tirto.id - Mari kita buka dengan perkara ini.
Pada Maret 2019, Saidah Saleh Syamlan diputus bersalah karena melakukan pencemaran nama baik terhadap PT Pisma Putra Textile. Ia dijatuhi hukuman penjara 10 bulan dan denda Rp5 juta subsider satu bulan kurungan. Pengadilan memutus Saidah Saleh melanggar pasal 27 ayat (3) juncto Pasal 45 ayat (3) Undang-undang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE).
Namun, Southeast Asia Freedom of Expression Network (SAFEnet) menganggap janggal kasus itu. Salah satunya karena tidak ada alat bukti yang sah. Saidah Saleh pun mengajukan banding. Pada 5 Agustus 2019, Pengadilan Tinggi Surabaya pun akhirnya memutus bebas Saidah.
Sebulan sebelumnya, Tim Jaksa Penuntut Umum dari Kejaksaan Negeri Mataram, Nusa Tenggara Barat, mengajukan kasasi atas kasus Amusrien Kholil. Ia adalah terdakwa kasus pidana Pasal 27 ayat (4) UU ITE. Kasusnya di meja hijau bermula dari komentarnya terhadap pencairan dana bantuan perbaikan rumah yang terdampak gempa di Lombok Utara. Kholil memuatnya di akun Facebook pribadi sekitar September 2018.
Setahun sebelumnya, Ketua Ikatan Keluarga Besar Papua Surabaya (IKBPS) Pieter F. Rumaseb melaporkan Anindya Shabrina Prasetiyo atas tuduhan pencemaran nama baik. Kasus Anindya ini adalah laporan balik dari laporan lain.
Kejadiannya, Anindya melaporkan dugaan tindakan pelecehan seksual oknum kepolisian dan Satpol PP pada pembubaran diskusi di Asrama Papua Surabaya pada 6 Juli 2018. Pieter, yang mungkin tidak terima dengan kasus itu, lantas melaporkan balik Anindya dengan pasal 27 ayat (3) jo. Pasal 45 ayat (3) UU ITE.
Tiga kasus di atas adalah beberapa contoh betapa mudahnya UU ITE menjerat 'korban,' bahkan setelah UU itu direvisi pada tahun 2016.
Setidaknya, sejak tahun 2008—tahun UU ITE diundangkan—dari catatan SAFEnet, 271 laporan kasus UU ITE pernah muncul di Indonesia. Umumnya, para pelapor menggunakan pasal 27 ayat (1) dan ayat (3), pasal 28 ayat (2), dan pasal 29 UU ITE (PDF). Perlu diketahui, pasal-pasal itu memuat perkara soal: larangan mendistribusikan informasi, yang melanggar kesusilaan, penghinaan atau pencemaran nama baik, kebencian dan SARA, serta ancaman kekerasan.
Demokrasi yang telah dipilih menjadi sistem politik bersama di Indonesia memang masih menghadapi banyak tantangan. Kebebasan berekspresi yang menjadi salah satu syarat dalam demokrasi kerap beririsan dengan penegakan hukum. Lantas, bagaimana memisahkan pencemaran nama baik dengan kritik dan kebebasan berekspresi?
Kasus UU ITE
Pelaporan kasus-kasus UU ITE terlihat mulai meningkat sejak 2013. Menurut catatan SAFEnet, kasusnya naik setidaknya empat kali lipat dari tahun sebelumnya. Lonjakkan terlihat pada 2016. Pada tahun itu, ada 83 kasus ITE yang dilaporkan orang-orang.
Sebagai catatan, pada tahun yang sama, UU ITE menjerat mantan gubernur DKI Jakarta Basuki Tjahaja Purnama (Ahok). Dalam sebuah acara yang direkam dalam video, dia dianggap melakukan penodaan agama. Pada akhirnya, Ahok divonis dua tahun penjara karena kasus penodaan terhadap surat Al-Maidah ayat 51, melanggar pasal 28 ayat (2) UU ITE dan pasal 156 KUHP.
Pada 18 Oktober 2018, Tirto pernah menulis masalah ini. Persinggungan antara ragam informasi sebagai wujud kebebasan berekspresi dengan soal pencemaran nama baik tampak begitu intens. Kemudahan akses teknologi informasi telah memudahkan pesan bergulir secara cepat di masyarakat. Termasuk dalam mempermasalahkan suatu konten, pesan dan informasi.
