tirto.id - Pelaksanaan efisiensi anggaran pun telah diatur dalam Inpres Nomor 1 Tahun 2025 tentang Efisiensi Belanja dalam Pelaksanaan APBN dan APBD TA 2025 yang kemudian diturunkan dalam yang menetapkan pemangkasan dengan persentase bervariasi pada 16 pos-pos belanja K/L.
Instruksi Presiden (Inpres) Nomor 1 Tahun 2025 tentang Efisiensi Belanja dalam Pelaksanaan APBN dan APBD Tahun Anggaran 2025 rupanya memunculkan dampak yang cukup besar dan meluas. Melalui Surat Edaran (SE) Menteri Keuangan Nomor S-37-MK.02/2025, kebijakan Presiden Prabowo Subianto itu diimplementasikan dengan pemangkasan anggaran pada 16 pos belanja kementerian atau lembaga (K/L) dengan persentase bervariasi.
Beberapa waktu belakangan, media massa dan media sosial terus diramaikan dengan kabar-kabar terkait dampak pemangkasan anggaran di berbagai instansi pemerintahan. Beberapa instansi dikabarkan mulai membatasi fasilitas kantornya. Sebagian instansi lain bahkan terpaksa merumahkan pekerja honorernya.
DPR RI pun, mulai Rabu (12/2/2025), sedang sibuk menggelar rapat-rapat kerja dengan mitra pemerintah untuk menindaklanjuti kebijakan efisiensi anggaran belanja K/L.
Mitra-mitra yang dipanggil DPR RI meliputi Menteri Hak Asasi Manusia (HAM), Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi (PANRB), Menteri Dalam Negeri, Kepala Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB), Kepala Otorita Ibu Kota Nusantara (IKN), hingga Kepala Ombudsman Republik Indonesia (ORI).
Lalu, Kamis (13/2/2025), DPR RI kembali memanggil beberapa menteri Kabinet Merah Putih. Di antaranya Menteri Keuangan, Menteri Luar Negeri, Menteri Pemuda dan Olahraga (Menpora), Menteri Perdagangan, Menteri Pertahanan, Kepala Badan Perlindungan Konsumen Nasional (BPKN), Panglima TNI, hingga Kepala Badan Intelijen Negara (BIN).
Yang menarik, rapat-rapat kerja tersebut digelar untuk membahas agenda “rekonstruksi anggaran” belanja APBN 2025. Mengapa DPR memakai istilah “rekonstruksi anggaran” dan bukan “efisiensi anggaran” dalam raker tersebut?
Istilah rekonstruksi anggaran itu muncul dalam surat edaran yang dikeluarkan Wakil Ketua DPR RI, Sufmi Dasco Ahmad. Surat edaran tersebut menyatakan bahwa seluruh agenda rapat efisiensi anggaran ditunda hingga proses rekonstruksi anggaran rampung. Hal itu dilakukan agar pembahasan soal anggaran belanja K/L berjalan lebih efektif dan efisien.
“Artinya, menunggu kesiapan pihak pemerintah sebagai mitra komisi agar tidak berulang kali rapat terkait anggaran. Lebih baik menunggu rekonstruksi anggaran dari pemerintah selesai dalam waktu dekat," kata Wakil Ketua Badan Anggaran DPR RI, Jazilul Fawaid, saat dihubungi Tirto, Senin (10/2/2025).
Melalui surat edaran yang disebarkan kepada seluruh pemimpin komisi di DPR pada Senin (11/2/2025), Dasco menyiratkan bahwa pemerintah tak lagi melakukan efisiensi, melainkan rekonstruksi anggaran.
Sebagai informasi, yang dimaksud rekonstruksi anggaran adalah perombakan atau penyusunan kembali anggaran yang sudah dirancang. Sementara itu, efisiensi anggaran ialah upaya untuk mencapai tujuan atau hasil yang diinginkan dengan menggunakan sumber daya yang ada secara optimal.
Terlepas dari pengertiannya, anggota Komisi XI DPR RI, Wihadi Wijanto, menjelaskan bahwa rekonstruksi dilakukan agar pemangkasan anggaran tepat sasaran. Sehingga, belanja K/L dapat tetap dioptimalkan untuk melayani masyarakat.
“Dengan efisiensi itu, dengan dinamika yang ada, maka diminta ada rekonstruksi lagi. Agar ini tidak mengganggu layanan kepada masyarakat,” ujar Wihadi kepada awak media di KompleksDPR-MPR, Rabu (12/2/2025).
