tirto.id - Korea Utara sudah sering panen kecaman dan sanksi karena rutin melakukan uji coba peluru kendali (rudal) balistik. Namun, kondisi ini tak membuat surut Iran untuk mengekor melakukan uji coba rudal. Beberapa hari lalu Iran, meluncurkan rudal yang dinamai Khoramshahr dengan daya jelajah hingga 2.000 km.
Uji coba diketahui melalui sebuah sebuah rekaman yang disiarkan televisi nasional Iran, tanpa kapan tepatnya uji coba itu dilakukan. Namun, diyakini uji coba berlangsung belum lama, sebab rudal Khoramshahr baru dipamerkan pada Jumat (22/9/2017). Buntut kejadian ini, Iran langsung mendapat kecaman terutama dari Amerika Serikat. Presiden AS Donald Trump bahkan menyebut Iran sebagai “negara nakal”.
Baca juga:Cara Korea Utara Mengakali Embargo PBB
Selain AS, Perancis mengingatkan bahwa uji coba itu dapat meningkatkan ketegangan di kawasan. Apalagi Iran juga banyak dikecam terkait dugaan kedekatan dengan berbagai kelompok teroris. ”[Perancis] akan mempertimbangkan dengan mitranya, terutama Eropa, untuk membuat Iran menghentikan kegiatan (rudal) balistik,” kata juru bicara Kementerian Luar Negeri Perancis, Agnes Romatet-Espagne, seperti dikutip Reuters.
Suka tidak suka kepemilikan rudal balistik bagi suatu negara adalah taring yang ampuh untuk membuat efek getar bagi negara lainnya. Bagi Iran atau negara lainnya, pengembangan rudal balistik berhubungan dengan kepentingan pertahanan negara, sehingga kecaman dari negara lain hanya angin lalu saja.
Pada Agustus lalu, Parlemen Iran setuju dengan alokasi dana sebesar 520 juta dolar AS yang secara khusus digunakan untuk mengembangkan rudal balistik serta meningkatkan operasi pasukan paramiliter di luar negeri. "Kami akan meningkatkan kekuatan militer. Kami akan meningkatkan kapabilitas misil. Dan kami tidak akan meminta izin dari siapa pun untuk mempertahankan negara kami," ujar Presiden Iran Hassan Rouhani.
Pernyataan Rouhani menunjukkan bahwa Iran tak ingin adanya campur tangan asing dalam urusan domestik. Hal ini tak lepas dari intervensi dan tekanan AS beserta sekutu agar Iran menghentikan pengembangan rudal yang diyakini dapat membawa nuklir. Berbagai sanksi berupa embargo juga kembali dimunculkan setelah sempat dicabut pada 2015 saat Iran bersedia untuk menjauh dari program nuklir.
“Pengujian dan produksi rudal balistik Iran yang mampu membawa perangkat nuklir adalah pelanggaran terhadap Resolusi 2231 (2015) Dewan Keamanan PBB,” bunyi salah satu poin dalam Iran Ballistic Missile Sanctions Act of 2016.
Baca juga:Ada Iran dan Korut di Balik Rudal yang Membidik Mekah
Selain itu, pengembangan rudal juga merupakan respons rasional Iran terhadap kebijakan lama Washington yang selalu mempersenjatai dan melindungi sekutunya. Misalnya negara-negara Teluk dipersenjatai dengan berbagai akses terhadap sistem pelatihan militer, intelijen, pengawasan dan pengintaian Amerika Serikat, termasuk sistem komunikasi, komputer, dan manajemen tempur.
Letak Iran yang berada berdekatan dengan sekutu Amerika Serikat tentu akan menganggap ini sebagai ancaman. Sehingga rezim pemerintah Iran percaya bahwa pada akhirnya, mereka harus mengandalkan sumber daya sendiri untuk membela diri sekaligus untuk unjuk kekuatan.
Di satu sisi, negara-negara di Teluk juga bertekad untuk meningkatkan kecanggihan persenjataan dan teknologi. Hal ini tercermin dari kenaikan anggaran militer mereka. Menurut laporan Stockholm International Peace Research Institute (SIPRI), Arab Saudi yang juga menjadi musuh bebuyutan Iran, punya anggaran militer tahunan tertinggi hingga 63 miliar dolar AS atau naik sekitar 2 miliar dolar AS dibandingkan 2015.
