Menuju konten utama

Jokowi Banjir Penghargaan, Upaya Poles Citra sebelum Lengser?

Dalam komunikasi politik, segala sesuatu yang sengaja ditampilkan ke publik adalah upaya untuk membangun citra.

Jokowi Banjir Penghargaan, Upaya Poles Citra sebelum Lengser?
Presiden Joko Widodo (kiri) menerima anugerah medali kehormatan keamanan dan keselamatan publik Loka Praja Samrakshana dari Kapolri Jenderal Polisi Listyo Sigit Prabowo (kanan) di Mako Brimob, Kelapa Dua, Depok, Jawa Barat, Senin (14/10/2024). ANTARA FOTO/Muhammad Adimaja/rwa.

tirto.id - Presiden Joko Widodo baru saja menerima penghargaan atau tanda kehormatan berupa medali Loka Praja Samrakshana dari Kepolisian Republik Indonesia (Polri). Penghargaan itu diberikan atas jasa luar biasanya dalam pengembangan dan kemajuan Polri. Iadiberikan berdasarkan Keputusan Kapolri Nomor Kep/1723/X/2024 tentang Tanda Kehormatan Keamanan dan Keselamatan Publik.

Penganugerahan tanda kehormatan diberikan secara langsung oleh Kapolri Jenderal Polisi, Listyo Sigit Prabowo, dalam apel pasukan pengamanan untuk pelantikan Presiden dan Wakil Presiden RI, Senin (14/10/2024) kemarin. Kapolri secara simbolik mengalungkan medali kehormatan sekaligus menempelkan pin di dada kiri Jokowi di atas podium.

Di mana ini adalah bentuk penghormatan institusi terkait dengan sumbangsih beliau yang luar biasa terhadap institusi Polri,” kata Sigit di Mako Brimob, Kelapa Dua, Senin (14/10/2024).

Medali kehormatan Loka Praja Samrakshana memiliki arti perlindungan terhadap rakyat dan publik. Jokowi dalam hal ini dinilai telah mengoptimalkan tugas dan fungsi Polri, mulai dari melindungi, mengayomi, melayani masyarakat, dan melakukan penegakan hukum.

Ini adalah pemberian tanda kehormatan kepada Jokowi yang ke sekian kalinya. Pada akhir September 2024 lalu, Jokowi juga telah menerima penyematan Brevet Kehormatan Hiu Kencana dalam upacara yang digelar di atas KRI dr. Radjiman Wedyodiningrat (RJW-992).

Brevet tersebut melambangkan kepercayaan dan penghargaan kepada individu yang telah memberikan kontribusi signifikan terhadap Tentara Nasional Indonesia (TNI) Angkatan Laut (AL), khususnya dalam mendukung armada kapal selam.

Menjelang masa jabatannya, Jokowi juga tercatat beberapa kali mendapatkan penghargaan dari beberapa lembaga maupun negara lain. Pada akhir Agustus 2024, misalnya, Jokowi menerima penghargaan Agricola Medal dari The Food and Agriculture Organization of the United Nations (FAO). Penghargaan tersebut diserahkan langsung oleh Director General FAO, Dr. Qu Dongyu di Istana Negara Jakarta, pada Jumat, (30/8/2024).

Penghargaan Agricola Medal merupakan penghargaan tertinggi yang diberikan oleh FAO kepada individu yang memiliki kontribusi luar biasa dalam bidang pangan dan pertanian. Agricola Medal tersebut disiapkan langsung oleh Kantor Pusat FAO di Roma yang menampilkan ukiran foto Presiden Jokowi dan slogan “Stronger Together for Resilient and Sustainable Agrifood Systems.”

Dalam kunjungan kenegaraannya pada pertengahan Juli 2024 ke Abu Dhabi, Jokowi juga menerima penghargaan sipil tertinggi dari Presiden Uni Emirat Arab, Mohamed bin Zayed Al Nahyan. Penghargaan tersebut diberikan sebagai pengakuan atas upaya Presiden Joko Widodo memperkuat hubungan erat antara kedua negara dan meningkatkan kerja sama bilateral selama masa jabatannya.

