Menuju konten utama

Badai Sanksi Tak Bikin Jera Korea Utara Menembakkan Rudal

Sejak Kim Jong-un berkuasa pada akhir 2011, Korut melakukan lebih dari 80 kali uji coba peluncuran rudal.

Badai Sanksi Tak Bikin Jera Korea Utara Menembakkan Rudal
Warga Korut menyakiskan layar raksasa peluncuran uji coba misil balistik antar-benua Hwasong-14 dalam foto yang disiarkan Kantor Berita Pusat Korea Utara (KCNA), Rabu (5/7). ANTARA FOTO/KCNA/via REUTERS

tirto.id - Korea Utara kembali membuat gempar tatanan global. Sebuah rudal balistik diluncurkan pada Selasa dini hari, 29 Agustus kemarin. Rudal ini melintasi Pulau Hokkaido, Jepang, sebelum mendarat di Laut Pasifik.

Menurut siaran NHK seperti dilansirThe Guardian, rudal diluncurkan dari Pyongyang dan melewati Pulau Hokkaido pada pukul 6 pagi, menempuh jarak perjalanan sekitar 2.700 km, dan mencapai ketinggian maksimum di 550 km. Saat mendarat, rudal itu pecah menjadi tiga bagian serta jatuh di 730 mil sebelah timur Pulau Hokkaido.

Perdana Menteri Jepang Shinzo Abe menjelaskan pemerintahannya telah melakukan antisipasi dengan menghidupkan tanda peringatan agar dapat menjamin keselamatan warga di sekitar Pulau Hokkaido. Peristiwa ini tidak menimbulkan korban jiwa maupun kerusakan bangunan.

Baca juga: Korea Utara Tembakkan Rudal Balistik Melewati Wilayah Jepang

Juru bicara pemerintah Jepang, Yoshihide Suga, menyebutkan rudal milik Korea Utara itu ancaman keamanan yang belum pernah terjadi sebelumnya. Sementara Kementerian Luar Negeri Korea Selatan mengecam peluncuran rudal Korea Utara sebagai provokasi serius. Dalam keterangan resminya, seperti dikutipCNN, Korea Selatan meminta pemerintah Korea Utara perlu mengedepankan dialog dibanding melakukan provokasi semacam itu.

Berkaca dari insiden itu, Perdana Menteri Abe akan meminta pertemuan Dewan Keamanan PBB guna menindaklanjuti aksi Korea Utara. Sementara Menteri Pertahanan Jepang Itsunori Onodera mengharapkan Amerika Serikat turun tangan dengan melancarkan protes keras terhadap tindakan Korut tersebut.

Uji coba peluncuran rudal balistik ini adalah respons Korut atas pelatihan militer Uli-Freedom Guardian yang melibatkan tentara Amerika Serikat dan Korea Selatan. Sebelum rudal dilepaskan, Korut menyampaikan keluhannya kepada Dewan Keamanan PBB sekaligus mengecam pelatihan tersebut. Bagi pemerintahan Kim Jong-un, pelatihan militer Korsel dan AS adalah tindakan provokatif di tengah isu keamanan Semenanjung Korea.

Sedangkan pihak Seoul dan Washington menjelaskan pelatihan itu upaya untuk meningkatkan kemampuan pertahanan tanpa ada maksud memicu ketegangan melawan Korea Utara. Menurut Grace Choi, wakil biro urusan Asia Timur Departemen Luar Negeri Amerika Serikat, latihan militer bersama tersebut digelar secara transparan dan sudah berlangsung selama kurang lebih 40 tahun.

Laporan dari Bloomberg, peluncuran rudal Korea Utara membuat bursa saham di Asia menurun. Nikkei 225—indeks pasar saham untuk Bursa Saham Tokyo—turun 0,5 persen, dan Kospi Index—saham gabungan seluruh perusahaan di bursa Korea—turun 1,6 persen. Para pelaku pasar mengatakan, penurunan ini dipicu ketegangan yang ditimbulkan oleh aksi Korea Utara tersebut.

Peluncuran rudal balistik meneruskan serangkaian uji coba pemerintahan Korut selama beberapa waktu lalu. Tiga hari sebelumnya, Korea Utara menembakkan tiga rudal balistik jarak pendek. Satu bulan lalu, meluncurkan rudal balistik antar-benua, yang menurut kalangan analis mampu mencapai daratan Amerika.

Korea utara pertama kali meluncurkan rudal ke wilayah Jepang pada 1998 yang menimbulkan kecaman dari pemerintah setempat. Pada 2009, rudal milik Korea Utara kembali melintasi wilayah Jepang, lagi-lagi menimbulkan ketegangan regional.

Semenjak Kim Jong-un berkuasa pada akhir 2011, tercatat lebih dari 80 kali uji coba peluncuran rudal dilakukan Korut.

Infografik sama rudal kok coba-coba

Bertahan di Tengah Sanksi PBB

Tindakan Korea Utara yang sering melakukan uji coba peluncuran rudal bukan tanpa tentangan.

