tirto.id - Ombudsman RI mencatat lebih dari 10.000 pengaduan masyarakat yang masuk. Laporan tersebut tak jauh-jauh dari malaadministrasi yang dilakukan oleh penyelenggara pelayanan publik.
Malaadministrasi adalah perilaku atau perbuatan melawan hukum dan etika dalam proses administrasi pelayanan publik. Seperti halnya penyimpangan prosedur, penyalahgunaan wewenang, termasuk kelalaian atau pengabaian kewajiban hukum, tindakan diskriminatif, permintaan imbalan, dan lainnya.
Masalahnya, tidak semua pengaduan dari masyarakat bisa direspon atau diselesaikan dengan cepat oleh Ombudsman. Sebab, dalam menangani pengaduan dibutuhkan pemeriksaan lebih lanjut. Satu kasus atau pengaduan bahkan baru bisa diselesaikan dalam waktu tiga sampai enam bulan.
"Ekspektasi masyarakat itu kepada Ombudsman dianggap sebagai lembaga yang bisa menyelesaikan seluruh persoalan masyarakat. Jadi, diharapkan kalau sudah melapor ke Ombudsman hari ini, besok sudah selesai masalah. Padahal, tidak sesederhana itu," jelas anggota Ombudsman RI, Yeka Hendra Fatika, dalam Podcast For Your Politics, di Kantor Ombudsman.
Oleh karena itu, kata Yeka, Ombudsman butuh dukungan dari negara untuk menghadirkan pelayanan yang lebih baik lagi ke depan. Pemerintah, kata dia, setidaknya perlu memberikan perhatian yang lebih kepada Ombudsman, mulai dari SDM hingga peningkatan fasilitasnya sehingga jangkauannya bisa lebih luas.
"Di dalam RUU Perubahan Ombudsman didesain untuk hadir di setiap kabupaten-kota. Kalau ini bisa dilakukan, maka ini juga akan berdampak terhadap pelayanan pengaduan menjadi semakin lebih baik lagi. Tapi, apakah itu akan disahkan atau tidak? Bergantung anggota DPR," jelas Yeka.
Di luar dari masalah tantangan tersebut, Yeka juga berbicara soal isu lainnya. Mulai dari masalah pagar laut, pungli, hingga sistem Coretax yang dianggap buruk. Selengkapnya bisa disimak dalam wawancara berikut.
Mungkin masih banyak yang ingin tahu Ombudsman itu cara kerjanya sebenarnya seperti apa?
Jadi, Ombudsman Republik Indonesia itu adalah lembaga negara satu-satunya yang diberi tugas oleh konstitusi, bukan oleh presiden, untuk mengawasi penyelenggaraan pelayanan publik.
Artinya mulai dari tahapan perencanaan, pelaksanaan, sampai pengawasan terkait pelayanan publik. Misalnya, masyarakat komplain tidak mendapatkan KTP. Nah, pemberian KTP-nya itu pelayanan publik. Tapi, sistem yang berkontribusi terhadap sulitnya masyarakat mendapatkan akses KTP itu adalah tata kelola.
Ketika ada laporan seperti itu, Ombudsman bukan hanya sekedar membantu masyarakat mendapatkan KTP, tapi mengubah sistemnya. Ini yang dilakukan oleh Ombudsman sehingga satu laporan masyarakat pada akhirnya itu bisa membantu terhadap perbaikan sistem keseluruhan.
Bagaimana cara Ombudsman bekerja? Tentunya bagi aparatur penyelenggara negara dan pemerintahan yang tidak baik dalam menyelenggarakan pelayanan publik, maka ada dugaan potensi malaadministrasi. Jadi, malaadministrasi itu kata-kata saktinya Ombudsman. Karena, lembaga lain tidak bisa melabelkan malaadministrasi, hanya Ombudsman.
Maaladministrasi itu pada intinya penyalahgunaan atau pelanggaran hukum dalam hal penyelenggaraan pelayanan publik.
