Menuju konten utama

Jejak Wiranto di Hanura dari Pendiri hingga Tersingkir

Hanura adalah anak kandung ambisi politik Wiranto. Kini OSO yang diundang masuk Wiranto justru mau merebutnya.

Jejak Wiranto di Hanura dari Pendiri hingga Tersingkir
Menkopolhukam sekaligus Ketua Dewan Pembina Partai Hanura Wiranto berbincang dengan Ketua DPD sekaligus Ketua Umum Hanura Oesman Sapta sebelum mengikuti upacara pelantikan Mensos, KSP, Wantimpres dan KSAU di Istana Negara, Jakarta, Rabu (17/1/2018). ANTARA FOTO/Puspa Perwitasari

tirto.id - “Wiranto Abadi”. Frasa yang disematkan warganet selama protes menolak revisi UU KPK pada Wiranto yang kini menjabat Ketua Dewan Pertimbangan Presiden (Wantimpres) itu tidak mampu menghentikan Oesman Sapta Odang untuk menggulingkan sang ketua Partai Hati Nurani Rakyat (Hanura). Padahal Hanura adalah partai yang menjadi ambisi mantan Panglima ABRI tersebut.

Wiranto mendirikan Hanura pada tahun 2006 setelah berpisah dari Partai Golkar pada bulan Desember. Ambisi Wiranto menjadi presiden membuatnya mencari kendaraan baru untuk Pilpres 2009. PG telah gagal menjadikannya presiden pada Pilpres 2004.

Kesempatan Wiranto di Golkar telah kandas. Golkar telah menyetujuinya sebagai calon presiden berpasangan dengan Salahuddin Wahid, adik Abdurrahman Wahid alias Gus Dur. Tapi perolehan suara Wiranto tak moncer. Dia hanya berada di posisi ketiga.

Jusuf Kalla yang juga kader PG tidak mendapat dukungan resmi partai, tapi justru menang dengan duet bersama Susilo Bambang Yudhoyono sebagai presiden.

Kemenangan JK membuat tampuk kepemimpinan partai berlambang pohon beringin itu berubah. Tahun itu juga, JK terpilih menjadi Ketua Umum mengalahkan Wiranto dan Akbar Tandjung pada konvensi PG 2004. Wiranto bukanlah kandidat yang tangguh dan saingan besar JK justru Akbar.

Setelah namanya merosot, Wiranto hilang dari dunia politik dan fokus di dunia usaha. Bersama Jenderal (purn) TNI Fachrul Razi dan Letnan Jenderal (purn) TNI Suaidi Marassabesy, ketiganya mendirikan perusahaan pertambangan Uni Gerbang Interzona.

Sukses dengan bisnis, Wiranto perlahan memperbaiki kiprahnya di dunia politik, tapi tidak di internal Golkar. Dia justru menjadi Ketua Dewan Pertimbangan Nasional Perhimpunan Kebangsaan yang dipimpin oleh alumnus Partai Pelopor, Yus Usman Sumanegara.

Menurut catatan Tempo pada 2006, Wiranto sudah jengah dengan PG. Ketika mantan Panglima ABRI itu mengusung Golkar sebagai kendaraan politik, dia harus menyetor sejumlah uang. Sayangnya, menurut sumber Tempo, uang itu tak mengalir dari pengurus pusat partai ke daerah.

Sumber yang sama mengklaim Wiranto pernah menyetor Rp 21 miliar ke salah satu partai yang sudah cukup matang di Indonesia. Namun posisi yang dijanjikan kepada Wiranto tak kunjung tiba. Itulah yang akhirnya mendorong Fachrul dan Suaidi meyakinkan Wiranto untuk mendirikan Partai Hanura.

Hanura yang menjadi pelipur lara bagi Wiranto kini berubah. Wiranto tak lagi berada di sana. Bahkan Hanura mulai melupakan ayah kandungnya berkat manuver Oesman Sapta Odang (OSO), yang juga pernah menjadi kader Partai Golkar.

