tirto.id - Angelina Jolie, aktris film Maleficent sekaligus ibu dari enam orang anak itu merasa kebingungan ketika Zahara, anaknya yang waktu itu berusia sembilan tahun meminta izin memasang tato di tubuhnya. Jolie sendiri merasa tidak nyaman untuk mengekang anak dengan batasan dan larangan. Terlebih, ia sendiri juga punya 17 tato di tubuhnya.
Di sisi lain, Brad Pitt, suaminya waktu itu, secara terang-terang menolak dan mengungkapkan kekhawatiran atas keinginan bertato anaknya.
"Bagaimana aku bisa bilang tidak? Hal ini sangat susah diterima oleh Brad. Untuk beberapa alasan, pria memang lebih sensitif ketika putrinya ingin memiliki tato. Dan Brad berpikir putrinya akan berbuat hal buruk," kata Jolie ketika diwawancarai Radio Times Magazine.
Tidak hanya Zahara saja yang mempunyai keinginan mempunyai tato seperti yang orangtuanya miliki. Sejumlah remaja di beberapa negara bahkan sudah menganggap memiliki tato di usia mudanya adalah suatu hal yang biasa. Survei Pew Research Center pada 2010 mendapati ada 38 persen anak usia 18 sampai 29 tahun memiliki setidaknya 1 tato di tubuhnya dan sejumlah 23 persen anak memiliki tindikan.
Baca juga:Gaya Hidup Ekstrem: Mewarnai Mata dengan Tato
Menyikapi hal ini, Dr. Cora Collette Breuner, ketua Komite Remaja pada American Academy of Pediatrics di Amerika Serikat turut memberi saran. Menurutnya, anak yang ingin ditato perlu diberi saran agar mencoba tato temporer dulu, untuk merasakan bagaimana tampil di publik dengan tato di tubuh.
Selain itu, ia juga memberi saran bagi sejawatnya sesama dokter anak. “Dokter anak harus bertanya, ‘Apa kamu sudah bilang orangtua? Kamu tahu, kan, bahwa tato itu permanen?’," katanya.
Ia juga memberi anjuran bagi para orangtua agar membujuk anaknya untuk menunda keinginan mereka alias masa tunggu sebelum benar-benar ditato. Mereka perlu yakin dulu bahwa mereka tak akan meniti karier di bidang yang melarang penggunaan tato. Penundaan juga penting agar mereka bisa menimbang akibat pilihan itu terhdap kesehatan mereka.
“Bukan hanya pekerjaan yang konservatif saja. Baru-baru ini saya mendengar tentang aktor muda yang bertato harus bersiap lebih awal untuk terlebih dahulu menutupi tatonya dengan make up sebelum tampil,” kata Perri Klass, penulis di New York Times.
Baca juga:Industri Tato, Antara Seni dan Kesehatan
Di Indonesia sendiri, memang tidak ada larangan membuat tato, tapi terdapat beberapa lembaga pemerintahan yang melarang pekerjanya bertato. Beberapa di antaranya adalah di kalangan Polri, TNI AU, Kejaksaan Agung, Kementerian BUMN, Kementerian Hukum dan HAM, dan Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi.
Selain itu, orang yang memiliki tato di tubuhnya juga akan mengalami kesulitan ketika berniat melakukan transfusi darah untuk orang lain. Transfusi darah tak diperkenankan bagi calon pendonor yang bertato atau pernah merajah tubuhnya.
Cora C. Breuner dan David A. Levine dalam publikasinya di American Academy of Pediatrics Clinical Report, September 2017 lalu menyatakan bahwa dari segi kesehatan, proses penatoan mempunyai sejumlah risiko negatif.
Tinta tato atau jarum yang terkontaminasi dapat menyebabkan infeksi tubuh. Infeksi ini dapat berupa infeksi pirogenik superfisial, infeksi piogenik parah, infeksi bakteri atipikal, infeksi virus sistemik atau kutaneous, atau infeksi jamur kulit. Yang termasuk dalam infeksi virus sistemik dari patogen darah di antaranya adalah hepatitis C, hepatitis B, dan HIV.
Sementara itu, infeksi piogenik superfisial biasanya berhubungan dengan infeksi yang disebabkan oleh bakteri Staphylococcus aureus atau Streptococcus pyogenes.
“Infeksi biasanya terjadi 4 sampai 22 hari setelah proses tato. Infeksi biasanya disebabkan oleh kontaminasi tinta atau peralatan dengan air yang tidak steril,” kata Breuner.
Baca juga: Tato dan Wanita
Menimbang beberapa risiko tersebut, anak sebaiknya berdiskusi dan melakukan konsultasi dengan orangtua dan dokter terlebih dahulu sebelum melakukan proses pentatoan. Orangtua dan dokter juga mempunyai tugas untuk memberi pemahaman bahwa tato, selain bersifat permanen, tato juga tidak mudah dihapus dan memerlukan biaya mahal dalam pembuatan maupun penghapusannya.
Dokter, sebagai ahli medis juga berkewajiban memberi pemahaman mengenai praktik sanitasi dan tingkat higienitas salon-salon tato.
“Termasuk mengingatkan anak untuk mengamati proses tato dalam hal penggunaan sarung tangan, pemindahan jarum dan perlengkapan baru dari wadah steril yang tertutup rapat dan penggunaan tinta segar untuk setiap klien baru,” kata Dr. Ned Ketyer, seorang dokter anak.
Selain itu, ia juga mengingatkan kepada orangtua dan dokter anak untuk memberi pemahaman ketika infeksi terjadi. Para remaja sebaiknya segera mencari perawatan medis jika terjadi tanda dan gejala infeksi setelah ia ditato, dan konsultasi dengan spesialis penyakit menular, jika terdapat infeksi bakteri atau virus.
Selain itu, Dr. Breuner juga menekankan bahwa remaja sebelumnya harus memastikan baik-baik perihal tempat yang akan dipakainya memasang tato. Pemasangan tato dapat berisiko lebih tinggi, terutama bagi remaja yang memiliki masalah dengan jaringan parut dan pernah menderita kanker.
“Saya tidak bermaksud mengatakan praktisi kesehatan harus bersikap menghakimi setiap anak yang ingin bertato. Pembicaraan tersebut [antara anak dengan orangtua/dokter] diperlukan untuk menempatkan sesuatu pada tempatnya saja,” lanjut Breuner.
Penulis: Yulaika Ramadhani
Editor: Maulida Sri Handayani