Korea Utara telah lama berada dalam pengawasan Dewan Keamanan PBB atas kegiatan tersebut. Pada 2006, Dewan Keamanan PBB menjatuhkan sanksi setelah Pyongyang melakukan uji coba pertama, diikuti oleh AS, Uni Eropa, Korea Selatan, dan Jepang.

Sepuluh tahun kemudian, Dewan Keamanan PBB kembali memberi sanksi dalam Resolusi 2270. Sanksi berfokus pada pembatasan kegiatan ekonomi internasional Korea Utara, terutama pelarangan impor mineral. Banyak pihak beranggapan sanksi ini adalah yang terberat.

Baru-baru ini, sebelum insiden misil yang melintasi Pulau Hokkaido, Dewan Keamanan PBB menjatuhkan sanksi dalam Resolusi 2371. Lingkupnya diperluas hingga pelarangan ekspor dan pembatasan pemakaian tenaga kerja asal Korea Utara di luar negeri. Efek dari sanksi ini bisa besar. Diprediksi, sepertiga total ekspor tahunan Korea Utara sebesar 3 miliar dolar akan terpotong.

Harapannya, lewat sanksi itu, pemerintahan Kim Jong-un meninggalkan program dan uji coba senjata nuklir. Setelah itu, mendorong Korea Utara duduk bersama di meja perundingan.

Baca juga:

Meski demikian, penerapan sanksi Dewan Keamanan PBB tidak berlaku efektif apabila Tingkok dan Rusia setengah hati melaksanakannya. Mendapatkan dukungan kedua negara itu dalam satu jalur merupakan hal penting. Mereka adalah mitra utama ekonomi Korea Utara. Apabila kedua negara itu memberi tekanan terhadap Korea Utara, dampak sanksi itu bisa terasa.

Ini tampaknya sederhana, tetapi kenyataannya tidak. Bagi Tiongkok, sulit melihat ekonomi Korea Utara porak poranda akibat sanksi Dewan Keamanan PBB. Negeri Tirai Bambu itu enggan melihat Korea Utara kolaps karena kondisi itu bisa memengaruhi stabilitas geopolitik. Sementara Rusia, pada awal 2017, memperluas penggunaan pekerja migran Korea Utara.

Namun, di tengah terpaan sanksi dari Dewan Keamanan PBB dan ancaman embargo ekonomi, Korea Utara tetap melanjutkan program nuklir dan rudal.

Korea Utara tetap bertahan dengan strategi dan segala perhitungannya. Bagi Korea Utara, pengembangan senjata nuklir dan rudal tak memberi potensi kerugian yang besar.

Benjamin Katzeff Silberstein dari Foreign Policy Research Institute, dalam tulisannya di The Diplomat, menyebut ada dua alasan yang membuat Korea Utara mampu bertahan dalam tekanan global.

Pertama, Korea Utara telah mencapai kemajuan ekonomi dalam beberapa tahun terakhir, terlebih sejak Kim Jong-un berkuasa. Meski sanksi dijatuhkan bertubi-tubi, perkembangan ekonomi Korea Utara tak terpengaruh karena pada dasarnya kebijakan ekonomi pemerintahan tertutup ini bertumpu pada kebijakan dalam negeri dibanding kebijakan internasional.

Meski tak mengalami pertumbuhan ekonomi dengan angka fantastis, tetapi kondisi Korea Utara jauh lebih baik dibanding satu dekade lalu, demikian Silberstein. Kemajuan ekonomi Korut antara lain ditopang oleh meningkatnya ruang produksi dan perdagangan pada sistem ekonomi dalam negeri.

Alasan kedua, Korea Utara memiliki banyak jalur untuk melakukan perdagangan dan pelbagai transaksi ekonomi yang tidak diketahui publik tetapi berperan penting. Ri Jong-ho, mantan pejabat Korea Utara dalam wawancaranya dengan Kyodo News, menyatakan Korea Utara memperoleh 300 ribu ton bahan bakar dan beragam produk minyak dari Rusia setiap tahun melalui perantara yang berbasis di Singapura.

Jika dibandingkan pasokan dari Tiongkok yang menyentuh 520 ribu ton per tahun, angka 300 ribu masihlah jauh. Akan tetapi, jumlah itu tetap signifikan untuk Korea Utara.

Dari kedua faktor itu, dapat dilihat bagaimana Korea Utara telah terbiasa menempuh jalur non-konvensional guna memastikan perekonomian mereka stabil di tengah sanksi dari Dewan Keamanan. Korea Utara mengolah celah-celah non-konvensional itu menjadi aspek manajemen perekonomian dalam negeri.

Melihat konflik dan ketegangan regional yang terjadi baru-baru ini antara Korea Utara dan negara-negara sekitar, dibutuhkan langkah tepat agar krisis mampu ditekan seminimal mungkin.

Baca juga artikel terkait RUDAL KOREA atau tulisan lainnya dari M Faisal Reza Irfan

tirto.id - Politik
Reporter: M Faisal Reza Irfan
Penulis: M Faisal Reza Irfan
Editor: Fahri Salam