tirto.id - Saya membayangkan semua perempuan Iran memakai hijab panjang warna hitam, dengan baju hitam-hitam pula. Rupanya saya salah. Saat pertama kali menginjakkan kaki di jalanan Teheran, saya disambut pemandangan: rambut pirang yang menyembul dari balik kerudung, pakaian warna-warni dan celana jeans ketat.
Setelah revolusi 1979, Iran yang semula sangat modern, secara politik sangat terbuka pada Barat, dengan gaya hidup masyarakat yang terbuka dan liberal, berubah menjadi lebih “islami”. Dipimpin seorang Ayatollah, gelar tertinggi ulama syi'ah, Iran mencoba menegaskan identitas sebagai negara Islam. Sembari memunggungi Barat, keseharian di Iran mulai dilekati simbol-simbol Islam. Politik identitas sebagai muslim, termasuk dalam hal berpakaian, menjadi mode.
Perempuan yang paling banyak merasakan perubahan. Kontestasi politik yang berubah drastis itu berdampak langsung pada tubuh perempuan: sejak 1983, jilbab diwajibkan untuk semua perempuan. Jilbab yang dipakai harus terdiri atas kain yang menutup kepala, baju yang panjangnya harus menutup pantat, dan celana panjang. Banyak perempuan melengkapinya dengan chador, kain lebar yang jika diselubungkan bisa menutup seluruh tubuh dari ujung kepala sampai ujung kaki. Chador biasanya berwarna hitam, tapi tidak harus.
Memasuki abad 21, angin perubahan mulai berembus. Pengaturan terhadap gaya hidup yang kelewat ketat, sensor yang berlebihan terhadap media, hingga pembungkaman terhadap oposisi akhirnya memicu perlawanan. Memang tidak ada perlawanan bersenjata. Perlawanan berlangsung melalui mekanisme politik elektoral.
Pemilihan Presiden (Pilpres) pada 2009 menjadi salah satu momentum bangkitnya perlawanan terhadap rezim politik di Iran. Pilpres yang menahbiskan periode kedua kepemimpinan Ahmadinejad dianggap oleh tiga kandidat oposisi dipenuhi kecurangan dan manipulasi. Dua jam sebelum pencoblosan resmi ditutup, pemerintah malah sudah mengumumkan hasilnya.
Demonstrasi pun muncul di jalanan Teheran. Para demonstran menggunakan pita hijau sebagai simbol sehingga gerakan perlawanan terhadap Pilpres 2009 ini disebut sebagai Revolusi Hijau. Bahkan beberapa pemain tim nasional sepakbola Iran, saat menghadapi Korea Selatan, pun mengenakan pita hijau sebagai dukungan terhadap gerakan oposisi. Bentrokan tidak terhindarkan. Penangkapan terhadap kaum oposisi pun tidak terhindarkan.
Pengganti Ahmadinejad, Hassan Rouhani, kendati masih berasal dari kelompok konservatif, memperlihatkan langgam pemerintahan yang lebih moderat. Setidaknya ketimbang Ahmadinejad.
Angin perubahan terasa benar dalam kehidupan sehari-hari, khususnya dalam gaya hidup anak-anak muda Iran. Salah satu yang menonjol adalah kaum muda perempuan. Terhadap ketatnya aturan berpakaian, mereka mulai melakukan “pembangkangan kecil-kecilan”. Kerudung dikenakan menutupi setengah kepala, biasanya mulai dari ubun-ubun. Dengan demikian, sebagian rambut dan gaya poni pun terlihat jelas. Penampilan ini tentunya dilengkapi riasan sempurna lengkap dengan shading ala Kim Kardashian.
Saat berada di Teheran pada September 2016 lalu, saking banyaknya melihat perempuan berambut pirang, saya sempat berpikir pirang adalah warna rambut asli sebagian besar perempuan Iran. Tapi kenapa sebagian besar lelaki berambut hitam?
“Jangan salah, cuma sedikit sekali perempuan Iran yang berambut pirang alami. Sebagian besar rambut pirang yang kamu lihat hasil cat rambut,” kata kawan saya, Milan Mosapoor.
Untuk sebagian orang, memakai hijab seminimal mungkin adalah bentuk protes terhadap keharusan memakai hijab. Banyak juga perempuan yang membuka kerudungnya di tempat umum, meski hanya sesaat dan demi foto. Mereka kemudian mengirimkannya ke laman My Stealthy Freedom di Facebook. Jurnalis Masih Alinejad mengagas laman itu demi mengumpulkan foto para perempuan Iran tanpa hijab di ruang publik di Iran.
Para perempuan muda Iran juga banyak mengunggah foto mereka dengan gaya #ootd di Instagram dengan hastag #Iranstreetstyle, #tehranstreetstyle atau #iranfashion.