Setelah kasus Ahok, catatan menunjukkan bahwa pelaporan dengan menggunakan UU ITE cenderung menurun hingga 2019, tetapi jumlahnya masih relatif besar.
Pasal Penodaan Agama
Selain kasus-kasus UU ITE, hal lain yang rentan dijerat dengan pasal karet adalah kasus yang terkait dengan penodaan agama. Berdasarkan data yang diolah dari Setara Institute, Amnesty International (PDF), dan penelusuran Tirto, setidaknya terdapat 136 kasus penodaan agama terjadi antara 1965 hingga 2019.
Setelah periode reformasi, memang jumlah kasusnya lebih banyak tercatat seiring dengan keterbukaan terhadap hak kebebasan untuk berekspresi. Kasus penodaan agama biasanya juga terlihat meningkat karena adanya momentum tertentu seperti pada 2016, ketika polarisasi identitas menguat seiring dengan pemilukada (pemilu kepala daerah) DKI Jakarta. Lebih lanjut, setahun sebelum pemilu dan pilpres 2019, kasus penodaan agama melonjak lagi.
Sebelumnya, kasus yang dilaporkan lewat UU ITE terlihat ramai pada Pilkada Jakarta 2012, menjelang Pemilu Presiden 2014, dan Pilkada Jakarta 2017. Hal ini mengindikasikan bahwa ramainya pelaporan kasus UU ITE dan penodaan agama cenderung akan menguat seturut dengan momentum politik.
Di Indonesia, pasal yang digunakan untuk menuntut para penoda agama adalah KUHP pasal 156 ayat (a) dan pasal 157. Aturan hukum tersebut menuntut orang-orang yang menyiarkan, mempertunjukkan, atau menempelkan tulisan atau lukisan yang isinya mengandung pernyataan permusuhan, kebencian, atau penghinaan di antara atau terhadap golongan-golongan rakyat Indonesia.
Menariknya, sejak 2011, jeratan kasus penodaan agama tidak hanya melibatkan KUHP pasal 156 ayat (a) dan pasal 157, melainkan juga dengan UU ITE. Seiring dengan makin masifnya penggunaan Internet dalam kehidupan masyarakat, sulit untuk melepaskan penggunaan UU ITE dalam sebuah tuntutan hukum jika tindakan dugaan penodaan agama didistribusikan di Internet, seperti yang dialami Ahok.
Sebagai catatan, antara 2018 hingga 2019, terdapat 11 kasus penodaan agama yang juga dilaporkan lewat UU ITE.
Padahal, UU ITE tercipta sebagai upaya jaminan kepastian hukum terhadap informasi dan transaksi elektronik. Menurut catatan Tifa Foundation, UU ITE juga dihadirkan untuk mengatur internet (cyberlaw). Namun, dalam penerapannya, pasal karet ini telah memakan banyak korban. Bahkan, justru menjadi senjata untuk menjebak lawan politik.
Ancaman Demokrasi
Alih-alih memberikan kepastian hukum, pasal karet yang kerap bermasalah ini—UU ITE dan Penodaan Agama—malah jadi ancaman demokrasi, bahkan berpotensi memberangus kebebasan berekspresi.
Sebagai gambaran, masih dalam konteks yang berkaitan, nilai Indeks Demokrasi Indonesia versi BPS mencatat skor yang rendah pada 2009 hingga 2013, yaitu ada di kisaran 60 atau masuk dalam kategori sedang. Angka ini naik pada 2014 menjadi 73,04, tetapi kembali turun menjadi 70,09 pada 2016.
Apabila dilihat berdasarkan tahun, turunnya indeks demokrasi beriringan dengan banyaknya laporan UU ITE yang masuk ke kepolisian dan meningkatnya kasus penodaan agama. Demokrasi yang mensyaratkan adanya sistem pemilu yang terbuka dan menjamin kontestasi politik seakan menjadi pisau bermata dua.
Pada satu sisi, kontestasi politik yang terbuka mendorong sistem demokrasi Indonesia dapat menjadi lebih baik. Namun, di sisi lain, kontestasi politik terbuka itu pula yang melahirkan ketegangan, termasuk kaitannya dengan politik identitas.
