Menuju konten utama
Newsplus

Jangan Jadikan Hukum Alat Mengekang Kebebasan Akademik

Pengamat menilai aksi Mentan, Amran Sulaiman, yang mempolisikan seorang pengamat yang dianggap musuh negara jadi ancaman dan teror bagi kebebasan akademik.

Jangan Jadikan Hukum Alat Mengekang Kebebasan Akademik
Ilustrasi sekolah kedinasan. FOTO/IStockphoto

tirto.id - Menteri Pertanian (Mentan), Amran Sulaiman, memberikan pernyataan yang bisa membuat bulu roma bergidik. Ketika memberikan sambutan dalam acara Dies Natalis Ke-49 Universitas Sebelas Maret, Surakarta, Jawa Tengah, Selasa (11/3/2025), Amran menyampaikan bahwa bakal ada pengamat atau seorang akademisi, dari salah satu kampus ternama, yang sebentar lagi akan dipenjara. Dalam pernyataan tersebut, dia menyebut pengamat itu sebagai ‘musuh negara’.

Pada kesempatan itu, Amran mula-mula membicarakan program pemerintah, cetak sawah di Merauke, Papua Selatan. Program di akhir era Presiden Joko Widodo bernama food estate atau lumbung pangan. Setelah itu, Amran menyinggung keresahan yang disampaikan Presiden Prabowo Subianto terkait pihak-pihak yang terus mengkritik dan meragukan program itu.

Amran juga menyatakan program cetak sawah akan bisa terlaksana 3 juta hektare asal tak dihalang-halangi pengamat. “Karena ada juga pengamat –maaf–, ada pengamat ternyata adalah musuh negara, sebentar lagi kemungkinan besar akan dipenjara," tuturnya.

Ia menyatakan pengamat semacam ini merupakan masalah di Indonesia. Tanpa menyebut nama, Amran juga menambahkan, pengamat itu, “mudah-mudahan pindah alam”.

Berganti bulan, Kamis (17/4/2025), Amran betul-betul membuktikan ucapannya. Ketika konferensi pers di kantor Kementerian Pertanian, Ragunan, Jakarta Selatan, Amran menyatakan sudah mempolisikan seorang pengamat. Ia menyatakan bahwa pengamat dari salah satu asosiasi akan diproses hukum. Berdasarkan laporan dari Kementerian Pertanian (Kementan), terjadi indikasi dugaan proyek fiktif yang dilakukan pengamat tersebut.

Amran menyebut pengamat bidang pertanian itu kerap menyebarkan opini tak berdasar terkait program pemerintah, seperti food estate dan cetak sawah. Menurutnya, pelaporan turut dilakukan berdasar keresahan masyarakat, khususnya petani yang merasa semangatnya dirusak oleh narasi negatif yang tidak berdasar. Pernyataan-pernyataan pengamat tersebut dituding melemahkan upaya swasembada pangan yang saat ini mulai membuahkan hasil.

“Pengamat ini juga mengkritik target swasembada pangan, menyebutnya tidak jelas. Bahkan terakhir, ia menuding program makan siang dan susu gratis rawan korupsi. Semua ini dilakukan bukan karena niat membangun, tapi karena kepentingan pribadi,” tutur Amran, mengutip Antara.

Menteri Pertanian Andi Amran

Menteri Pertanian, Andi Amran, menjelaskan hasil kunjungannya ke Yordania di kantor Kementerian Pertanian, Jl. Harsono Rm Dalam No.3, Ragunan, Ps. Minggu, Kota Jakarta Selatan, 12550, Kamis (17/4/2025). tirto.id/Ayu Mumpuni

Sejumlah akademisi menilai pernyataan Amran merupakan bentuk ancaman dan teror bagi kebebasan akademik. Pernyataan tersebut amat disesalkan bisa terlontar dari mulut pejabat publik. Alih-alih menerima kritik dengan kepala dingin dan menjadikannya masukan program pemerintah, ancaman proses hukum kepada akademisi yang melontarkan koreksi terhadap kebijakan pemerintah hanya akan melahirkan ketakutan.

Pengajar hukum tata negara dari Universitas Mulawarman (Unmul) Samarinda, Herdiansyah Hamzah, menilai pernyataan Mentan Amran justru mencerminkan rezim pemerintahan yang antikritik. Dalam situasi negara demokratis, kata dia, kritik seharusnya menjadi asupan untuk mempertajam program-program pemerintah.

