Menuju konten utama

Jargon Kosong Program Revolusi Mental

Kementerian di bawah Puan Maharani menggalakkan lima program revolusi mental. Apakah sudah berdampak?

Jargon Kosong Program Revolusi Mental
Menteri Pembangunan Manusia dan Kebudayaan Puan Maharani bersama Gubernur Sulut Olly Dondokambey menari bersama puluhan remaja Generasi Berencana se-Indonesia pada puncak Peringatan Hari Keluarga Nasional ke-25 di Manado, Sabtu (7/7/2018). ANTARA FOTO/Adwit B Pramono

tirto.id - "Saya tahunya revolusi mental tok. Udah. Capaiannya gimana? Apa saja sudah dikerjakan? ... Yang tahu itu sekretariat revolusi mental," kata Danang Ari Wibowo Ichwan, Kepala Humas dan Perpustakaan dari Biro Hukum Informasi dan Persidangan, Sekretariat Kementerian Koordinator Bidang Pembangunan Manusia dan Kebudayaan (Kemenko PMK) kepada Tirto melalui telepon, 23 Juli lalu.

Pernyataan itu biasa saja, tetapi karena yang menyebutkan adalah pejabat eselon III di institusi negara yang menggerakkan program gerakan revolusi mental, maka kita bisa menguji dengan pertanyaan baru: Bagaimana menjalankan salah satu program turunan dari "nawacita" pemerintahan Joko Widodo jika birokratnya tak mengetahui secara detail? Apakah ketidaktahuan ini hanya di kalangan pegawai negeri sipil di Kemenko PMK, kementerian baru era Jokowi untuk mengamalkan "revolusi karakter bangsa" yang menterinya dijabat oleh Puan Maharani, putri Megawati Soekarnoputri?

Tugas Puan adalah mengoordinasi delapan kementerian, termasuk di antaranya Kementerian Agama dan Kementerian Sosial. Dari dua birokrat kementerian itu yang dihubungi Tirto, keduanya tak mengetahui turunan dari program revolusi mental.

Merujuk pada Instruksi Presiden 12/2016 tentang Gerakan Nasional Revolusi Mental, yang diterbitkan 6 Desember, ada lima program turunan, salah satunya adalah "Gerakan Indonesia Melayani" yang ditujukan bagi para birokrat—dalam istilah pemerintahan disebut "aparatur sipil negara".

Gerakan ini, di antara hal lain, ingin menghalau stigma negatif mengenai gambaran birokrat yang pemalas, kurang profesional, boros, dan diliputi korupsi, kolusi, nepotisme. Gerakan ini diharapkan mengubah perilaku buruk para pegawai dari kebiasaan dilayani menjadi melayani. Tetapi, bagaimana implementasinya di lapangan?

Tirto mengontak secara acak sejumlah PNS dari beberapa kementerian guna mengetahui persepsi mereka mengenai gerakan birokrat melayani.

Andre, pegawai di lingkungan Kementerian Keuangan, berkata tak mengetahui ada "Gerakan Indonesia Melayani" yang digaungkan oleh Kementerian Puan Maharani sejak 2015. Andre, yang baru bekerja sebagai PNS selama empat tahun, mengetahui sebatas jargon revolusi mental. Menurutnya, revolusi mental adalah gerakan mengubah pola pikir seseorang, dari buruk menjadi baik.

"Kalau aku sendiri belum pernah ikut sosialisasi Gerakan Indonesia Melayani," ujar Andre, 22 Juli lalu, kepada Tirto.

Tirto meminta Andre untuk merekomendasikan koleganya untuk bisa diwawancarai. Pola ini kami pakai untuk narasumber selanjutnya. Kami akhirnya bertanya kepada Dessy dari Kementerian Keuangan, Suprihatin dari Kementerian Sosial, dan Emil dari Kementerian Hukum dan HAM.

Suprihatin, misalnya, yang telah bekerja sebagai PNS selama 25 tahun, belum pernah mengikuti kegiatan sosialisasi maupun pelatihan Gerakan Indonesia Melayani. Namun, ia mengklaim ada kegiatan program dari Kementerian Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi tentang pelayanan publik sejak 2015.

Nyoman Shuida, Deputy V Bidang Koordinasi Kebudayaan Kemenko PMK, saat ditanya mengenai hal ini berkata tak menampik ada PNS yang tidak mengetahui salah satu program revolusi mental. Apalagi gerakan tersebut baru seumur jagung.

"Dalam tiga tahun tidak bisa kita rangkul 3,5 juta PNS," kata Shuida kepada Tirto, 23 Juli lalu. Di kalangan birokrat, tambahnya, masih banyak yang belum memahami tugas dari gerakan itu. Alasannya, "proses sosialisasi" dari masing-masing kementerian "disesuaikan dengan kerja dan fungsinya".

Biaya Miliaran untuk Revolusi Mental

Ketidaktahuan sejumlah pegawai negeri sipil terkait program revolusi mental patut dipertanyakan. Apalagi mereka bekerja di ibu kota negara, yang teorinya dekat dengan akses informasi.