Tanda Penghormatan dari Polri Menuai Kontroversi

Sekilas membanggakan, pemberian penghargaan kepada Jokowi itu rupanya juga menuai kontroversi. Pakar Hukum Tata Negara dari Universitas Andalas, Feri Amsari, justru melihat ada keanehan ketika Presiden diberi penghargaan atau tanda kehormatan oleh bawahannya sendiri—dalam hal ini Polri.

Dasar dari penilaian terhadap penghargaan itu pun menurutnya patut dipertanyakan.

Atas dasar apa bawahannya [memberi penghargaan]? Tentu saja bekerja atas dasar kepentingannya memberikan dia [Jokowi] penghargaan. Bagi saya penghargaan ini sama dengan konflik kepentingan,” ujar dia kepada Tirto, Senin (14/10/2024).

Ketua Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI), Muhamad Isnur, menambahkan bahwatidak patut bawahan memberikan penghargaan atau tanda kehormatan kepada atasannya. Pasalnya,itu berpotensi ada konflik kepentingan.

"Nah, kepentingannya apa? Sangat banyak. Bisa jadi karena ini atasan dia yang perintahkan atau minta," kata Isnur kepada Tirto, Senin (14/10/2024).

Isnur mengatakan bahwabawahan seharusnya tidak memberikan penghargaan kepada atasan saat masih menjabat. Terlebih, indikator bahwa Jokowi menjadi aktor yang berjasa bagi Polri juga tidak relevan.

"Ini kan lucu. Jadi, kita melihat satu yang tidak baik dan keliru dan patut diduga punya konflik kepentingan dan juga bagian cara dari perintah Jokowi untuk kepentingan banyak hal," jelas dia.

Isnur lantas mempertanyakan kemajuan apa yang diupayakan Jokowiuntuk kepolisian. Menurutnya, Jokowi justruberkontribusi minim bagi Polri. Jokowi, misalnya, tidak memberikan sinyal baik tentang bagaimana polisi seharusnya bertindak. Sebaliknya, era Jokowi justru diwarnai beberapa kasus kekerasan oleh polisi.

"Harusnya, Jokowi dievaluasi dalam hal gunakan kepolisian sebagai alat negara yang berubah jadi alat kekuasaan," kata dia.

Analis sosio-politik dari Institute for Security and Strategic Studies (ISESS), Musfi Romdoni, justru melihat ada satu catatan menarik dari pemberian tanda kehormatan tersebut. Pemberian penghargaan dari Polri itu akan jadi kebiasaan baru untuk setiap Presiden RI menjelang akhir jabatannya.

Pada 2013 lalu, misalnya, Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) juga mendapat penghargaan dari Polri dan diangkat jadi warga kehormatan Brimob. Penghargaan tersebut diberikan atas masukan positif SBY terhadap Polri dan khususnya Brimob.

Waktu itu, momennya juga sangat dramatis. SBY menerima penghargaan di tengah guyuran hujan tanpa dipayungi,” ujar dia.

Upaya Bangun Citra dan Sebuah Kewajaran

Musfi Romdoni mengatakan bahwa dalam komunikasi politik, segala sesuatu yang sengaja ditampilkan ke publik adalah upaya untuk membangun citra. Apalagi, ini adalah penghargaan baru yang diberikan Polri kepada Jokowi.

[Ini] adalah upaya untuk membangun citra,” kata Musfi kepada Tirto, Senin (14/10/2024).

Meski ini adalah upaya untuk memoles citra, pemberian penghargaan atau kehormatan kepada Jokowi dinilai kurang strategis. Pasalnya, citra Polri sendiri tidak bagus di masyarakat, meskipun dalam survei Indikator Politik Indonesia tingkat kepercayaan publik terhadap lembaga hukum dan politik, Polri masih masuk dalam lima besar.

Saya kira ini kurang strategis. Karena begini, citra Polri kan tidak bagus. Kalau dibahasakan, Jokowi adalah warga kehormatan Brimob, itu kan berpotensi membuat Jokowi dilekatkan pada identitas polisi,” jelas dia.