Dibuat lalu Dianulir
Beberapa hari sebelum soal rekonstruksi anggaran tersebut ramai, masyarakat sempat dihebohkan oleh polemik kelangkaan LPG 3 kilogram (kg). Usut punya usut, kelangkaan itu disebabkan oleh kebijakan anyar yang dikeluarkan Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM), Bahlil Lahadalia, terkait distribusi gas bersubsidi.
Bahlil bikin regulasi bahwa per 1 Februari 2025, penjualan LPG 3 kg yang hanya boleh dilakukan oleh pangkalan. Artinya, LPG 3 kg tak bakal bisa dibeli di toko atau warung pengecer.
Kebijakan itu sempat membuat gas tabung melon langka di pasaran. Di berbagai daerah, masyarakat harus antre untuk membeli gas tabung melon dan parahnya menimbulkan satu korban jiwa di Tangerang Selatan.
Seiring dengan semakin panasnya masalah kelangkaan LPG 3 kg, Presiden Prabowo turun tangan menginstruksikan Bahlil untuk mengizinkan pengecer kembali menjual gas LPG 3 kg.
Menurut Wakil Ketua DPR RI, Sufmi Dasco Ahmad, kebijakan yang diterbitkan Bahlil itu “diputuskan tanpa sepengetahuan presiden”.
"Sebenarnya ini bukan kebijakannya dari Presiden untuk kemudian melarang kemarin itu," kata Dasco di Kompleks Parlemen (4/2/2025).
Perubahan kebijakan seperti dua kasus tersebut ternyata juga terjadi pada pengujung 2024. Pada 31 Desember 2024, Prabowo mengumumkan bahwa tarif Pajak Pertambahan Nilai (PPN) 12 persen hanya berlaku untuk kelompok barang-barang mewah yang dikonsumsi oleh masyarakat golongan atas.
Pengumuman tersebut menganulir kebijakan tarif PPN 12 persen untuk seluruh barang (kecuali minyak goreng curah dengan merek MinyaKita, tepung terigu, dan gula industri) yang sebelumnya diumumkan oleh Menteri Koordinator (Menko) Bidang Perekonomian, Airlangga Hartarto dan Menteri Keuangan, Sri Mulyani.
“Yaitu barang dan jasa tertentu yang selama ini sudah terkena PPN barang mewah. Yang dikonsumsi oleh golongan masyarakat berada, masyarakat mampu. Contoh, pesawat jet pribadi. Itu tergolong barang mewah yang dimanfaatkan masyarakat papan atas. Kemudian, kapal pesiar, motor yacht, kemudian rumah sangat mewah,” ujar Prabowo di Kantor Kementerian Keuangan, Jakarta Pusat, Selasa (31/12/2024).
Presiden Prabowo juga mengatakan bahwa kebijakan itu diambil karena pemerintah mempertimbangkan dampak kebijakan perpajakan terhadap daya beli masyarakat, tingkat inflasi, dan pertumbuhan ekonomi. Lebih penting lagi, kebijakan perpajakan harus didasarkan pada kepentingan rakyat banyak.
“Komitmen kami adalah selalu berpihak kepada rakyat banyak, berpihak kepada kepentingan nasional, dan berjuang dan bekerja untuk kesejahteraan rakyat,” imbuh dia.
Kabinet Mesti Dievaluasi
Direktur Eksekutif Trias Politika Strategis, Agung Baskoro, menilai sikap Prabowo yang selalu menganulir kebijakan pemerintahannya usai menjadi kontroversi dan menuai penolakan masyarakat.
Dalam hal ini, Prabowo seolah berperan sebagai pemadam kebakaran yang memadamkan kobaran api kebijakan yang dibuat oleh para pembantunya di Kabinet Merah Putih.
“Jadi, kan, udah terbakar nih [masyarakat dengan kebijakan yang dirilis pemerintah]. Di mana-mana viral. Akhirnya, balik lagi Pak Prabowo yang nyiram airnya supaya enggak terbakar lebih hebat. Jadi, dia sebagai pemadam kebakaran tadi,” kata Agung saat dihubungi Tirto, Kamis (13/2/2025).
Agung sangat menyayangkan hal itu. Menurutnya, tujuan Prabowo dalam meramu kebijakan adalah baik, tapi bisa jadi ia salah dalam hal eksekusi.Dalam konteks kebijakan efisiensi anggaran, misalnya, Agung menilai Prabowo hanya memerintahkan agar K/L melakukan penghematan pada pos-pos belanja yang tak esensial, seperti perjalanan dinas, acara seremonial, hingga pengadaan alat tulis kantor (ATK).