Merujuk data dari Lembaga Kebijakan Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah, kementerian yang dipimpin Puan Maharani jorjoran menggelontorkan anggaran untuk iklan revolusi mental di media serta konsep pawai yang melibatkan masyarakat.

Pada 2015, Kementerian Pembangunan Manusia dan Kebudayaan menganggarkan Rp97 miliar untuk iklan televisi, Rp3,8 miliar untuk iklan di radio, program sosialisasi lewat kampanye partisipasi masyarakat dengan bujet Rp2 miliar, dan program yang sama berupa gelar budaya dengan anggaran Rp3 miliar.

Total anggaran untuk sosialisasi yang disediakan kementerian mencapai Rp105 miliar dari anggaran revolusi mental mencapai Rp149 miliar pada 2015.

Nyoman Shuida mengatakan kepada Tirto bahwa anggaran revolusi mental untuk tahun pertama memang digelontorkan secara besar-besaran untuk iklan. Sisanya untuk menyusun regulasi, membentuk sebuah tim bernama gugus tugas nasional dan daerah, serta mencetak buku, dan sebagainya.

Tahun kedua, kementerian menyusun gugus tugas lintas regional untuk "mengawasi dan menjalankan program revolusi mental." Selanjutnya, kementerian melaksanakan kegiatan revolusi mental di lapangan.

Hal itu dicontohkan dalam kegiatan "pembangunan karakter" melalui program kuliah kerja nyata mahasiswa dengan mengusung tema revolusi mental. Pada 2017, misalnya, kementerian mengucurkan Rp6,6 miliar untuk kegiatan tersebut—bernama 'KKN tematik revolusi mental'—dengan menggandeng 48 perguruan tinggi di Indonesia.

Infografik HL Indepth Revolusi Mental

Menumpang Program KKN Mahasiswa

Pertengahan 2016, Chalid Isra mengikuti kegiatan kuliah kerja nyata reguler di Universitas Syiah Kuala. Mahasiswa dari Fakultas Pertanian ini turun ke masyarakat selama sebulan di Desa Ulee Ateung, Aceh Timur. Masih di kabupaten yang sama, 148 mahasiswa dari kampus yang sama ikut KKN tematik revolusi mental, disebar ke 20 desa.

Menurut Isra, perbedaan antara KKN revolusi mental dan KKN reguler di kampusnya hanya pada besaran biaya. Bila setiap tahun Unsyiah mendanai KKN reguler sebesar Rp750 ribu per kelompok, maka kementerian di bawah Puan Maharani mendanai KKN tematik revolusi mental sebesar Rp10 juta per kelompok.

"Tetapi," ujar Isra, "kalau program sama saja."

Contohnya, baik KKN bertema revolusi mental maupun KKN reguler sama-sama dijalankan oleh mahasiswa dengan membuat nomor rumah atau melakukan penyuluhan hidup bersih kepada warga.

Pendapat kritis disampaikan juga oleh Nizwan Siregar, Ketua Badan Pengelola KKN Unsyiah, Syamsuardi (Koordinator Pengelola Unit KKN Universitas Andalas, Padang), dan Yulia Puspitasari Gobel (dosen pendamping KKN Universitas Gorontalo). Mereka membenarkan bahwa program KKN tematik revolusi mental sudah dijalankan pada masa-masa sebelumnya lewat KKN reguler.

"Tanpa ada program revolusi mental, prosesnya memang sudah berjalan. Kalau tidak ada bantuan (dana KKN revolusi mental), tak masalah lagi karena ada KKN reguler," ujar Nizwan Siregar.

Jika Anda ketik kata kunci "KKN revolusi mental" pada mesin pencari YouTube, Anda menemukan banyak sekali video yang menggambarkan bagaimana kelompok mahasiswa dari beragama kampus melakukan kegiatannya di pelbagai desa. Salah satunya kelompok mahasiswa dari Universitas Gorontalo, yang datang ke sebuah desa pada 2017 dengan memasang stiker kebersihan di tiang lampu dan dinding rumah warga.

Nyoman Shuida dari Kementerian Pembangunan Manusia dan Kebudayaan mengatakan bahwa program KKN tematik revolusi mental bagian kecil dari lima gugus tugas gerakan revolusi mental. "Setelah mahasiswa pergi dari sana," ujarnya, "kami serahkan pada gugus tugas masing-masing daerah untuk melanjutkan proses sosialisasi."

Kegiatan yang dijalankan mahasiswa, ujar Shuida, "sebetulnya numpang di program rutin kampus."

"Kami meng-insert program revolusi mental di program regular mereka. Jadi bukan mereka tergantung kami. Kami juga minta agar setiap kegiatan yang mereka lakukan di-publish," katanya.

Baca juga artikel terkait REVOLUSI MENTAL atau tulisan lainnya dari Reja Hidayat

tirto.id - Sosial budaya
Reporter: Reja Hidayat
Penulis: Reja Hidayat
Editor: Fahri Salam