Perjuangan Wiranto

Kerja keras Hanura punya batas waktu tiga tahun sebelum pemilu 2009 digelar. Sebagai partai baru, pemilu terdekat tentu menjadi ajang untuk menunjukan daya tahan partai. Di bawah Wiranto, Hanura mengusung visi kemandirian bangsa dan kesejahteraan rakyat Indonesia. Sebelum dipopulerkan Prabowo di Pilpres 2014 dan 2019, ternyata Wiranto sudah memprakarsai slogan populis tersebut.

Untuk mencapai visi itu, ada beberapa hal yang ditekankan Hanura, yakni menegakkan hukum sesuai hak asasi manusia dan supremasi hukum, membangun ekonomi nasional dengan mempertimbangkan aspek lingkungan, memberantas korupsi, serta mengembangkan otonomi daerah. Wacana terakhir bisa jadi satu poin penting merebut suara di daerah karena UU Pemerintah Daerah memang belum sempurna setelah disahkan pada tahun 2004.

Rektor Universitas Paramadina, Firmanzah, dalam Persaingan, Legitimasi Kekuasaan, dan Marketing Politik: Pembelajaran Politik Pemilu (2009) menyatakan Wiranto memang mengusung ide besar “kemiskinan.”

Untuk memuluskan kader-kadernya di Pileg 2009, Wiranto sendiri turun tangan memberikan arahan saat pembukaan pendidikan dan pelatihan kader Hanura di Yogyakarta. Kala itu, Hanura beruntung mendapat nomor urut partai ‘1’ sekaligus mempermudah persuasi kepada masyarakat mendukung mereka.

“Contreng nomor 1, pojok kiri atas,” sebut tokoh dalam iklan Hanura. “Hanura untuk rakyat.”

Selain itu, Firmanzah mencatat, strategi Wiranto untuk berkampanye lewat televisi terbilang baru dan kreatif. Meski bagi sebagian orang, iklan Wiranto termasuk dalam kategori negative ads atau attack campaign.

Akhmad Danial dalam Iklan Politik: Modernisasi Kampanye Politik Pasca Orde Baru (2010) menemukan Wiranto memang membuat inovasi dengan mengenalkan iklan kampanye yang sifatnya “menyerang” kinerja pemerintah terkait mengentaskan kemiskinan.

“Seorang pedagang gorengan memilih mengakhiri hidupnya. Ia merasa tak lagi mampu menafkahi keluarga. Pendapatannya semakin menurun sementara harga kebutuhan pokok semakin tak terjangkau,” demikian narasi iklan kampanye Wiranto pada Februari 2008.

Wiranto dalam tayangan itu berjanji akan menciptakan 10 juta lapangan pekerjaan dan menghadirkan fasilitas pendidikan-kesehatan yang murah dengan iringan lagu Indonesia Raya yang mendayu-dayu. Kemudian muncullah gambaran sebuah keluarga sedang menonton berita tentang masyarakat Indonesia yang kian putus asa.

Sang anak tiba-tiba berujar, "Mungkin salah urus". Ibunya menimpali, “Nah, dulu aja janjinya ada perubahan. Mana? Iya kan?” Adegan itu kemudian ditutup oleh Wiranto bersama anak kecil mengucap: “Bersatu, Sejahterakan Rakyat.”

Saat itu penggunaan anak kecil dalam kampanye belum diatur secara tegas.

Wiranto kian liar di iklan berikutnya. Tidak tanggung-tanggung, dia menyebut nama SBY yang saat itu menjabat presiden sebagai sosok yang ingkar janji. Dalam iklan, seorang pembawa acara membacakan berita tentang kenaikan harga bahan bakar minyak yang dikecam masyarakat.

“Sampai sekarang saya masih berharap SBY tidak ingkar janji. Dan saya akan terus mengingatkan dia agar memenuhi janjinya,” kata Wiranto dalam iklan.