Apa itu saja? Enggak. Definisi malaadministrasi juga menjelaskan bahwa kelalaian atau pelanggaran hukum tersebut mengakibatkan kerugian masyarakat, baik material atau pun nonmateri.
Kalau sudah ada potensi malaadministrasi, maka Ombudsman harus menindaklanjutinya dalam dua hal. Pertama, mencegah. Kedua, melakukan tindakan korektif.
Ombudsman menjalankan tugasnya dengan menggunakan metode propartif. Itu sebenarnya seperti apa?
Pada intinya, propartif itu adalah sebuah metode yang dikembangkan oleh Ombudsman dalam rangka menjaga maruah dan martabat masing-masing lembaga.
Kami mengedepankan untuk memberikan solusi, bukan hanya sekedar mencari siapa yang salah atau apa kesalahannya. Yang lebih kami tekankan adalah berupa kesadaran agar mereka mau berubah dan membenahi pelayanan publik yang mereka lakukan sehingga bisa menjadi lebih baik lagi.
Dengan seperti itu, pemeriksaan tidak perlu berlama-lama dan masyarakat dapat segera menikmati layanan publik yang lebih baik lagi dari pemerintah.
Apakah Ombudsman bekerja hanya berdasarkan pengaduan masyarakat saja?
Tidak. Ombudsman ini memiliki dua mekanisme. Mekanisme pasifnya, masyarakat yang mengadu. Kalau masyarakat yang mengadukan, berarti kami wajib menindaklanjuti. Tetapi, jika ada hal-hal yang urgen menyangkut hak hidup orang banyak, atau dalam bahasa kekinian sudah viral, maka dengan mempertimbangkan SDM yang ada, Ombudsman bisa melakukan investigasi atas perkara sendiri.
Mengapa Ombudsman melakukan pertimbangan? Karena, laporan yang harus dituntaskan oleh Ombudsman itu banyak. Seperti saya sekarang masih memegang sekitar 112 kasus dalam setahun.
Kasus sebanyak 112 dalam satu tahun tentunya menyerap sumber daya manusia yang cukup banyak juga. Maka ketika melakukan investigasi, kami tidak sembarangan. Betul-betul harus dilihat urgensinya.
Dan kedua, walaupun kami bisa mengajukan sendiri, ini harus mendapatkan persetujuan dari delapan pimpinan Ombudsman lainnya. Kalau sudah setuju, oke, jalan.
Kalau ada pimpinan yang tidak setuju, bagaimana?
Berarti enggak bisa. Harus setuju semua. Harus musyawarah, mufakat.
Bisakah dibocorkan sedikit, permasalahan-permasalahan apa yang saat ini sedang ditangani Ombudsman?
Terkait pagar laut. Ombudsman yang melakukan investigasi adalah Ombudsman Republik Indonesia Kantor Perwakilan Banten. Jadi, bukan Ombudsman pusat. Latar belakangnya adalah keluhan nelayan. Nelayan gak bisa melaut sehingga investigasi yang dilakukan framing-nya itu adalah bagaimana agar pagar laut itu segera dibongkar.
Setelah kami tindak lanjut, seiring dengan informasi yang kami peroleh, pada intinya pemagaran laut itu ternyata unsur potensi pidananya tinggi banget. Kalau sudah mengidentifikasi bahwa ada potensi pidana yang tinggi, Ombudsman gak boleh masuk.
Karena, pidana bukan ranah dan kewenangannya Ombudsman. Ombudsman masuk di mana? Dalam hal penyelenggaraan pelayanan publik.
Pelayanan publik dalam hal apa? Dalam hal fungsi pengawasan. Karena, pengawasan yang lalai mengakibatkan pagar itu terbangun sehingga nelayan tidak bisa melaut. Oleh karena itu, kami fokus kepada instansi yang mengawasi.
Siapakah instansi yang mengawasi wilayah laut? Itu adalah Dinas Kelautan dan Perikanan Provinsi Banten. Oleh karena itu, malaadministrasinya diarahkan ke Dinas Kelautan dan Perikanan Provinsi Banten.
