bilang agar berkonsultasi dulu dengan Badan Koordinasi Intelijen (BAKIN) jika informasi tersebut hendak diberitakan.

“Kalaupun artikel itu akan diterbitkan, saya memintanya agar menunggu saya pulang ke Indonesia,” aku Aloysius Sugianto di kemudian hari kepada Tempo (14/02/1999). Masih kata Sugianto, artikel itu telah dikonfirmasi ke pihak keraton. Lalu terbitlah tulisan bertajuk "Teka-teki Sekitar garis Silsilah Soeharto" di majalah POP, edisi 17 Oktober 1974, dengan oplah 24 ribu. Pada suatu hari, menurut artikel tersebut, dengan terpaksa Raden Rio menitipkan istri dan anaknya kepada seseorang bernama Kartosudiro. Raden Rio saat itu hendak menikah lagi dengan putri seorang wedana. Kala itu si anak (maksud artikel Soeharto) berusia antara 6-7 tahun.

Keluarga daripada Soeharto merasa dirugikan atas pemberitaan silsilah tersebut. “Reaksi pertama yang keras datang dari Probosutedjo, adik se-ibu Presiden Soeharto,” tulis O.G. Roeder dalam Anak Desa: Biografi Presiden Soeharto (1974, hlm. 140). Dengan tegas, Probo bilang, “Tidak benar sama sekali.”

Presiden Soeharto merasa prihatin. Artikel majalah POP tak hanya dapat perhatian dari keluarga besar daripada Soeharto, tapi juga Departemen Penerangan, Kejaksaan Agung, dan Komando Pemulihan Keamanan dan Ketertiban (Kopkamtib). Sugianto mengaku, Rey dinyatakan bersalah dan dihukum dua tahun penjara. Sementara Sugianto hanya diperiksa sebagai saksi. Majalah POP semula bernama SFF (Sport Fashion Film) lalu berubah menjadi POP alias Peragaan Olahraga Perfilman. Setelah itu mereka tinggal sejarah.

Meski tak dipenjara, Sugianto ikut kena apes. Karir militernya mandek. “Pangkat saya enggak bisa naik lagi. Saya pensiun dengan pangkat kolonel,” aku kolonel kelahiran Yogyakarta 25 Juni 1928 kepada Tempo. Sugianto sebetulnya berpotensi menjadi jenderal. Usianya pada tahun 1974 belum 50 tahun. Ia ikut dalam revolusi kemerdekaan 1945-1949 dan berkawan dengan Ignatius Slamet Riyadi.

Nama Aloysius Sugianto, setidaknya tercatat sebagai anggota-anggota awal korps baret merah yang kini disebut Komando Pasukan Khusus (Kopassus). Ken Conboy dalam Kopassus: Inside Indonesia's Special Forces (2003, hlm. 18) menyebut bekas ajudan Slamet Riyadi ini dikirim ke Jakarta setelah Slamet Riyadi terbunuh di Ambon. Di Jakarta, ia ikut kursus intelijen tempur. Sugianto termasuk serdadu yang kemudian menjadi perwira di pasukan berbaret merah itu. Pangkatnya di paruh pertama 1950-an adalah Letnan.

Letnan Aloysius Sugianto adalah orang kepercayaan komandannya, Mayor R.E. Djailani. Tapi ia tak lama Batujajar, karena ikut komandannya berpolitik bersama kelompok Zulkifli Lubis. Karena atasannya, Aloysius Sugianto muda pun jadi semacam “perwira kasus”. Setelah Peristiwa Kranji 17 November 1956, Sugianto tak lagi di baret merah. Dalam Benny Moerdani: Profil Prajurit Negarawan (1993), Julius Pour menyebut karier militer Sugianto hampir tamat. Namun, berhubung masih muda dan bisa dibina, ia tidak dibuang dari Angkatan Darat.

Pada 1965, Sugianto adalah seorang kapten di Kostrad. Kawannya yang lebih junior, Leonardus Benjamin Moerdani (kelahiran Cepu, 2 Oktober 1932) sudah berpangkat mayor. Di Kostrad, Sugianto tetap bukan orang sembarangan. Ia tangan kanan Letnan Kolonel Ali Moertopo, wakil asisten Intelijen Kostrad yang dikomandoi Mayor Jenderal Soeharto. Asisten Intelijen Kostrad kala itu adalah Kolonel Yoga Sugomo. Ketika Operasi Khusus (OPSUS) Ali Moertopo dibentuk, Sugianto adalah salah satu perwiranya. Begitu pula Joseph Ngaeran.

Infografik Aloysius Sugianto

Infografik Aloysius Sugianto. tirto.id/Quita

Tahun berikutnya, Aloysius tetap menjadi perwira penting daripada Soeharto. Seperti yang ditulis Julius Pour dalam Gerakan 30 September: Pelaku, Pahlawan, dan Petualang (2010, hlm. 182), Kolonel Ali Moertopo memerintahkan Aloysius untuk menggandakan Surat Perintah 11 Maret 1966. Aloysius pun mendatangi pengusaha Minahasa Jerry Mangundap untuk meminjam kamera polaroid dan memotret surat itu sebanyak lima kali.

Kisah Sugianto dalam Peristiwa Kranji makin dilupakan. Antara 1965 hingga 1974, Sugianto cukup lancar naik pangkatnya dan akhirnya mendapat pangkat kolonel. Ia masih bawahan Ali Moertopo ketika sang Tsar Intelijen itu dikunjungi wakil partai APODETI dari Timor-Timur. Moertopo waktu itu masih menjabat deputi di BAKIN merangkap kepala OPSUS.

“Sang kolonel yang Katolik—seperti sepertiga penduduk Timor—mendapat perintah mengunjungi ibukota Timor Dili, dalam sebuah misi pencarian fakta,” tulis Ken Conboy dalam Intel: Menguak Tabir Dunia Intelijen Indonesia (2009, hlm. 86). Sugianto keluar masuk di daerah yang terancam oleh golongan kiri yang dikenal sebagai Frente Revolucionária de Timor-Leste Independente (Fretilin). Sugianto kemudian aktif dalam Operasi Komodo yang dilanjutkan dengan Operasi Seroja yang mengerahkan ribuan personil ABRI.

Di tengah kesibukan di Timor Leste itulah kasus majalah POP mencuat. Meski besar jasa Sugianto bagi Orde Baru, Soeharto murka luar biasa kepada sang kolonel. Belakangan, seperti diberitakan Tempo (19/03/1977), Sugianto menjadi wakil direktur Berita Yudha, salah satu koran penting Orde Baru selain Angkatan Bersenjata, sekaligus menjabat kepala staf OPSUS.

Baca juga artikel terkait SEJARAH INDONESIA atau tulisan lainnya dari Petrik Matanasi

tirto.id - Humaniora
Penulis: Petrik Matanasi
Editor: Windu Jusuf