Menuju konten utama

Rapor Merah Pelayanan Publik di Indonesia

Birokrasi pemerintah dan pelayanan publik adalah dua sisi mata uang yang tak terpisahkan. Publik masih belum mendapatkan pelayanan yang prima dari para abdi pemerintahan. Rapor yang dibuat Ombudsman RI adalah buktinya.

Rapor Merah Pelayanan Publik di Indonesia
Ketua Ombudsman Amzulian Rifai mendengarkan keterangan dari anggota DPR saat mengikuti rapat dengar pendapat dengan Komisi II DPR di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, Senin (10/10). Rapat tersebut membahas pengawasan pelayanan publik. ANTARA FOTO/M Agung Rajasa.

tirto.id - Tingkat kepatuhan pemerintah dalam memenuhi standar pelayanan publik masih rendah. Celakanya, ini tak hanya terjadi di level pemerintah pusat, juga pemerintah daerah. Ombudsman RI menjabarkan masih banyak pekerjaan rumah yang harus dibenahi pemerintah.

Laporan terbaru Ombudsman RI soal Hasil Penilaian Kepatuhan Standar Pelayanan Publik Sesuai Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2009 Tentang Pelayanan Publik Tahun 2016 mengungkapkan kepatuhan standar pelayanan publik belum maksimal.

Ini tercermin dari tingkat kepatuhan pelayanan publik di kementerian, dari standar pelayanan di 25 kementerian menunjukkan sebanyak 44 persen atau 11 kementerian masuk dalam zona hijau dengan predikat kepatuhan tinggi, 48 persen atau 12 kementerian masuk dalam zona kuning dengan predikat kepatuhan sedang dan 8 persen atau 2 kementerian masuk dalam zona merah dengan predikat kepatuhan rendah. Capaian itu jelas masih jauh dari target. Berdasarkan Rencana Pembangunan Jangka Menengah (RPJMN) pada 2016, seharusnya kepatuhan standar kepatuhan pelayanan publik untuk kementerian mencapai 80 persen.

Sedangkan kepatuhan di lembaga negara dari 15 lembaga disurvei menunjukkan, sebanyak 13,33 persen atau 2 lembaga masuk dalam zona merah dengan predikat kepatuhan rendah, 20 persen atau 3 lembaga masuk dalam zona kuning dengan predikat kepatuhan sedang dan 66,67 persen atau 10 lembaga masuk dalam zona hijau dengan predikat kepatuhan tinggi. Realisasi ini memang jauh lebih baik dari target capaian lembaga tahun 2016 sebesar 35 persen.

Untuk pemerintah provinsi, dari 33 pemerintah provinsi, sebanyak 39,39 persen atau 13 pemprov masuk dalam zona hijau dengan predikat kepatuhan tinggi. Sebanyak 39,39 persen atau 13 pemprov masuk dalam zona kuning dengan predikat kepatuhan sedang dan 21,21 persen atau 7 pemprov masuk dalam zona merah dengan predikat kepatuhan rendah. Realisasi ini masih jauh target capaian tahun 2016 sebesar 70 persen.

Selain itu, dari 85 pemerintah kabupaten (pemkab) yang disurvei, menunjukkan bahwa sebanyak 29 persen atau 25 pemkab masuk dalam zona merah dengan predikat kepatuhan rendah, 53 persen atau 45 pemkab masuk dalam zona kuning dengan predikat kepatuhan sedang dan 18 persen atau 15 pemkab masuk dalam zona hijau dengan predikat kepatuhan tinggi.

Terakhir, dari 85 pemerintah kota (pemkot) menunjukkan bahwa sebanyak 15 persen atau 8 pemkot masuk dalam zona merah dengan predikat kepatuhan rendah, 56 persen atau 31 pemkot masuk dalam zona kuning dengan predikat kepatuhan sedang dan 29 persen atau 16 pemkot masuk dalam zona hijau dengan predikat kepatuhan tinggi.

“Hasil observasi atas ketampakan fisik atas pelayanan publik di setiap unit layanan untuk menyediakan atribut pelayanan publik menunjukkan bahwa tingkat kepatuhan pemerintah dan pemda terhadap standar pelayanan publik masih rendah,” kata Ketua Ombudsman RI Amzulian Rifai.

Penilaian kepatuhan pelayanan publik mengacu secara umum dalam bentuk fisik atau kemudahan pelayanan seperti pengadaan ruang informasi atau fasilitas untuk kaum difabel. Acuan penilaian berdasarkan UU Nomor 25 Tahun 2009 tentang Pelayanan Publik. Selama ini acuan dalam penyelenggaraan pelayanan publik antara lain soal ketidakjelasan persyaratan, jangka waktu penyelesaian pelayanan, prosedur, biaya pelayanan, dan sebagainya.