Pada intinya, Ombudsman menyampaikan beberapa hal. Pertama, meminta DKP segera menuntaskan pembongkaran pagar laut. Kedua, ada enam unsur pidana yang nanti kami akan sampaikan kepada APH bahwa dibalik pemagaran laut itu ada indikasi untuk menguasai ruang laut.
Ketiga, kami juga mendorong agar PSN ini segera dievaluasi. Karena, 30 km pagar laut itu tidak ujug-ujug ada. Dan mengapa bisa terjadi seperti itu? Karena, di bawah ini masyarakat selalu bilang ini proyeknya PSN, padahal bukan. Oleh karena itu, harus dievaluasi PSN-nya.
Nanti, kami juga akan melakukan investigasi lain yang terkait pagar laut. Dalam rangka apa? Ya untuk targetnya marwah presiden. Presiden sudah ngomong, bongkar dan usut. Kalau sudah bongkar, tapi gak diusut kan berarti marwah presiden yang dipertaruhkan. Kita gak mau marwah presiden ini disepelekan oleh masyarakat banyak.
Sejumlah pihak bilang bahwa pemagaran laut itu adalah swadaya masyarakat. Bagaimana tanggapan Ombudsman?
Sepemahaman data BPS yang kami terima, bahwa masyarakat nelayan kita ini adalah masyarakat yang secara umum termarjinalkan. Bahkan, secara umum masih di bawah garis kemiskinan. Rasanya tidak mungkin mereka memiliki kemampuan mengonsolidasikan modal dan sumber daya sampai puluhan miliar seperti itu.
Beralih ke kasus malaadministrasi lain. Sampai sekarang, pungli masih ada. Yang terbaru itu kasus pungli di Imigrasi Bandara Soekarno-Hatta. Ombudsman melihat situasi ini seperti apa?
Pada intinya, secara umum, yang namanya pungli itu tidak boleh. Pasti jelas itu malaadministrasi. Dan jangan lupa, kalau sudah pungli, bukan lagi malaadministrasi, tapi pidana. Kalau sudah pidana, sudahlah APH sana yang masuk.
Soal Coretax sampai saat ini juga masih dikritisi karena masih bermasalah. Ombudsman melihatnya seperti apa?
Coretax itu niatnya bagus. Intinya, membuat pelaporan pajak lebih humanis. Lebih memudahkan karena tidak perlu datang ke kantor pajak. Tetapi, saya melihat tampaknya pemerintah, dalam hal ini Ditjen Pajak, rasanya tidak memitigasi secara betul aplikasi ini.
Apa yang jadi masalah dalam implementasi Coretax itu?
Contoh, waktu untuk pelaporan itu lama, sementara pelaku usaha kan perlu kepastian. Contoh satu aja, faktur pajak. Faktur pajak itu diperlukan agar perusahaan bisa menagihkan invoice. Kalau faktur pajaknya tidak diperoleh, bagaimana dia bisa menagihkan invoice? Jadi, ini mengganggu pelayanan.
Oleh karena itu, saya mengimbau terkait Coretax ini minimal yang terkait dengan pelaporan-pelaporan informasi pajak itu silahkan sambil diperbaiki. Tapi, kalau yang terkait pelayanannya, seperti faktur segala macam, dikembalikan aja lagi seperti semula. Jadi tidak perlu lagi melalui Coretax seperti ini.
Dan tentunya Coretax ini harus dievaluasi. Mengapa aplikasi yang dibuat dengan menggunakan anggaran yang luar biasa besar, dibuat juga oleh institusi yang bukan ecek-ecek, ternyata hasilnya begini.
Nah, Ombudsman akan bekerja sama dengan DJP?
Kami sedang melakukan koordinasi terkait persoalan pajak. Bukan hanya persoalan Coretax saja, tapi juga ada banyak laporan-laporan pajak yang masuk ke Ombudsman. Mudah-mudahan dalam waktu dekat ini, ada upaya lebih konkret dari Ombudsman untuk mendorong dan mengevaluasi persoalan Coretax ini.
