tirto.id - Pada November 1956, Nicholas Sulu masih berusia 29 tahun. Namun, lelaki yang pernah dilatih jadi pasukan khusus Belanda ini sudah menjadi Sersan di Kesatuan Komando Angkatan Darat (KKAD). Belakangan, satuan itu jadi Resimen Para Komando Angkatan Darat (RPKAD) yang bermarkas di Batujajar, dekat Bandung. Di masa ini, resimen itu dikenal sebagai Komando Pasukan Khusus (Kopassus), pasukan andalan Angkatan Darat selama puluhan tahun.
Sebagai prajurit, tentu saja dia ikuti apa kata perwiranya, termasuk ketika diperintahkan untuk bergerak ke Jakarta. Saat itu, perwira tertinggi di Batujajar itu adalah Mayor Djaelani, pengganti Mayor Idjon Djanbi, yang merupakan komandan pertama satuan baret merah itu. Perintah Djaelani sudah tentu didengar oleh Sulu.
“Kami meninggalkan Batujajar dengan berjalan melewati sawah. Kemudian naik ke atas truk yang sudah menunggu, menuju Jakarta lewat Karawang,” kata Sulu, seperti dikutip Julius Pour dalam Benny Murdani: Profil Prajurit Negarawan (1993:118-122).
Para prajuit itu sudah bergerak sejak dinihari 17 November 1956. Atasan mereka, Letnan Aloysius Sugianto dan Mayor Djaelani kerap wara-wiri antara Batujajar dan tempat-tempat rapat rahasia kelompok Zulkifli Lubis, yang sedang mengalami friksi dengan kelompok Abdul Haris Nasution.
Rivalitas antara Abdul Haris Nasution vs Zulkifli Lubis adalah perseteruan hebat dalam sejarah Angkatan Darat Indonesia. Persamaan suku, sebagai sama-sama orang Mandailing yang berasal dari Tapanuli Selatan, tidak membuat mereka jadi sekutu atau saling berkongsi. Bahkan ada yang menyebut, Zulkifli Lubis dan A.H. Nasution sebenarnya masih ada hubungan sepupu.
Semasa Nasution jadi KSAD, pertentangan antara Lubis dengan Nasution meruncing. Sejak akhir era Revolusi, menurut catatan Suhario Padmodiwiryo alias Hario Kecik dalam Memoar Hario Kecik: Autobiografi Seorang Mahasiswa Prajurit (1995), “sudah terjadi ketidakserasian antara TB Simatupang, AH Nasution, dan Z Lubis. Ketiga perwira berkedudukan tinggi ini punya pendukung masing-masing” (hlm. 399).
Pada tanggal 17 November itu, Letnan Sugianto sudah dua hari di Jakarta, menunggu pasukan dari arah Bandung. Sugianto dan pasukan itu rencananya akan masuk bersama-sama ke kota Jakarta. Namun, pasukan RPKAD itu harus menanti tanpa kepastian di Kranji.
Menurut Mangil Martowidjojo dalam Kesaksian tentang Bung Karno, 1945-1967 (1999:302), mereka bertahan di Kranji untuk selanjutnya menunggu perintah dari Major Djuhro dari Siliwangi. Ternyata kabar dan perintah itu tak kunjung datang. Di tengah siang bolong, Mayor Djaelani dapat kabar bahwa gerakan yang bertujuan untuk menculik Nasution itu ditunda, kecewalah pasukan itu. Kembalilah mereka ke Batujajar.
Dalam hitungan hari, para prajurit bawahan tahu, mereka sedang diperalat untuk sebuah gerakan politik. Mereka pun berang pada Mayor Djaelani dan beberapa perwiranya. Pada 20 November 1956 pagi, para prajurit ini bergerak lagi. Kali ini balik ke Batujajar untuk membuat perhitungan dengan perwira Angkatan Darat yang terlibat gerakan politik di kesatuan baret merah.
“Sekitar satu peleton RPKAD (baret merah) dengan raut muka beringas berlari-lari. Agus Hernoto, Sersan Mayor bagian angkutan, paling depan mengacungkan senapan,” tulis Julius Pour dalam Benny Tragedi Seorang Loyalis (2007:47).
Letnan Benny Moerdani adalah perwira yang dianggap tak terlibat. Para tentara RPKAD itu tahu bahwa Benny sejak beberapa minggu terakhir sedang terkapar karena keracunan makanan. Pagi itu, usai pulih dari sakitnya, Benny melihat para prajurit yang bergerak bawa bedil itu. Yang pertama menyapa adalah Agus Hernoto.
"Mau ke mana?" gertak Agus yang menenteng senapan.
"Ke kantor," jawab Benny dengan tenang. "Lha, kalian mau ke mana?"
"Ke Pak Djaelani. Dia mengkhianati kita semua."
Benny pun membuntuti dari belakang. Dia melihat perwira-perwira di asrama diringkus. Hanya dirinya yang tak diringkus. Tak ada waktu lagi untuk mencari tahu. Ketika ditanya pada prajurit yang marah, dia hanya beroleh jawab, "Para perwira ini mengkhianati kita, kita bunuh saja mereka.
Para pasukan ini memang diselimuti api. Terdengar letusan senjata beberapa kali. Suasana mencekam. Benny, pada akhirnya, bertindak dengan menenangkan keadaan. Karena Benny adalah atasan yang tidak terlibat dengan gerakan politik itu, para prajurit mendengar perintahnya.
"Taruh, taruh semua itu senjata!"
Semua orang akhirnya menuruti Benny. Keadaan jadi lebih tenang. "Atas kemauannya sendiri Djaelani melepas pistolnya dan menyerahkannya kepada Benny," tulis Daud Sinjal dalam Laporan kepada Bangsa: Militer Akademi Yogya (1996:202).
Sikap ini diikuti perwira lain yang dianggap terlibat. Para prajurit pun menahan diri dan drama itu tidak berlanjut ke hari-hari berikutnya. Para perwira itu kemudian dibawa oleh Benny ke rumah tahanan di Bandung. Peristiwa penculikan yang gagal dan tentara bawahan yang mengamuk ini kelak dikenal sebagai Peristiwa Kranji.
Mayor Djaelani dan tujuh rekannya yang dianggap terlibat langsung Peristiwa Kranji ini dikenai hukuman disiplin dan harus meninggalkan dinas. Golongan yang banyak dihukum adalah para perwiranya, karena mereka adalah otak dari Peristiwa Kranji. Maka wajar hukuman berat dibebankan berat ke mereka.
Karier militer Djaelani di militer pun macet. Hanya Aloysius Sugianto yang kariernya lanjut, tapi dia tidak pernah di baret merah lagi. Belakangan Sugianto juga pernah dipekerjakan di sebagai perwira intelijen di Operasi Khusus (Opsus) Ali Moertopo.
Para prajurit bawahan yang tidak paham politik dan sudah terlanjur diperalat itu, tak diberi hukuman. Sersan Mayor Agus Hernoto kemudian lanjut kariernya dan pangkat terakhirnya adalah Kolonel TNI dan pernah di Opsus pula. Sementara itu, Nicholas Sulu, tiga tahun berikutnya terlibat gerakan yang lain. Dia menjadi salah satu komandan pasukan Permesta di kampung halamannya.
Editor: Nuran Wibisono