Sebaliknya, bagi Amerika Serikat, intervensi dan tekanan yang mereka lancarkan karena program rudal balistik Iran adalah ancaman bagi sekutunya di Timur Tengah dan Eropa. Amerika Serikat pun turut terancam bila Iran bisa mengembangkan rudal balistik antarbenua. Hingga saat ini, rudal Iran hanya mampu menjangkau 2.000 km, tapi rudal antarbenua suatu keniscayaan bagi Iran di masa depan.
Di luar persoalan dua kepentingan, menurut jurnalis Iran, Kasra Naji seperti dikutip BBC, uji coba rudal Iran adalah sebuah pesan bagi Trump bahwa kini Iran akan mempertahankan apa yang menjadi kepentingan nasionalnya termasuk di sektor pertahanan dengan berbagai cara. Bagi Iran itu adalah jalan terbaik untuk menghadapi Trump dan sekutunya.
Korea Utara dan Rudal Iran
Ada kesamaan Korea Utara dan Iran, mereka sama-sama dikucilkan dunia karena mengembangkan senjata yang dianggap melanggar hukum internasional dan memiliki musuh yang sama: Amerika Serikat.
"Baik Korea Utara maupun Iran merasakan ancaman serius dari Amerika Serikat dan Barat dan saling memandang satu sama lain sebagai negara yang sangat berbeda namun menghadapi situasi yang agak mirip," kata Matthew Bunn, pakar proliferasi nuklir dan profesor di Harvard University John F. Kennedy School of Government.
Kedua negara memang memiliki ideologi yang sangat bertolak belakang, tapi pengembangan rudal balistik menjadi perekat kedua negara. Nama Mayor Jenderal Hassan Moghaddam dari Iran, tentu sudah tak asing bagi pemerintah Korea Utara. Ia adalah “arsitek” dalam program rudal Iran. Kemampuannya dalam pengembangan rudal balistik didapatkan dari Cina dan Korea Utara. Mostafa Izadi, seorang komandan Corps Garda Revolusi Iran, dan seorang teman dekat, mengatakan dalam berita kematian Moghaddam:
"Sejak tahun 1984 dia [Moghaddam] mempelopori IRGC [Islamic Revolutionary Guard Corps] menuju sistem rudal darat ... pekerjaan yang telah menakut-nakuti kekuatan imperialis dunia dan rezim Zionis hari ini."
Baca juga:Badai Sanksi tak Bikin Jera Korea Utara Menembakkan Rudal
Rudal Iran kemudian banyak mengadopsi konsep rudal Korea Utara. Misalnya rudal balistik Iran Shahab-3 didasarkan pada teknologi Nodong-1 Korea Utara. Kapal Selam Iran Ghadir yang digunakan untuk uji coba rudal pada Mei lalu juga sangat mirip dengan yang digunakan Korea Utara.
Selain itu, Korea Utara juga menunjukkan bagaimana cara mencegah kerusakan rudal akibat serangan udara dan lainnya dengan memanfaatkan terowongan bawah tanah. Informasi ini dibagikan saat para ilmuwan Korea Utara dan Iran saling mengunjungi untuk bertukar informasi terkait teknologi rudal balistik.
"Pakar Korea Utara telah membantu rezim Iran membangun fasilitas dan terowongan bawah tanah untuk memproduksi, menyimpan, dan mempertahankan rudal …." salah satu poin dalam buku putih Iran dikutip dari The Washington Times.
Kehadiran Iran yang dalam tahun ini sudah beberapa kali melakukan uji coba rudal balistik akan menambah pekerjaan PBB, Trump dan negara lainnya. Trump akan memiliki lebih banyak waktu untuk bertemu sekutu-sekutunya guna membahas sanksi baru bagi kedua negara.
Di sisi lain, jika PBB dan negara-negara di dunia gagal mempersuasi Korea Utara dan Iran untuk menghentikan pengembangan rudal, maka akan mengundang negara lain yang juga turut mengembangkan rudal mengikuti Korea Utara dan Iran. Apalagi negara-negara yang selama ini "kebakaran jenggot" seperti Amerika Serikat, Inggris, dan Perancis juga pemilik rudal balistik.
Penulis: Yantina Debora
Editor: Suhendra