Kemudian, bagaimana cara Ombudsman memastikan kualitas pelayanan publik di Indonesia?
Pelayanan publik itu kan bentuk hadirnya pemerintah. Pelayanan publik itu bukan tanggung jawabnya Ombudsman, melainkan tanggung jawab seluruh jajaran pemerintah. Seluruh instansi pemerintah. Dari mulai tingkat desa, camat, sampai ke tingkat pusat.
Jadi, yang memiliki kepentingan dalam memberikan pelayanan publik itu adalah mereka. Para menteri, para kepala pimpinan, lembaga, gubernur, bupati, wali kota, kepala dinas, dan lain sebagainya sampai kepala desa.
Adanya keluhan merupakan indikasi bahwa ada pelayanan publik yang terganggu dan saat itulah Ombudsman hadir. Ombudsman ini sejatinya adalah teman bagi aparatur penyelidikan negara untuk mengingatkan agar kinerjanya lebih baik.
Kalau tidak diingatkan, mereka cenderung bisa saja abai, tidak responsif, menunda-nunda, bisa saja terjadi ada pungli, dan lain sebagainya.
Keluhan masyarakat seperti apa yang jadi prioritas untuk diterima Ombudsman?
Ombudsman itu setiap tahun menerima tidak kurang 10 ribu laporan se-Indonesia. Bukan hanya sekedar masyarakat itu lapor, terus kami diamkan. Tapi, kami rangkaikan pemeriksaan.
Dan pemeriksaan yang dilakukan di Ombudsman itu tidak hanya sekali langsung selesai.Bahkan, bisa ada tiga kali, empat kali, lima kali. Sehingga, satu kasus itu baru bisa selesai tiga bulan, lima bulan, enam bulan.
Bayangkan ada 10 ribu kasus dengan proses seperti itu. Kami harus betul-betul make sure data informasi yang kami kelola itu adalah data yang original—asli, bukan dari sumber lain. Jadi, pemeriksaannya itu benar-benar kami pastikan berkualitas.
Oleh karena itu, tidak semua persoalan layanan publik bisa diselesaikan oleh Ombudsman. Ombudsman pun hanya bisa menyelesaikan persoalan yang diadukan dan yang memang kami investigasi. Di luar itu, kalau masih banyak tentunya alarmnya harus jalan dari pemerintah.
Jika aduan masih banyak, percuma sajaada klaim kepuasan terhadap pemerintah tinggi, misalnya 80 persen. Ini adalah cara untuk mengafirmasi bahwa sebetulnya pemerintah harus terus berbenah.
Karena, siapa pun yang bekerja di pemerintahan, filosofinya satu kok: melayani masyarakat. Bukan menjadi penguasa, tapi untuk melayani masyarakat.
Indikator masalah yang diterima Ombudsman itu adalah ketika pelayanan publik itu tidak diterima dengan baik. Contohnya adalah persoalan-persoalan pengurusan KTP, sertifikat, paspor, surat izin mendirikan bangunan. Contoh lain masalah subsidi. Ada masyarakat yang harusnya dapet subsidi, tapi enggak dapet.
Pada intinya, pelayanan publik itu adalah hak bagi masyarakat yang sudah melaksanakan kewajibannya. Ketika masyarakat sudah melakukan kewajiban dan haknya enggak dapet, maka itu bisa melapor kepada Ombudsman.
Sekarang, melapor kepada Ombudsman itu mudah sekali. Cukup buka website-nya Ombudsman, sudah bisa ngobrol. Misalnya teman-teman ada yang tidak melek IT, bisa datang langsung, berkirim surat, bertelepon langsung, bahkan bisa SMS. Ada delapan kanal untuk menerima, bahkan melalui medsos pun bisa.
Apa tantangan terbesar Ombudsman sejauh ini dalam menerima berbagai aduan dari masyarakat?
