Menuju konten utama

Kala Pengangguran & Kenaikan Harga Bahan Pokok Picu Protes Iran

Dua faktor ekonomi utama yang menggerakkan protes: tingginya pengangguran dan naiknya harga kebutuhan pokok.

Kala Pengangguran & Kenaikan Harga Bahan Pokok Picu Protes Iran
Aksi protes rakyat Iran dilawan dengan protes serupa pro-pemerintah pada 3 Januari 2018. Kantor Berita Tasnim/REUTERS/Antara Foto

tirto.id - Hassan Rouhani berhasil menduduki kursi presiden Iran usai memenangi pemilihan tahun 2013. Ia mengalahkan lima kandidat lain dengan perolehan suara 18,61 juta atau setara 50,71 persen. Pada pilpres 2017, Rouhani mengalahkan tiga kandidat lain dengan mengantongi 23,63 juta suara atau 57,14 persen.

Pada 2013, sebagaimana sikap pemimpin baru, persoalan ekonomi menjadi salah satu prioritas utama pemerintahan Rouhani. Pada 2017, tugas utama Rouhani tetap mengatasi persoalan ekonomi.

Setidaknya, menurut data survei IranPoll yang dilansir Statista, 55 persen rakyat Iran menilai Rouhani tak cukup berhasil atau sangat tidak berhasil mengatasi persoalan-persoalan ekonomi Iran selama menjabat pada periode pertama. Mereka yang menganggap cukup berhasil atau sangat berhasil berada pada kisaran 42 persen, sementara 3 persen lain menjawab tidak tahu.

Pada bagian lain riset, rakyat Iran diminta untuk mendaftar isu-isu pokok apa saja yang harus diselesaikan oleh presiden baru yang terpilih usai pemilihan tahun 2017. Jawaban terbesar yakni 42 persen adalah pengangguran, dan kedua tetap pengangguran tapi untuk kalangan anak muda.

Selain berkaca pada hasil riset, isu pengangguran pula yang mendorong rakyat Iran turun ke jalan untuk menggelar protes di pelbagai kota pada akhir tahun 2017 hingga beberapa hari pada awal tahun 2018.

Merujuk Dana Moneter Internasional, seperti dikutip Statista, angka pengangguran di Iran pada 2013 mencapai 10,4 persen. Sepanjang tahun-tahun setelahnya tren itu meningkat.

Pada 2014, angka ini naik menjadi 10,6 persen, tahun 2015 11 persen, dan 2016 melonjak menjadi 12,45 persen. Pada tahun terakhir periode pertama Rouhani, angkanya turun tipis menjadi 12,42 persen. Jika tak bisa diatasi, menurut perkiraan IMF per Januari 2018, hingga 2022 angkanya akan selalu di atas 12 persen.

Mohammad Mostavi-Dehzooei, analis dari Middle East Initiative-Belfer Center, Harvard Kennedy School, pada pertengahan Mei 2017 memaparkan data Statistical Center of Iran (SCI) terkait isu ini. Meningkatnya angka pengangguran pada 2015 dan 2016 terkonsentrasi pada kaum perempuan dan generasi muda (produktif) usia 15 hingga 29 tahun. Pada 2016, misalnya, tingkat pengangguran khusus bagi keduanya mencapai 25,9 persen dan 20,7 persen.

Rouhani hanya mampu menciptakan 490.000 lapangan pekerjaan baru per tahun. Sementara sepanjang periode 2005-2015, pengangguran lulusan universitas menyentuh angka dua kali lipat dari periode sebelumnya.

Dengan demikian, menurut Mostavi-Dehzooei, isu lapangan pekerjaan makin krusial dalam tahun-tahun ke depan. Banyak ahli ekonomi yang percaya bahwa pertumbuhan ekonomi yang konsisten selalu terkait terbukanya lapangan pekerjaan, bukan justru menyempit.

Pada Januari 2014, Menteri Sains Iran, Reza Faraji Dana, menyatakan sekitar 150.000 lulusan perguruan tinggi Iran memilih mencari penghidupan di negara lain. Kerugian negara dari fenomena ini diklaim mencapai 150 juta dolar AS per tahun (angka Bank Dunia 50 juta dolar AS).