Namun, instruksi tersebut salah diterjemahkan sehingga pos-pos belanja produktif, seperti anggaran infrastruktur hingga bantuan pemerintah, turut terkena efisiensi. Hal itu diperburuk oleh kegagapan orang-orang di sekeliling Prabowo membaca danmerespons situasi, termasuk Kantor Komunikasi Kepresidenan (Presidential Communication Office/PCO) dan humas-humas kementerian.
“Makanya, yang dibilang Pak Prabowo itu ada raja-raja kecil. Problemnya sebenarnya bukan Pak Prabowo, tapi ada pembangkangan yang dilakukan oleh birokrasinya,” imbuh dia.
Tidak hanya itu, Agung juga menilai bahwa Kabinet Merah Putih yang gemuk itu mengalami disfungsi. Menteri-menteri Prabowo seakan punya kecenderungan membuat kebijakan dalam waktu singkat tanpa mempertimbangkan dampaknya, terlebih yang bersinggungan dengan masyarakat.
Kemudian, dengan adanya lebih dari 112 orang di Kabinet, membuat miskoordinasi menjadi sebuah keniscayaan.
Menurut Agung, kabinet yang terlalu gemuk tak punya nilai positif. Oleh karena itu, Agung merekomendasikan agar Prabowo melakukan perampingan postur kabinet. Setidaknya, Presiden dapat memangkas jumlah K/L menjadi seperti jumlahnya di masa presiden-presiden terdahulu.
“Kalau memang terbukti kementerian itu lemot, lelet, enggak jelas [kinerjanya], sudah tidak bisa dipertahankan. Itu tiga bulan ke depanlah ya, bisa dilihat lagi kinerja K/L. Karena, kalau Pak Prabowo tiap waktu harus memadamkan [masalah], itu akan menggerus energi beliau,” imbuh Agung.
Sementara itu, menurut ekonom dan pakar kebijakan publik UPN Veteran Jakarta, Achmad Nur Hidayat, keruwetan dalam implementasi kebijakan itu mencerminkan dua sisi karakter pemerintahan Prabowo yang saling berlawanan.
Di satu sisi, Prabowo dilihat sebagai seorang pemimpin yang responsif terhadap suara rakyat. Ketika membatalkan kebijakan-kebijakan yang ternyata mendapat penolakan luas, masyarakat menilai bahwa Prabowo tidak bersikap otoriter atau memaksakan suatu kebijakan.
“Ini mencerminkan sifat kepemimpinan yang fleksibel, demokratis, dan mau beradaptasi dengan realitas di lapangan,” ujar Achmad kepada Tirto, Kamis (13/2/2025).
Namun, di sisi lain, sikap Prabowo tersebut sekaligus menunjukkan bahwa kebijakan yang dibuat oleh jajarannya belum matang dan solid. Maka tak heran teknis pelaksanaannya pun amburadul.
Itu bisa menjadi indikasi bahwa tim perumus kebijakan di pemerintahan Prabowo, baik dari kalangan birokrat maupun para penasihatnya, belum memiliki koordinasi yang solid dalam menyusun kebijakan yang implementatif dan dapat diterima oleh masyarakat luas.
Padahal, kebijakan pemerintah merupakan cerminan dari arah dan visi pemimpinnya. Oleh karena itu, kebijakan yang baik seharusnya dirancang dengan melalui berbagai tahapan, mulai dari perencanaan berbasis data, analisis dampak sosial-ekonomi, konsultasi dengan pemangku kepentingan, hingga simulasi implementasi teknisnya.
“Jika setiap kebijakan yang diambil berujung pada pembatalan setelah viral di media sosial, hal ini bisa menciptakan persepsi bahwa kebijakan pemerintah tidak stabil dan kurang terstruktur dengan baik. Implikasi dari pola ini juga berdampak terhadap kepercayaan publik dan investor terhadap pemerintah,” jelas Achmad.
Dalam hal menarik investor, dibutuhkan kepastian regulasi dan stabilitas kebijakan. Karenanya, jika pola pengambilan kebijakan cenderung berubah-ubah dan mudah dibatalkan setelah mendapat kritik publik, investor bisa menjadi ragu dalam menanamkan modalnya di Indonesia.
Hal ini tentu dapat menghambat upaya pemerintah dalam meningkatkan pertumbuhan ekonomi dan menciptakan lapangan kerja.
Menurut Achmad, pemerintahan Prabowo perlu memperkuat tim perumus kebijakan dengan membangun kelompok kerja yang terdiri dari para ahli ekonomi, sosial, hukum, dan kebijakan publik. Intinya, ia harus memiliki pemahaman mendalam terhadap berbagai aspek kebijakan yang akan diterapkan.