Sikap pejabat yang antikritik justru membangun kembali nuansa politik Orde Baru. Zaman ketika pemerintah merupakan menara gading yang tidak bisa disentuh dan dipertanyakan.

“Kritik jangan dianggap sesuatu yang berbahaya. Ini kan jadi kayak zaman Orde Baru di mana kritik ditabukan, kritik diharamkan, apa bedanya dengan pernyataan Amran,” ucap Castro, sapaan akrabnya, kepada wartawan Tirto, Selasa (22/4/2025).

Castro justru memandang proses hukum yang didorong Amran jadi cenderung bernuansa upaya kriminalisasi sivitas akademika. Namun tentu, dugaan adanya proses hukum apabila memang ditemukan, tetap harus berjalan. Justru yang patut menjadi sorotan, ada nuansa memakai hukum sebagai alat mengekang daya kritis akademisi.

Pejabat yang tak mau dikritik karena programnya belum berhasil, adalah pejabat yang pandir dan antisains. Kebebasan akademik dalam menyampaikan kritik dan masukan berdasarkan laporan ilmiah dan riset seharusnya, justru dijamin dan dilindungi negara.

Castro menyayangkan Presiden membiarkan anak buahnya bersikap petantang-petenteng dalam menangkis kritik publik. Jika terus dibiarkan, kondisi ini menurut Castro, bisa menjadi semakin membuat demokrasi di Indonesia mundur ke belakang.

“Kalau ada orang-orang di sekelilingnya yang antikritik dan menggambarkan mentalitas fasis, ya mestinya itu ditegur oleh presiden. Betapa rezim ini betul-betul otoriter dan bergerak ke arah yang lebih fasis mengancam situasi demokrasi,” terang Castro.

Sementara itu, Koordinator Kaukus Indonesia untuk Kebebasan Akademik (KIKA), Satria Unggul Wicaksana Prakasa, menyatakan bahwa pernyataan yang dilontarkan Amran jelas merupakan ancaman terhadap akademisi yang menyampaikan kritik kepada pemerintah. Ini semakin menebalkan sikap teror terhadap prinsip kebebasan akademik.

Menurut Satria, program pemerintah seperti food estate dan cetak sawah sah saja untuk diriset dan dikritik. Pasalnya, masukan dari akademisi diharapkan mampu membuat program bisa berjalan lebih baik dan berhasil ke depan.

Dalam food estate, kata Satria, sudah banyak riset yang membuktikan ada dampak kerugian lingkungan dan ekonomi imbas program lumbung pangan. Temuan semacam ini, kata dia, tak seharusnya membuat seorang peneliti atau akademisi diancam bui.

“Karena itu bagian dari kebebasan mimbar akademik dan otonomi keilmuan. Itu jelas diatur dalam UU Nomor 12/2012 soal Pendidikan Tinggi di pasal 12,” kata Satria kepada wartawan Tirto, Selasa.

REHABILITASI JARINGAN IRIGASI FOOD ESTATE DI KALTENG

Foto udara jaringan irigasi untuk mengairi kawasan lumbung pangan nasional 'food estate' Dadahup di Kabupaten Kapuas, Desa Bentuk Jaya, Kalimantan Tengah, Rabu (21/4/2021). ANTARA FOTO/Makna Zaezar/rwa.

Apalagi, kata Satria, instrumen hukum saat ini seharusnya menjadi pedoman bagi aparat penegak hukum mematuhi prinsip Anti-SLAPP (strategic lawsuit against public participation). Bagi akademisi yang menyoroti kerugian lingkungan misalnya, sudah ada Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup (PPLH) yang memastikan pejuang lingkungan tidak dapat dikriminalisasi baik gugatan perdata atau pidana.

Selain Pasal 66 dalam UU PPLH, Indonesia juga memiliki Peraturan Mahkamah Agung Nomor 1 Tahun 2023 dan Pedoman Jaksa Agung Nomor 8 Tahun 2022. Seharusnya berbagai instrumen hukum tersebut hadir untuk melindungi akademisi yang kritis.

“Alih-alih melindungi, yang terjadi malah arogansi dari pejabat publik. Sikap antisains yang sebenarnya menjadi malapetaka bagi masa depan negara kita,” ucap Satria.

Memantik Ketakutan

Pemerintah seharusnya memahami dan sadar bahwa upaya-upaya pembatasan kebebasan akademik merupakan masalah yang serius. Aparatur negara perlu memahami prinsip-prinsip kebebasan akademik yang dikenal sebagai Prinsip Surabaya untuk Kebebasan Akademik pada 2017 yang sudah diadopsi pada Standar Norma dan Pengaturan (SNP) Komnas HAM Nomor 5 Tahun 2021.

