tirto.id - Wacana penambahan batas maksimal kepemimpinan presiden dari dua menjadi tiga periode kembali mengemuka. Politikus senior Amien Rais menggulirkan kembali isu ini akhir pekan lalu.
Lewat Youtube, Sabtu (13/2/2021) lalu, Amien mengatakan ada yang hendak mendorong Presiden Joko Widodo "bisa mencengkeram semua lembaga tinggi negara". "Mereka"--kata Amien tanpa menyebut persisnya siapa--pertama-tama akan meminta sidang istimewa MPR agar ada amandemen terhadap "satu dua pasal." "Kemudian nanti akan ditawarkan... memberikan presidennya bisa dipilih tiga kali."
Menurutnya, upaya ini awalnya tampak samar-samar, tapi "sekarang makin jelas ke arah mana rezim Jokowi."
"Akankah kita biarkan plotting rezim sekarang ini akan memaksa masuknya pasal supaya bisa dipilih ketiga kalinya itu?" katanya, meminta yang mendengarkan menggagalkan upaya tersebut.
Wakil Ketua Umum PPP Jazilul Fawaid mendorong Amien membuktikan dugaan yang bernada konspiratif itu. "Buktikan saja dugaannya, asal konstitusional tidak masalah. Yang dilarang itu gerakan inkonstitusional sebab kita negara hukum," kata Jazilul Senin (15/3/2021) kemarin.
Sementara Ketua DPP PDIP Ahmad Basarah mengatakan partainya, yang merupakan partai Jokowi, tidak pernah mempertimbangkan langkah politik untuk menambah masa jabatan presiden. Batas dua periode saat ini sudah ideal, katanya.
Walau begitu, Wakil Ketua MPR itu mengatakan yang perlu dipikirkan adalah soal kesinambungan kinerja antara presiden dan presiden berikutnya. Sering kali, pergantian presiden diiringi pergantian visi dan misi sehingga pembangunan terganggu. Untuk itu, ia mengusulkan agar MPR diberikan kewenangan menetapkan Garis Besar Haluan Negara (GBHN).
"Yang dibutuhkan bangsa kita saat ini adalah perubahan terbatas UUD 1945 untuk memberikan kembali wewenang MPR untuk menetapkan GBHN dan bukan menambah masa jabatan presiden menjadi 3 periode karena hal tersebut bukan kebutuhan bangsa kita saat ini," kata Basarah lewat keterangan tertulis.
Ketua MPR 2019-2024 sekaligus Wakil Ketua Umum Golkar Bambang Soesatyo memastikan sebagai lembaga yang memiliki kewenangan mengubah dan menetapkan UUD 1945, "MPR RI tidak pernah melakukan pembahasan apa pun untuk mengubah Pasal 7 UUD NRI 1945." Pasal itu terkait masa jabatan presiden ("Presiden dan Wakil Presiden memegang jabatan selama lima tahun, dan sesudahnya dapat dipilih kembali dalam jabatan yang sama, hanya untuk satu kali masa jabatan.").
Ia pun mengingatkan agar masyarakat waspada isu ini dikapitalisasi untuk menjadi bahan pertikaian. Menurutnya, batas dua periode sudah ideal agar Indonesia tidak jatuh pada kepemimpinan tanpa batas waktu seperti pada masa Orde Baru. Selain itu, batasan itu dibuat untuk memastikan regenerasi kepemimpinan terus berjalan.
Tenaga Ahli Utama KSP Donny Gahral Adian pun membantah. Menurutnya itu hanya spekulasi dan ia tak tahu apa motivasi Amien menyatakan demikian. "Pak Amien Rais harus hati-hati karena spekulasi tanpa dasar bisa disebut sebagai fitnah," kata dia lewat keterangan tertulis.
Jokowi sendiri bahkan mengatakan dia "tidak ada niat" memperpanjang masa jabatan. "Apalagi yang harus saya sampaikan? Bolak-balik ya sikap saya tidak berubah," ujar Jokowi, kemarin.