Jika dibandingkan dengan dua era Mahmud Ahmadinejad, angka pengangguran di Iran era Rouhani sebenarnya tergolong lebih lumayan. Ekonomi di era Ahmadinejad jadi korban kebijakan luar negeri yang beringas sehingga melahirkan sederetan sanksi maupun embargo dari negara-negara Barat.

Pada 2007, ketika Ahmadinejad memulai tahun kedua, angka pengangguran meroket hingga 15 persen, menurut CIA World Factbook. Setahun kemudian 12,5 persen dan pada 2009 turun lagi menjadi 11,8 persen. Pada 2010 hingga 2013, ketika Ahmadinejad turun jabatan, tren angka pengangguran ini naik: 14,6 persen pada 2010, 15,3 persen pada 2011, 15,5 persen pada 2012, dan 16 persen 2013.

Dalam laporan CNN Money pada awal tahun 2018, rakyat Iran yang melancarkan aksi protes mengangkat perkara krusial kedua: rencana pemotongan besar-besaran anggaran untuk kebutuhan bahan pokok dan bahan bakar. Pada saat yang sama, lembaga-lembaga keagamaan maupun militer luput dari rencana penghematan.

Baru-baru ini Statista menyajikan data Bank Sentral Iran yang memaparkan kenaikan harga bahan kebutuhan pokok pada akhir bulan Oktober 2017 dibandingkan harga bahan kebutuhan pokok pada Oktober 2016. Sayuran jadi komoditas dengan kenaikan tertinggi, yakni 21,2 persen. Posisi kedua adalah (18 persen), makanan dan minuman (rata-rata 13,9 persen), produk susu dan telur (13,3 persen), roti dan sereal (10 persen), serta listrik, gas, dan bahan bakar lain (4,2 persen).

Masyarakat Iran sebenarnya tengah menikmati penurunan kemiskinan. Bank Dunia mencatat angka kemiskinan antara 2009 dan 2013 hanya 8 persen. Namun, pada tahun pertama pemerintahan Rouhani, angkanya naik menjadi 10,5 persen. Pada 2014 pula ada 8,2 juta warga yang pengeluarannya kurang dari 5,5 dolar AS per hari. Sekitar 2 persen di antaranya, atau kira-kira 196.000 orang, membelanjakan kebutuhan hidup kurang dari 1,9 dolar AS per hari.

Keluarga berpenghasilan rendah bergantung pada transfer uang bulanan dari pemerintah. Nilainya sekitar 13 dolar AS. Penerimanya sekitar 77 juta orang di seantero Iran. Dalam laporan kanal radio Iran Radio Farda, awal Desember 2017, Rouhani mengumumkan akan memotong biaya subsidi sebesar 5,3 miliar dolar AS. Kebijakan ini dilaporkan akan memengaruhi 30 juta jiwa. Rouhani juga mengusulkan kenaikan harga bensin 50 persen, dari 0,3 dolar AS menjadi 0,45 dolar AS per liter.

Pengecam Rouhani bukan dari kalangan kelas bawah semata, tapi pemimpin tertinggi Iran Ayatullah Ali Khamenei. Reuters mengutip pernyataan Khamenei pada medio Maret 2017 bahwa kebijakan ekonomi Rouhani telah gagal. Khamenei menyerukan “ekonomi perlawanan” baru untuk menciptakan lebih banyak lapangan pekerjaan.

"Saya sungguh merasakan sakitnya orang miskin dan kelas bawah, terutama karena tingginya harga-harga, tingkat pengangguran, dan angka ketimpangan," kata Khamenei.

“Ekonomi perlawanan” yang dimaksud adalah "sistem ekonomi alternatif yang memungkinkan Iran lebih mandiri," berbeda dari kebijakan Rouhani yang ingin Iran lebih liberal dalam berdagang dan berinvestasi di ranah global.

Itu pun, dalam catatan Reuters, belum mewujudkan hasil maksimal. Bank-bank internasional terkemuka memilih menahan diri berbisnis dengan Iran karena takut ancaman sanksi AS. Kondisi inilah yang menghambat visi ekonomi Rouhani karena arus investasi asing masih lambat.