Namun iklan-iklan seperti itu tidak lagi muncul. Salah satu dugaannya adalah keterbatasan dana kampanye yang dimiliki Wiranto. Terlepas pro dan kontra, iklan kampanye Wiranto rupanya terbayar oleh kesuksesan Hanura melenggang ke parlemen di Pileg 2009.

Sebagai partai pendatang baru, Hanura mendapat 3,77 persen suara nasional atau dipilih oleh 3,9 juta penduduk Indonesia. Padahal saat itu hanya sembilan dari 44 partai peserta pemilu yang berhasil lolos. Di antara sembilan itu hanya ada dua partai yang berusia di bawah tiga tahunn. Salah satunya Hanura.

Dari Nyanyi Sampai Pedagang Asongan

Meski demikian, perjalanan Hanura tak bisa dikatakan mulus tanpa kompetitor. Ketua Umum Partai Gerindra, Prabowo Subianto yang mendirikan Partai Gerindra di 2008 nyatanya berhasil membawa partainya mengungguli Hanura.

Peneliti Universitas Nasional Australia, Marcus Mietzner dalam Money, Power, and Ideology (2013) mencatat, Wiranto kesulitan membuat identitas partai yang berbeda dengan Golkar. Warna, logo, dan bahasa yang digunakan Hanura tak ubahnya seperti perwujudan Golkar versi lama.

Oleh sebab itu, Wiranto dengan senang hati menerima pinangan dari Jusuf Kalla menjadi cawapres. Padahal, keduanya sempat perang mulut karena JK menuding ada penumpang gelap di Golkar pada 2004. Tuduhan itu diartikan Wiranto sebagai serangan kepada dirinya.

Bersama JK, Wiranto tak menggunakan narasi yang bersifat menyerang. Kampanyenya justru menonjolkan lagu-lagu yang liriknya mudah diingat oleh masyarakat. Setidaknya ada tiga iklan yang masih bisa ditemukan, dan dua di antaranya dalam bentuk lagu.

Lagu pertama adalah jingle JK-WIN yang dibuka dengan petani menyanyikan dialognya. Kemudian muncullah Wiranto yang membacakan sebaris kalimat berbahasa Jawa dengan pelafalan yang begitu halus. Lagu kemudian ditutup dengan perpaduan lagu daerah dengan lagu dangdut "Pak Ketipang Ketipung" yang dibawakan Dewi Yul.

Inovasi JK-WIN yang tidak bisa ditiru oleh kompetitor adalah video lagu "Jilbab Kembar". Kendati video tersebut dibuat dalam rangka kampanye presiden, tapi paslon JK-WIN memunculkan sosok istri masing-masing. Pada saat bersamaan, keduanya juga menonjolkan politik identitas secara halus dalam balutan jilbab yang identik dengan Islam.

“Jilbab kembar milik kita. Tiang bangsa dan negara,” demikian dua baris lagu tersebut.

Hanya saja, lagu ternyata tak cukup membuat JK-WIN menang. Padahal, Golkar saat itu mendapat suara nasional 14,45 persen di pileg. JK mengakui bahwa dukungan Golkar kepadanya saat itu memang setengah hati.

Warsa 2013, Wiranto tak patah arang. Apalagi ada 10 partai yang bergabung dengan Hanura, membuat amunisi baru menyambut pileg dan pilpres 2014. Pengusaha Hary Tanoesoedibjo juga ikut bergabung dengan Hanura. Wiranto pun meminang pria yang kerap disapa HT menjadi wakil presiden. Kehadiran sang pemilik MNC Grup dimanfaatkan Wiranto semaksimal mungkin.

“Partai politik yang punya media dan yang bisa mengakses media itu diuntungkan. Jujur kami mendapatkan sumber daya politik yang tentunya bisa membuat Hanura mudah membangun persepsi publik yang positif. Apalagi Hanura dipersepsikan sebagai partai bersih, partai yang tidak korup, dan oleh ICW dipersepsikan sebagai partai yang tidak merusak lingkungan hidup,” kata Wiranto seperti catatan jurnalis Guruh Dwi Riyanto dan Pebriansyah Ariefana dalam Rapor Capres (2014).