Mengenakan hijab yang cukup “terbuka" bukan tanpa risiko. Sewaktu-waktu, polisi moral bisa muncul, menegur dan bahkan memberi sanksi pada para pelanggar aturan. “Kita tidak pernah tahu kapan polisi moral muncul, mereka bisa ada di mana saja dan datang kapan saja,” kata seorang gadis yang tidak mau disebutkan namanya.
Kendati tahu risikonya, dia sama sekali tidak ragu mengenakan pakaian ketat dan selembar kerudung tipis yang menampakan sebagian besar rambutnya. “Kalau cuma soal pakaian, paling-paling saya ditegur,” katanya.
Menurutnya, risiko terbesar dari melanggar aturan berpakaian adalah diadukan ke orang tuanya. “Dan itu tidak masalah buat saya,” kata perempuan 30 tahun itu sambil memperbaiki letak kerudungnya yang melorot ke pundak.
Saya sendiri pernah ditegur petugas berseragam soal kerudung saat sedang mengantre di kantor imigrasi. Tiba-tiba saya ditarik dari antrean dan dibawa ke sebuah ruangan tertutup. Petugas perempuan mengangkat rok panjang saya dan menggeleng-gelengkan kepala sambil mencerocos dalam bahasa Farsi yang tentu saja tak saya mengerti.
Dia lalu menyelubungi saya dengan selembar chador. Saat kembali ke antrean, ada yang menjelaskan bahwa meskipun rok saya panjang tapi saya tidak mengenakan celana panjang di balik rok. Dan itu masih dianggap tidak patut.
Standar kepatutan berpakaian ini pun berbeda di tiap bagian di Iran. Setelah Teheran yang warna-warni, saya bertandang ke Qom. Kota yang hanya berjarak dua jam perjalanan dari ibu kota ini berwarna seragam: hitam. Maklum, Qom adalah kota suci di Iran, dan pusat pendidikan agama terbesar di Iran.
Kota selanjutnya, Kashan, tak jauh berbeda. Sulit mencari perempuan berpakaian dan berkerudung selain hitam. Saya yang saat itu mengenakan kerudung kuning terang jadi merasa sangat mencolok. Melanjutkan perjalanan ke Isfahan, kota terbesar kedua setelah Teheran, kerudung kuning saya pun kembali jadi barang normal.
Operasi mengecilkan hidung
Setelah terbiasa menyaksikan gaya berhijab warga Teheran, saya terheran-heran melihat banyak orang yang hidungnya diperban. Tak hanya perempuan, juga para laki-laki. Tak hanya mereka yang berpakaian ketat, tapi juga mereka yang berpakaian lebih tertutup. Rupanya, perban-perban itu menandakan bahwa mereka masih dalam masa pemulihan setelah operasi.
Penampilan menjadi bagian penting keseharian perempuan, dan juga laki-laki, di Iran. Mereka tak segan berusaha keras mencapai standar kecantikan yang diinginkan. Operasi yang paling nyata adalah “perbaikan” hidung. Praktik operasi biasanya dilakukan untuk membuat hidung yang luar biasa mancung menjadi mungil.
“Soalnya hidung saya terlalu besar,” kata Mina malu-malu.
Perempuan 24 tahun itu melakukan operasi hidung tahun lalu. Dia tak percaya ketika saya bilang di Indonesia banyak orang justru ingin memiliki hidung mancung.
Menurut laporan The Guardian, angka operasi kosmetik di Iran naik sampai 200 ribu kali per tahun. 60 persen di antaranya operasi hidung. Namun jumlah operasi yang sebenarnya diduga lebih tinggi karena maraknya operasi yang dilakukan dokter yang tak memiliki lisensi bedah kecantikan.
Harga bedah plastik di Iran, terutama untuk mengecilkan hidung, lebih terjangkau. Harga operasi hidung berkisar antara US$ 1.500 hingga US$ 5.000.
“Biaya operasi plastik di Iran termasuk yang paling murah dan berkualitas. Banyak orang dari luar negeri, terutama dari negara-negara Arab, datang untuk melakukan operasi plastik atau berobat di sini,” kata Samaneh, perempuan 26 tahun.
Hal itu yang mendorong Samaneh membuka usaha agen operasi kecantikan. Dia menghubungkan mereka yang ingin dioperasi dengan dokter dan rumah sakit yang sesuai kebutuhan klien. Samaneh membantu klien dari Oman, Uni Emirat Arab, hingga beberapa negara di Afrika.
“Kenapa tanya terus, kamu tertarik operasi hidung?” tanya Samaneh.
Saya menggelengkan kepala. Sambil tertawa. Hidung saya sudah cukup pesek, mau dikecilkan bagaimana lagi?
*) Isi artikel ini menjadi tanggung jawab penulis sepenuhnya.