Infografik HL Indepth Iran

Dikatrol Industri Minyak dan Gas Bumi

Sanksi ekonomi dijatuhkan pada Iran sejak 2002, atau memasuki periode kedua kepresidenan Ahmadinejad, berlatarkan program nuklir Iran. Sejak itu, serangkaian sanksi dan embargo dari negara Barat ditembakkan ke Iran dan mengganggu perekonomian dalam negeri.

Dalam catatan BBC News, contohnya, embargo Uni Eropa dan sanksi AS membuat ekspor minyak Iran hanya 700.000 barel per hari (bph) pada Mei 2013, atau satu bulan menjelang Ahmadinejad menggenapkan pemerintahannya. Nilainya anjlok dibandingkan ekspor minyak Iran pada 2011, yakni rata-rata 2,2 juta bph.

Pada Januari 2013, Menteri Minyak Iran menyatakan untuk kali pertama terjadi penurunan ekspor, dan kejadian ini menelan biaya pemerintah 4-8 miliar dolar AS setiap bulan. Iran diyakini telah kehilangan sekitar 26 miliar dolar AS dari pendapatan minyak pada 2012 dari total 95 miliar dolar AS pada 2011.

Produk Domestik Bruto Iran berada pada angka 1,4 persen pada 2015 atau tahun kedua Presiden Hassan Rouhani. Saat itu ia setuju dengan negara-negara Barat untuk membatasi kegiatan nuklir Iran yang selalu (di)jadi(kan) isu sensitif di panggung internasional.

Sejak menjabat, Rouhani dan jajaran pemerintahannya aktif menegosiasikan sanksi nuklir dengan P5+1, negara-negara yang sejak 2006 menjalin diplomasi dengan Iran mengenai program nuklir. Upayanya berhasil. Mengutip Guardian, sanksi tersebut berhasil dicabut pada awal Januari 2016 atau 16 bulan sebelum berakhirnya masa kepemimpinan Rouhani. Sesudahnya, menurut Bank Sentral Iran, ekonomi Iran perlahan terangkat dan PDB tumbuh sebesar 12,3 persen.

Sebagian besar pertumbuhan itu didorong oleh industri minyak dan gas bumi. Pada Desember 2017, Dana Moneter Internasional menyatakan pertumbuhan itu mulai menyebar ke sektor non-minyak. PDB Iran diperkirakan meningkat 4,2 persen pada tahun fiskal 2017/2018.

Keberhasilan lain era Rouhani adalah kontrol inflasi. Iran mengalami laju inflasi tinggi, sekitar 20 persen atau lebih, selama 30 tahun sebelum Rouhani naik panggung. Kebijakan-kebijakan Rouhani mampu menekan inflasi selama periode 2015-2016 pada kisaran 10 persen.

Pemulihan-pemulihan ini, bagaimanapun juga, belum signifikan sebagaimana yang diharapkan warga Iran, setidaknya bagi peserta aksi protes. Apalagi, sebagaimana dipaparkan sebelumnya, angka pengangguran masih tinggi dan membeli bahan-bahan pokok kini perlu merogoh kocek lebih dalam lagi. Rakyat kelas bawah adalah elemen paling banyak yang turun ke jalan, sebagaimana diberitakan oleh media-media.

Belum lama ini The Washington Post menurunkan laporan tentang perasaan frustrasi rakyat kelas bawah Iran yang tak kunjung menerima perbaikan nasib meski sanksi nuklir sudah dicabut. Ada pemotongan subsidi, tapi mengapa pemerintah Iran masih menghabiskan jutaan dolar AS untuk kebijakan-kebijakan luar negeri, terutama di kawasan Timur Tengah?

Pertanyaan ini mencuat selama protes, tetapi belum mendapatkan jawaban memuaskan. Yang tampak, setidaknya dalam pemahaman mereka, adalah kondisi rakyat Iran semakin bergelut mengatasi pengangguran dan pemenuhan kebutuhan pokok; di sisi sebaliknya, dana segar hingga persenjataan terus mengalir untuk para kombatan aliansia Iran di Suriah, Yaman, hingga kelompok Hizbullah di Lebanon.

========

Baca juga artikel terkait IRAN atau tulisan lainnya dari Akhmad Muawal Hasan

tirto.id - Politik
Reporter: Akhmad Muawal Hasan
Penulis: Akhmad Muawal Hasan
Editor: Windu Jusuf