Ia pun meminta Amien tidak "membuat kegaduhan baru." "Kita saat ini tengah fokus pada penanganan pandemi," kata Jokowi.
Bukan Tidak Mungkin
Wijayanto, Direktur Center for Media and Democracy Lembaga Penelitian, Pendidikan, dan Penerangan Ekonomi dan Sosial (LP3ES), mengatakan isu-isu yang normal--atau dalam istilahnya "isu natural--"muncul (bertahan) satu dua minggu." Sementara isu presiden tiga periode tampak diupayakan tetap hidup di benak publik. "Durasinya cukup lama," kata Wijayanto kepada reporter Tirto, Senin.
Berdasarkan penelusuran Tirto, rencana amandemen UUD 1945 sempat disuarakan pada Oktober 2019. Kala itu, Ketua Umum Partai Nasional Demokrat (Nasdem) Surya Paloh bertemu dengan Ketua Umum Partai Gerindra Prabowo Subianto dan keduanya sepakat untuk mengamandemen UUD 1945 secara menyeluruh. Paloh menyoroti beberapa poin dalam rencana amandemen itu. Pertama, menghidupkan lagi GBHN; kedua, mengatur ulang keserempakan dalam pemilihan umum.
Wakil Ketua MPR Hidayat Nur Wahid menyebut memang Partai Nasdem-lah yang paling gencar mendorong agar masa jabatan presiden ditambah jadi tiga periode, sementara PKB ingin presiden kembali dipilih MPR.
Wacana itu menghilang seiring penegasan Jokowi menolak penambahan masa jabatan presiden dan kembali mengemuka sekarang.
Pakar Hukum Tata Negara dari Universitas Andalas Feri Amsyari mengatakan "penambahan tiga periode presiden itu hanya mungkin dilakukan dengan mengubah Pasal 7 UUD 1945." Untuk melakukan amandemen itu butuh kekuatan politik yang besar, katanya, sebab pasal 37 UUD 1945 mensyaratkan usul perubahan pasal harus diajukan oleh minimal 1/3 anggota MPR yang terdiri dari anggota DPR dan anggota DPD. Ayat berikutnya dari pasal itu mengatakan, pasal yang diusulkan untuk diamandemen pun harus jelas.
Sidang untuk mengubah pasal harus dihadiri minimal 1/3 anggota MPR. Perubahan atas pasal hanya bisa jika mendapat persetujuan dari 50 persen plus 1 orang anggota MPR. Jika keputusan itu telah dibuat, maka tak ada lagi upaya untuk menganulirnya.
Meski banyak yang menolak, termasuk partai dan Jokowi sendiri, serta syaratnya relatif berat, secara hitung-hitungan politik masa jabatan tiga periode bukan tidak mungkin, kata Wijayanto. Sebab saat ini sebagian besar partai sudah masuk gerbong pemerintah, hanya tersisa Partai Demokrat dan Partai Keadilan Sejahtera (PKS) di kubu oposisi. Partai Demokrat malah tengah dipukul dualisme kepengurusan setelah pengambilalihan paksa oleh Kepala Staf Kepresidenan (KSP) Moeldoko.
Menurutnya tak ada yang bisa memastikan masa jabatan presiden tetap dua periode mengingat minimnya komitmen para politikus terhadap demokrasi. Bisa dilihat mulai dari revisi UU KPK, revisi UU Minerba, pembahasan UU Cipta Kerja, sampai penyelenggaraan Pilkada 2020 yang semuanya menerobos aspirasi masyarakat.
"Itu adalah rekam jejak yang menunjukkan politikus-politikus kita sudah terlalu jauh memunggungi demokrasi, mengabaikan publik," kata Wijayanto.
Penulis: Mohammad Bernie
Editor: Rio Apinino