“Tim ini harus bekerja secara terintegrasi dengan kementerian terkait dan lembaga riset independen untuk memastikan bahwa setiap kebijakan yang diusulkan sudah melalui kajian yang mendalam sebelum diumumkan ke publik,” terangnya.
Jauh dari Good Governance
Selain evaluasi terhadap penyusunan kebijakan, Prabowo mesti memastikan kebijakannya dibuat secara transparan dan melibatkan partisipasi publik.
Partisipasi publik juga perlu ditingkatkan. Sebelum suatu kebijakan diberlakukan, pemerintah perlu mengadakan diskusi publik, konsultasi dengan sektor swasta, akademisi, serta kelompok masyarakat. Dus, pemerintah dapat memperoleh masukan yang lebih luas dan mengurangi risiko resistensi saat kebijakan diterapkan.
“Salah satu kelemahan yang sering terjadi dalam pemerintahan adalah kurangnya komunikasi yang jelas mengenai tujuan dan manfaat suatu kebijakan. Karenanya, sebelum mengumumkan kebijakan, pemerintah perlu memiliki strategi komunikasi yang baik, termasuk menyampaikan alasan di balik kebijakan tersebut, dampak yang diharapkan, serta mekanisme mitigasi,” sambung Achmad.
Sementara itu, pakar hukum tata negara, Bivitri Susanti, menilai bahwa pola implementasi kebijakan yang ditunjukkan pemerintahan Prabowo seakan tindakan coba-coba kepada rakyat. Dalam hal ini, para pembuat kebijakan seolah memperlakukan rakyat sebagai objek penelitian atau lebih kasarnya “cek ombak” sebelum kebijakan diterapkan secara permanen.
“Ini sebenarnya perilaku yang tidak boleh ada sama sekali. Jauh dari good governance karena yang jadi korban adalah warga. Padahal, pemilik bangsa ini sebenarnya warga, bukannya Prabowo, bukannya elite politik. Enggak boleh warga yang dikorbankan, diperlakukan semacam kelinci percobaan,” tegas Bivitri kepada Tirto, Kamis (13/2/2025).
Bivitri mengingatkan bahwa pemerintah dalam hal kenegaraan merupakan pelayan publik, bukan penguasa yang dapat bersikap semena-mena terhadap rakyat. Terlebih, rakyat pun membayar pajak sehingga para pejabat publik semestinya dapat bekerja dengan baik dan benar.
Namun, yang terjadi kini adalah sebaliknya. Selain menjadikan rakyat sebagai kelinci percobaan kebijakan, Kabinet “Gemuk” Merah Putih juga seolah menjadi wadah bancakan para elite politik. Ia seakan didesain hanya untuk mengakomodasi kepentingan segelintir orang.
Sehingga, yang duduk di pemerintahan pun banyak dari orang-orang yang sebenarnya tidak punya kapabilitas dan tidak memiliki kemampuan untuk merancang kebijakan.
“Jadi, kebijakan yang dibuat perhitungannya semata-mata perhitungan politik ekonomi. Perhitungan politik untuk diri dan kelompoknya, plus ekonomi karena masing-masing ada kaitannya dengan oligarki masing-masing,” jelas Bivitri.
Sebelumnya, Kepala Komunikasi Kepresidenan, Hasan Nasbi, menyampaikan pesan Prabowo bahwa Istana dapat menyingkirkan menteri yang tidak bekerja untuk kepentingan rakyat. Ini karena Prabowo menginginkan orang-orang yang dapat bekerja seirama dalam pemerintahannya.
"Siapa pun itu, yang tidak mau seirama gerak langkahnya bersama Presiden, ya nanti akan mendapatkan evaluasi dari Presiden," ucapnya di Kantor Komunikasi Kepresidenan, Jakarta Pusat, Jumat (7/2/2025).
Hasan menilai Prabowo menyatakan hal tersebut agar para pembantunya di Kabinet Merah Putih bekerja dengan lebih giat. Katanya, tidak ada maksud lain dari pernyataan Prabowo dan peringatan tersebut tidak ditujukan untuk salah satu atau sejumlah penyelenggara negara saja.
"Presiden kan selalu memberikan arahan, termasuk juga memberi pengingat kepada para anggota kabinet. Jadi, ini sesuatu yang disampaikan berlaku umum. Jadi, buat semua orang, buat semua pihak," tutur dia.
Penulis: Qonita Azzahra
Editor: Fadrik Aziz Firdausi