Jaminan kebebasan akademik berhubungan erat dengan negara yang demokratis. Jika hal tersebut tidak terjamin, maka akan sangat sulit memelihara perlindungan sivitas akademika.

Kebebasan akademik merupakan bagian esensi demokrasi dan HAM yang secara khusus menjadi hak atas kebebasan akademik (right to academic freedom). Kebebasan akademik merupakan rezim hukum sektor HAM yang telah diakui di Indonesia.

Di dalamnya meliputi kebebasan untuk berkumpul, berserikat, dan menyampaikan aspirasi dalam dunia pendidikan tinggi. Hak ini melekat pada seluruh sivitas akademika, dan masuk dalam pasal 19 Kovenan Internasional tentang Hak Sipil dan Politik, yang diratifikasi melalui UU Nomor 12 Tahun 2005.

Ahli Hukum Tata Negara dari Universitas Gadjah Mada (UGM), Herlambang P Wiratraman, menilai pernyataan Mentan Amran kontradiktif sekaligus kontraproduktif. Kritik itu, kata dia, tidak bisa membuat seseorang dipenjara. Karena kritik merupakan ekspresi yang legitimate atau sah bagi setiap warga negara dan berhak disampaikan.

Pernyataan Amran dinilai kontraproduktif karena sebagai pejabat publik, sikap antikritik akan mencerminkan rezim pemerintahan yang tidak memahami HAM. Sekaligus, kata dia, sikap mengekang kebebasan berekspresi dan akademik bertentangan dengan hak konstitusional setiap warga negara.

Di sisi lain, kata Herlambang, jika Amran melaporkan dugaan korupsi di Kementan, tentu itu hal yang wajar dan wajib dilakukan. Dugaan tindak pidana korupsi memang seharusnya diproses secara hukum tanpa pandang bulu. Bahkan, kata dia, sekalipun menterinya terlibat korupsi. Namun, jangan sampai korupsi dikaitkan karena rajin mengkritik pemerintah.

“Jika ada temuan dugaan korupsi itu hal wajar dilaporkan. Jangan sampai dikaitkan dengan kritik, ini poinnya. Siapapun yang melakukan tindak pidana korupsi, bahkan menterinya, itu berhak menjalani proses penegakan hukum,” kata Herlambang kepada wartawan Tirto, Selasa.

Panen padi perdana tahun 2025 di Gorontalo

Sejumlah petani memanen padi di Kota Gorontalo, Gorontalo, Senin (20/1/2025). ANTARA FOTO/Adiwinata Solihin

Kepala Bidang Advokasi LBH Jakarta, Alif Fauzi Nurwidiastomo, memandang tindakan dari Menteri Pertanian menunjukkan adanya nuansa fasisme dalam sektor pertanian. Semacam ada ketinggalan zaman, ketika kritik selalu diasosiasikan harus membangun dan tumpul. Ini dinilai Alif sangat khas rezim Orde Baru.

Menurut Alif, seorang pejabat negara tidak bisa memandang kritik sebagai ucapan subjek semata. Terlebih, apabila program yang disasar menyangkut data yang kritiknya bisa diuji dan dalam koridor demokratis serta akademis.

Berdasarkan Konstitusi Pasal 28E ayat (3) UUD NRI 1945 dan Kovenan Hak Sipil dan Politik (ICCPR) yang sudah diratifikasi melalui UU 12/2005, kritik yang dilayangkan pada lembaga negara tidak boleh dibatasi. Alif menjelaskan, pasal haatzaai artikelen atau pasal karet yang biasa digunakan membungkam kritik sudah sempat dianulir melalui putusan Mahkamah Konstitusi (MK). Meskipun pasal tersebut kembali diproduksi dalam Undang-Undang Hukum Pidana (KHUP) yang baru berlaku tahun depan.

“Sehingga, sudah sepatutnya aparat yang menerima laporannya nanti harus menolak karena tidak ada kaitannya ujaran kebencian dan penghinaan dengan kritik,” ucap Alif kepada wartawan Tirto, Selasa.

Baca juga artikel terkait KEBEBASAN AKADEMIK atau tulisan lainnya dari Mochammad Fajar Nur

tirto.id - News
Reporter: Mochammad Fajar Nur
Penulis: Mochammad Fajar Nur
Editor: Alfons Yoshio Hartanto