Tantangan terbesar kami adalah kesadaran dari para pimpinan lembaga. Sering kali, mereka enggan diperiksa oleh Ombudsman dengan alasan merasa bahwa itu bukan kesalahannya.
Kedua, kalau kami lihat, malaadministrasi itu pada intinya kan pelanggaran hukum dan penyalahgunaan wewenang. Sering kali, itu enggak disebut sebagai menyalahgunakan wewenang atau melanggar hukum.
Kalau kita berbicara korupsi, itu lebih kepada perilaku. Tapi, kalau malaadministrasi berarti sebetulnya Anda tuh gak kompeten jadi pejabat. Oleh karena itu, banyak instansi atau pimpinan instansi atau lembaga yang memang tidak kooperatif dengan Ombudsman. Pemeriksaan Ombudsman itu dianggap mengganggu kegiatan sehari-hari.
Padahal, pengawasan yang dilakukan oleh Ombudsman itu justru untuk mencegah hal yang lebih besar, misalnya korupsi. Dalam konteks seperti ini, mestinya tidak ada alasan bagi para pimpinan untuk menolak.
Tantangan berikutnya adalah sekarang itu aturan sering kali diganti tanpa mengindahkan prosedur penggantian aturan. Ini juga mengakibatkan iklim usaha menjadi tidak baik. Kalau sudah seperti begini, laporan kepada Ombudsman pun menjadi lebih banyak.
Adakah tantangan yang berasal dari masyarakat?
Tantangan dari masyarakat itu ekspektasi. Ekspektasi masyarakat itu Ombudsman dianggap sebagai lembaga yang bisa menyelesaikan seluruh persoalan masyarakat. Jadi, diharapkan kalau sudah melapor ke Ombudsman hari ini, besok sudah selesai masalah. Padahal, tidak sesederhana itu. Kami perlu waktu untuk memastikan, memeriksa, dan lain sebagainya.
Jadi, kami banyak sekali kasus-kasus di mana masyarakat itu teriak-teriak nangis. Bahkan, ada yang dua hari dua malam atau berhari-hari tidur di Ombudsman hanya agar kasusnya diselesaikan. Tapi, persoalannya yang harus kami tangani itu banyak.
Oleh karena itu, layanan Ombudsman bisa menjadi lebih baik lagi kalau misalnya negara memberikan juga perhatian yang lebih kepada Ombudsman. Misalnya SDM danfasilitasnya ditingkatkan sehingga lebih menjangkau banyak.
Dalam RUU Perubahan Ombudsman, Ombudsman didesain untuk hadir di setiap kabupaten-kota. Kalau bisa dilakukan, ini akan berdampak pelayanan pengaduan menjadi semakin lebih baik lagi. Tapi, apakah itu akan disahkan atau tidak, bergantung anggota DPR.
Bagaimana sih Ombudsman akhirnya mendorong realisasi RUU Ombudsman?
Sebagian besar masyarakat yang sudah berinteraksi dengan Ombudsman menganggap bahwa “kok cuma begini” atau “buat apa diperiksa kalau tidak ada sanksi”. Buat apa ada saran kalau itu tidak didengarkan? Buat apa ada tindakan korektif kalau tidak dijalankan? Itu kembali kepada undang-undang. Undang-undangnya memang membuat kami seperti itu.
Itu juga menjadi persoalan. Harapan kami terkait perubahan undang-undang itu adalah bagaimana memperkuat posisi lembaga Ombudsman di mata lembaga eksekutif.
Contoh, kalau di Belanda, yang namanya rekomendasi atau hasil investigasi Ombudsman itu menjadi prioritas utama dalam penyelesaian kasus di kejaksaan. Kalau kita benar-benar serius ingin memperbaiki layanan publik, maka hasil-hasil produk Ombudsman itu harus menjadi acuan bagi APH, baik kepolisian, KPK, kejaksaan.
Penulis: Dwi Aditya Putra
Editor: Fadrik Aziz Firdausi