Rendahnya kepatuhan ini melahirkan respons dari masyarakat yang bertambah. Berdasarkan penelusuran Ombudsman RI, jumlah laporan masyarakat di 2016 jauh lebih tinggi dibandingkan tahun sebelumnya. Tahun lalu, laporan masyarakat hanya 6.854 laporan, tapi tahun ini sudah lebih dari 10.000 laporan kepada Ombudsman RI. Lebih jauh lagi, kualitas pelayanan publik yang masih rendah akan memicu ketidakpastian hukum, ketidakakuratan pelayanan publik, hingga memunculkan praktik pungli.

Jumlah laporan yang bertambah ini malah terhitung sangat rendah apabila mengacu dari jumlah populasi Indonesia. Berkaca dari Austria, jumlah penduduk Austria yang hanya sebesar 8 juta jiwa melaporkan adanya tindak maladministrasi sebanyak 20.000 laporan per tahun.

Rendahnya pelaporan masyarakat kepada Ombudsman RI terjadi karena biasanya laporan dikirim saat publik tidak puas dengan hasil penyelesaian di instansi yang bersangkutan. Selain itu banyak laporan masuk ke Sistem Pengelolaan Pengaduan Pelayanan Publik Nasional (SP4N). Laporan tersebut baru bisa diproses atau diketahui Ombudsman RI apabila laporan tidak diproses selama 60 hari.

“Jadi, angka riilnya pasti lebih dari itu laporan masyarakat,” kata Rifai.

Dari sekian laporan itu, ada di antaranya soal laporan praktik pungutan liar (pungli) yang belakangan ini sedang digalakkan oleh pemerintah.

INFOGRAFIK Pemerintah Pelayan Publik

Laporan Soal Pungli

Laporan soal pungli yang masuk ke Ombudsman RI sekitar 7 persen dari total laporan 2016. Persoalan pungli erat dengan pelayanan publik, seperti penundaan layanan yang bisa memicu tindakan pungli di perangkat pemerintahan pusat maupun daerah. Laporan keluhan masyarakat kepada Ombudsman RI meningkat semenjak Ombudsman RI menjadi bagian satuan Saber Pungli.

Selain persoalan penundaan pelayanan publik dan pungli, penyalahgunaan wewenang juga menjadi masalah pelayanan publik di daerah. Penyalahgunaan kewenangan membuat masyarakat merogoh uang untuk mempercepat proses administrasi dalam layanan publik antara lain saat mengurus layanan KTP.

Laporan Ombudsman RI juga mengungkapkan dari hasil persepsi pengguna layanan dalam pengalaman

mereka mengurus layanan di suatu instansi di Kementerian, Lembaga, Pemerintah Provinsi, Pemerintah Kabupaten, dan Pemerintah Kota masih menyisakan persoalan.

Dari jumlah 5.486 responden yang disurvei, terdapat 372 responden atau 6,78 persen yang menyatakan tempat pelayanan kurang nyaman. Selain itu sebanyak 498 responden atau 9,08 persen dari mereka dilayani tidak sesuai standar layanan seperti ketidaksesuaian standar layanan seperti ketidaksesuaian biaya dan jangka waktu penyelesaian dalam mengurus layanan dari yang diinformasikan oleh penyelenggara layanan menjadi pintu masuk terjadinya praktik maladministrasi.

Sebanyak 225 responden atau 4,10 persen menyatakan masih ada pungli, dan sebanyak 680 responden atau 12,40 persen mengaku masih terdapat jasa perantara illegal dalam mengurus layanan.

Pekerjaan rumah yang masih menanti ini ditanggapi Wakil Presiden RI Jusuf Kalla. JK meminta agar pemerintah pusat dan daerah meningkatkan kepatuhan terhadap pelayanan publik. Pelayanan publik erat dengan tiga unsur yaitu kecepatan pelayanan, kualitas pelayanan, dan biaya pelayanan.

“Lebih cepat, lebih baik, dan lebih murah. Lebih cepat lebih baik lah gitu,” kata JK.

Pemerintah memang masih harus berbenah banyak dalam hal pelayanan publik. Pelayanan publik tak hanya berurusan dengan kepatuhan negara melayani warganya tapi juga soal persaingan antar negara, seperti persoalan kemudahan berusaha, daya saing global, hingga persepsi korupsi yang masih melekat terhadap Indonesia. Persoalan yang lebih kompleks ini tak akan bisa ditangani bila pemerintah masih punya rapor merah untuk urusan pelayanan publik.

Baca juga artikel terkait PELAYANAN PUBLIK atau tulisan lainnya dari Andrian Pratama Taher

tirto.id - Hukum
Reporter: Andrian Pratama Taher
Penulis: Andrian Pratama Taher
Editor: Suhendra