Menuju konten utama

Kabut Asap Jambi: Pemerintah Harus Sediakan Rumah Aman

Pemerintah didesak untuk segera menyelesaikan masalah kebakaran hutan di Jambi dan memberikan rumah aman bagi kelompok rentan.

Kabut Asap Jambi: Pemerintah Harus Sediakan Rumah Aman
Suasana pesisir Pantai Timur Sumatera yang diselimuti kabut asap di Kampung Laut, Kuala Jambi, Tanjungjabung Timur, Jambi, Rabu (4/9/2019). ANTARA FOTO/Wahdi Septiawan/foc.

tirto.id - Pemerintah Kota Jambi kembali meliburkan sekolah. Langkah itu diambil akibat tingginya konsentrasi partikulat PM 2,5 yang menunjukkan kualitas udara di daerah itu kategori berbahaya.

Dilansir dari Antara, pengukuran PM 2,5 telah mencapai 513 pada 8 September pukul 21.30 WIB.

"Artinya berbahaya, sehingga pemerintah mengambil kebijakan untuk meliburkan anak sekolah," kata Juru bicara Pemerintah Kota Jambi, Abu Bakar di Jambi, kepada Antara, Senin (9/9/2019).

Selain itu, melalui maklumat Wali Kota Jambi Nomor: 180/179 /HKU/2019 tentang antisipasi dampak kabut asap, Pemerintah Kota Jambi mengimbau masyarakat mengurangi aktivitas di luar ruangan. Jika terpaksa harus beraktifitas di luar ruangan, warga diminta menggunakan masker.

Menurut Direktur Wahana Lingkungan Indonesia (Walhi) Jambi, Rudiansyah, banyak faktor yang bikin polusi udara di Jambi sangat tinggi. Salah satunya kebakaran gambut dan terjadi di wilayah yang pernah terbakar pada 2015.

"Beberapa wilayah yang terbakar sekarang berada di wilayah yang sudah diintervensi restorasi gambut oleh BRG [Badan Restorasi Gambut] dan Mitra BRG," kata Rudi kepada reporter Tirto, Senin (9/9/2019).

Berulangnya kebakaran ini, kata Rudi, tak bisa dilepaskan dari sistem penanganan dari pemerintah yang hanya dilakukan di spot-spot tertentu dan tidak menyeluruh. Kondisi ini diperburuk dengan munculnya kanalisasi air untuk hutan tanaman industri (HTI) dan kelapa sawit.

"Kanalisasi itu membuat parit-parit untuk kepentingan perusahaan. Karena dibangun kanalisasi, sehingga gambut jadi kering," ucap Rudi.

Secara terpisah, Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan (LHK) Siti Nurbaya mengaku sudah berupaya memadamkan kebakaran hutan dan lahan (karhutla) di Riau, Jambi, dan Sumatera Selatan. Ia juga berjanji untuk menutupi celah terjadinya kebakaran berulang di tahun ini.

"Pemerintah sedang menelusuri indikasi pembakaran secara sengaja dengan mempelajari jaringan kerja kebakaran mencurigakan tersebut," kata Siti.

Pemerintah Harus Bertindak

Namun, Juru Kampanye Iklim dan Energi Greenpeace Indonesia Bondan Andriyanu merasa upaya yang yang dilakukan pemerintah belum cukup menghentikan masalah kabut asap ini. Ia meminta pemerinta bertindak cepat menghentikan kebakaran hutan.

"Kalau kebakaran hutan yang harus segera dihentikan kebakaran hutannya," kata Bondan kepada reporter Tirto, Senin (9/9/2019).

Tak hanya itu, Bondan menilai, pemerintah juga perlu membuat terobosan langkah guna meminimalisasi dampak kesehatan bagi warga Jambi. Salah satunya dengan membangun rumah aman karena karena tingginya PM 2,5 akibat kebakaran ini bisa mengakibatkan gangguan pada paru-paru.

"Harus ada upaya langsung kepada masyarakat," lanjutnya.

Potensi dampak kesehatan yang disampaikan Bondan selaras dengan hasil studi yang dilakukan Tianjia Liu, peneliti dari Harvard University. Pada pertengahan Agustus 2019, Liu mengungkapkan potensi kematian dini akibat kebakaran hutan bisa mencapai 36 ribu jiwa per tahun.

Menurut Liu, kondisi itu bisa benar-benar terjadi jika sepanjang 2020-2029 masalah kebakaran hutan ini tak kunjung diselesaikan.

"Ini dampak dari aktivitas kebakaran di Indonesia yang menghasilkan asap ekstrem dan besar," kata Liu, Selasa (13/8/2019).

Menurutnya, kebakaran hutan mengakibatkan partikel particulate matter (PM) 2,5 mikrometer. Partikel ini yang mengakibatkan gangguan paru-paru, infeksi saluran pernafasan akut (ISPA), penyakit jantung hingga kematian dini.

Baca juga artikel terkait KEBAKARAN HUTAN DAN LAHAN atau tulisan lainnya dari Fadiyah Alaidrus

tirto.id - Sosial budaya
Reporter: Fadiyah Alaidrus
Penulis: Fadiyah Alaidrus
Editor: Widia Primastika