Benar saja, Wiranto kemudian tampil di televisi secara pribadi dalam nurasi belasan menit. Langkahnya yang inovatif sekaligus kontroversial adalah menyamar menjadi tukang becak dan kernet bis di kota Solo. Jika Jokowi terkenal dengan blusukan dan menyapa masyarakat kelas bawah, Wiranto menyamar sebagai kelas bawah itu sendiri.

Imbasnya, Wiranto malah kena semprit Komisi Penyiaran Indonesia (KPI). KPI menilai Wiranto mengeksploitasi media yang seharusnya menjadi milik publik, bukan partai tertentu.

Peringatan KPI tak digubris dan mantan orang kepercayaan Soeharto itu. Kali berikutnya, dia menyamar sebagai pedagang asongan yang menjual obat tikus, kapur barus, tutup panci, serta kain lap.

“Mudah-mudahan saya bisa menggali lebih jauh apa yang mereka rasakan,” ucap Wiranto dalam tayangan tersebut.

Pada 2014, perolehan suara Hanura meningkat hampir dua kali lipat dibanding lima tahun sebelumnya. Namun Hanura hanya mendapat 5,26 persen suara nasional dan berada di posisi bontot di antara partai-partai yang lolos ke parlemen.

Menyadari Hanura tak cukup kuat mengusung Win-HT, Wiranto banting setir mendukung paslon Jokowi-JK di pilpres 2014. Wiranto kemudian mengambil keputusan tegas dengan memecat HT dan Elza Syarief, salah satu tokoh pendiri Hanura. Keduanya justru mendukung capres Prabowo-Hatta Rajasa.

Keputusan ini tak sia-sia. Dukungan penuh membuat Jokowi mengangkat kader Hanura sebagai menteri, yakni Saleh Husin dan Yuddy Chrisnandi, dalam Kabinet Kerja. Keduanya tak begitu mencolok dan terkena reshuffle pada 2016. Namun eksistensi Hanura dalam pemerintahan Jokowi dilanjutkan oleh Wiranto sendiri sebagai Menkopolhukam. Posisinya tak tergantikan sampai akhir masa jabatan Jokowi-JK di Oktober 2019.

Setelah perjalanan panjang Wiranto, kini dia malah dituding mengkhianati partai oleh kubu Oso. Tentunya, sang purnawirawan tak terima.

"Dituduh pengkhianat, loh saya mengkhianati siapa? Saya mengkhianati siapa? Ini partai ide saya, gagasan saya, saya dirikan, saya besarkan. Saya perjuangkan mendapatkan posisi terhormat," kata Wiranto saat jumpa pers di Hotel Atlet Century, Senayan, Jakarta, Rabu (18/12/2019) sebagaimana dilansir Detik. "Kok saya tiba-tiba saya dituduh pengkhianat partai, itu bagaimana? Di mana letaknya?"

Akhir Hanura-Wiranto?

Pada 2018, Hanura geger setelah Sekretaris Jenderal Hanura, Sarifuddin Sudding, dan kawan-kawannya memecat OSO dari jabatan ketua. Saat itu, OSO menunjukkan bahwa dirinya tak gentar, kendati melawan Wiranto.

"Pasti Pak Wiranto enggak setuju. Kenapa? Enggak ada dasar untuk memecat. Kalau dia setuju pecat (saya), saya pecat balik," kata OSO usai rapat harian Hanura untuk persiapan Pemilu 2019, di Hotel Manhattan, Jakarta, Senin (15/1/2019) seperti dikutip CNN.

Kader Hanura kubu Oso, Petrus Selestinus juga menuding Wiranto menyalahgunakan wewenang untuk mengintervensi masalah dua kubu ini. OSO tetap menjadi ketum dan Sudding di kursi sekjen.