Temuan LIPI pada akhir 2018, misalnya, menunjukkan fakta potensi ancaman adanya penguatan sentimen konservatisme agama di masyarakat. Hal ini seiring dengan berjalannya kontestasi politik dalam pemilukada yang berlangsung di berbagai daerah di Indonesia. Kampanye politik bernuansa SARA cenderung muncul secara masif dan menguat.
"Sebagai contoh adalah penggunaan isu-isu keagamaan dalam kontestasi politik di sejumlah daerah," ungkap Ketua Tim Peneliti Ilmu Pengetahuan Sosial dan Kemanusiaan LIPI Cahyo Pamungkas.
Lantas, apa yang sudah dilakukan?
Pemerintah Lebih Suka Cara Koersif
Sayangnya, pemerintah cenderung memakai pendekatan koersif. Pada Mei 2019 lalu, misalnya, Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kominfo) telah menutup ribuan akun media sosial dan situs web.
Sebanyak 551 akun Facebook telah diblokir, akun twitter 848 akun, Instagram 640 akun, Youtube 143 akun, serta masing-masing 1 untuk url situs web dan LinkedIn. Total ada 2184 akun dan situs web yang telah diblokir. Tak cuma itu, pemerintah juga membatasi akses aplikasi pesan instan, khususnya Whatsapp.
Pemerintah beralasan, kebijakan itu adalah upaya untuk menekan sebaran konten hoaks, fitnah, dan provokasi. Platform media sosial, dianggap menjadi ruang terbuka yang berpotensi memudahkan pesan bergulir secara cepat di masyarakat dan dapat memicu kasus-kasus pelanggaran tertentu.
Situasi yang sama kembali terulang pada kasus konflik di Papua dan Papua Barat pada akhir Agustus 2019. Pemerintah 'memadamkan' dan melambatkan akses internet di kawasan tersebut selama lebih dari sepekan. Alasannya juga kurang lebih sama. Menteri Koordinator bidang Politik, Hukum, dan Keamanan (Menkopolhukam), Wiranto mengatakan kebijakan tersebut diambil untuk mencegah komunikasi yang "merusak."
Sepanjang lima tahun ini, pemerintah tampaknya masih belum punya formula kerja lintas bidang dan kementerian dalam membaca duduk perkara tersebut. Kebebasan informasi dan internet masih dianggap menjadi pangkal masalah utamanya. Pemerintah belum membangun resep ampuh untuk menciptakan keseimbangan antara ruang kebebasan ekspresi dan penegakan hukum, antara realitas kontestasi politik dalam sistem berdemokrasi dan ancaman politik identitas.
Sementara itu, program lintas kementerian yang dilakukan lewat sosialisasi UU ITE baru menjangkau sekolah dan universitas. Beberapa contohnya adalah sosialisasi pada siswa MTs Negeri 1 Kepulauan Sangihe dan MA Yapist Tahuna pada 2018 dan sosialisasi terhadap pelajar, mahasiswa, dan umum di Cianjur oleh Kominfo pada 2017.
Sosialisasi ini belum terlihat efektivitasnya lantaran penyalahgunaan UU ITE banyak terjadi pada kelompok masyarakat diluar pelajar dan mahasiswa. Seperti yang telah dibahas di atas, penyalahgunaan UU ITE banyak dilatarbelakangi motif politik dan terjadi pada tahun politik. Oleh karena itu, penting melakukan sosialisasi dalam jangkauan yang lebih luas agar hasilnya lebih berdampak.
Perlu dicatat, aparat negara turut menjadi pelaku kekerasan hak berekspresi warga. Seperti yang pernah Tirto tulis sebelumnya, pelapor kasus UU ITE terbanyak, misalnya, justru dari kalangan pejabat negara (35,92 persen).
Pelaporan pejabat negara kepada terlapor awam berangkat dari ujaran ekspresi dan kritik atas kinerja atau posisi pejabat tersebut. Namun, kasus cenderung diarahkan pada materi bermuatan ujaran kebencian. Bukannya melindungi, pasal karet kerap digunakan jadi alat untuk melawan masyarakat sendiri.
Editor: Ign. L. Adhi Bhaskara