Musfi mengatakan bahwa dalam konteks memberi penghargaan, strategi yang paling ampuh adalah mendapat penghargaan dari perguruan tinggi. Tapi, Jokowi sendiri justru memilih tidak menerima penghargaan dari kampus.

Padahal, semua Presiden RI sebelumnya menerima penghargaan dari berbagai kampus.

Ini yang jadi anomali,” imbuh dia.

Lebih lanjut, Musfi memahami bahwa setiap presiden pasti ingin soft landing di akhir masa jabatannya, termasuk juga Jokowi. Untuk itulah ada banyak daya upaya dilakukan, termasuk memoles citra dengan cara membagikan legasi dan capaian.

Pada konteks transisi kekuasaan, menurut Musfi, ada dua aspek yang perlu jadi perhatian utama. Pertama aspek publik, yakni upaya memoles citra adalah cara untuk soft landing. Kedua, aspek elite politik yang dilakukan dengan tidak melakukan intervensi terhadap penguasa baru.

Menurut Musfi keduanya dilakukan SBY pada 2014 lalu. SBY bisa saja melakukan intervensi, tapi memilih netral. SBY, kata Musfi, dapat dikatakan melakukan soft landing dengan mewarisi citra baik di tengah masyarakat dan tidak menimbulkan gesekan besar di elite politik.

Jadinya, soft landing itu tidak hanya bertujuan agar masyarakat memiliki ingatan yang baik terhadap mantan Presiden, tapi agar elite politik tidak mengganggu mereka ketika sudah turun takhta,” pungkas dia.

Analis Politik Universitas Padjadjaran (Unpad), Kunto Adi Wibowo, menambahkan bahwa citra Jokowi di pengujung masa jabatannya tentu menjadi penting. Pasalnya, Jokowi dinilai tak akan punya kekuatan politik setelah lengser.

Jokowi udah enggak punya apa-apa ya setelah turun dari Presiden. Hanya anaknya yang jadi Wakil Presiden. Kemudian, ada anaknya satu lagi yang jadi ketua partai yang tidak punya kursi di DPR RI, tapi masuk ke koalisi pemerintahan,” jelas Kunto.

Menurut Kunto, tanpa kekuatan politik, Jokowi akhirnya membutuhkan dukungan dari pemilihnya atau simpatisan dalam bentuk massa yang riil. Salah satunya penarik massanya adalah dengan pencitraan dalam bentuk pemberian tanda penghormatan dan penghargaan di akhir masa jabatan.

Dan pencitraannya lebih ke sana supaya mereka yang dulu memuja Pak Jokowi sekarang pun tetap memuja beliau dengan bukti-bukti berupa penghargaan-penghargaan ini,” jelas dia.

Sementara itu, Direktur Institute for Criminal Justice Reform (ICJR), Erasmus Napitupulu, justru melihat pemberian tanda penghormatan kepada Jokowi sebagai hal wajar. Dalam hal ini, Polri tentu banyak berterima kasih kepada Jokowi lantaran telah banyak membantu kepolisian secara keseluruhan.

Di era Pak Jokowi, polisi jadi serba bisa dan serba guna. Pejabat di mana-mana, anggaran besar, penambahan kewenangan, meski minim pengawasan. Jadi, saya kira wajar polisi kasih penghargaan ke Presiden,” kata dia kepada Tirto, Senin (14/10/2024).

Tirtosudah mencoba menghubungi Kepala Presidential Communication Officer (PCO), Hasan Nasbi, untuk meminta keterangan terkait penghargaan dan tanda penghormatan yang diberikan kepada Jokowi di akhir masa jabatannya. Namun, hingga berita ini dirilis, Hasan Nasbi tidak merespons pertanyaan yang diajukan olehTirto.

Baca juga artikel terkait PENCITRAAN atau tulisan lainnya dari Dwi Aditya Putra

tirto.id - News
Reporter: Dwi Aditya Putra
Penulis: Dwi Aditya Putra
Editor: Fadrik Aziz Firdausi