Sekilas tidak ada yang kalah dan menang. Namun sebulan kemudian, OSO memecat Sudding. Kali ini dia beralasan bahwa pemecatan mendapat restu Wiranto.

Tiba-tiba hubungan OSO dan Wiranto kembali memanas pada Mei 2019 ketika Hanura tak berhasil lolos ke parlemen di pileg 2019. OSO menuding Wiranto sebagai biang kerok kegagalan tersebut.

"Jadi, ada yang bertanya, kenapa Hanura kalah? Tanya Wiranto bukan saya. Orang yang bikin kalah dia kok," ujar dia sambil berkelakar saat buka bersama Presiden Jokowi dan pejabat negara, di rumahnya, kawasan Kuningan, Jakarta Selatan, Rabu (15/5/2019).

Menjawab serangan ini, Wiranto mengakui bahwa “kesalahan” dia adalah “menunjuk OSO menjadi ketua umum".

Infografik Wiranto vs Oesman Sapta Odang

Infografik Wiranto vs Oesman Sapta Odang. tirto.id/Fuad

Konflik memuncak ketika kubu OSO meminta Wiranto yang selama ini menjabat Ketua Dewan Pembina Partai Hanura mundur. Wiranto memang akhirnya mengundurkan diri karena menjabat Ketua Wantimpres Jokowi, tapi dia tidak diam saja. Wiranto pun mendesak OSO melepaskan jabatan sebagai ketum Hanura.

Alasannya, OSO tidak berhasil mencapai target mengirimkan 50 anggota Partai Hanura masuk dalam DPD. Kubu Wiranto pun membuat munas tandingan yang dipimpin Chairuddin Ismail, Ketua Dewan Kehormatan Hanura periode sebelumnya, dan Subagyo H.S.

Dengan langkah ini, Hanura era Wiranto hampir menemui ajal. Jika munas tandingan gagal, maka loyalis Wiranto bisa jadi benar-benar binasa dari Hanura. Baik Chairuddin dan Subagyo adalah purnawirawan TNI yang dulu bersama Wiranto ikut mendirikan Hanura. Adapun kader seperti Petrus Selestinus baru masuk Hanura 2017, setelah OSO menjadi ketum.

Peneliti Populi Center, Usep S. Achyar mengatakan perebutan Hanura menjadi penting karena meski gagal di tingkat nasional, Hanura cukup punya massa di daerah. Pertanyaannya, massa Hanura siapa yang lebih kuat? Kubu OSO atau Wiranto?

Ketika bergabung dengan Hanura, OSO masih punya Partai Persatuan Nasional yang merupakan gabungan dari 10 partai. Sebelumnya, ketika masih bernama Partai Persatuan Daerah (PPD), OSO berhasil mendirikan cabang partai di 21 provinsi pada Pemilu 2004. Kepopulerannya di daerah masih berlanjut sehingga mengantarkan dia menjadi Ketua DPD pada 2017.

Peneliti Karolina Prasad dalam studi Identity Politics and Elections in Malaysia and Indonesia: Ethnic Engineering in Borneo (2015) menyatakan, PPD bercokol kuat di Kalimantan, daerah kelahiran Oso. Di Kayong Utara, saat OSO gagal dalam persaingan kepala daerah Kalimantan Barat, hampir seluruh suara dari daerah itu diboyong olehnya.

Masih dari studi Persaingan, Legitimasi Kekuasaan, dan Marketing Politik: Pembelajaran Politik Pemilu (2009), Firmanzah menyatakan Wiranto adalah “figur sentral dan alat jualan Hanura".

Sepuluh tahun kemudian pernyataan itu bisa jadi kadaluwarsa.

Baca juga artikel terkait MUNAS HANURA atau tulisan lainnya

tirto.id - Politik
Reporter: Felix Nathaniel
Editor: Windu Jusuf