Menuju konten utama

Jamaah Islamiyah di Bawah Tanah: Kaderisasi hingga Latihan Perang

Jamaah Islamiyah bergerak di bawah tanah. Polisi mengungkap sebagian: dari tempat latihan dan bagaimana mereka mengumpulkan uang.

Jamaah Islamiyah di Bawah Tanah: Kaderisasi hingga Latihan Perang
Petugas Detasemen Khusus (Densus) 88 membawa terduga teroris Arif Sunarso alias Zulkarnaen dari Lampung setibanya di Bandara Soekarno Hatta, Tangerang, Banten, Rabu (16/12/2020). ANTARA FOTO/Muhammad Iqbal/foc.

tirto.id - Dalam beberapa tahun terakhir, pemberitaan soal terorisme di Indonesia diwarnai oleh satu kelompok bernama Jamaah Ansharut Daulah (JAD) yang terafiliasi dengan ISIS. Teror paling mencolok terakhir mereka adalah peledakan gereja di Surabaya Mei 2018. Kelompok ini menggantikan dominasi Jamaah Islamiyah (JI), menginduk pada al-Qaeda, yang salah satu ideolognya adalah Abu Bakar Ba'asyir.

Tapi ternyata riwayat JI tidak benar-benar usai. Baru-baru ini Densus 88 Antiteror membongkar pusat latihan perang JI di sebuah vila dua lantai di Desa Gintungan, Kabupaten Semarang, Jawa Tengah. Tak tanggung-tanggung, setidaknya ada 12 lokasi latihan perang ditemukan di provinsi ini.

Kadiv Humas Polri Irjen Pol Argo Yuwono pelatihan telah dimulai sejak 2011 oleh seorang bernama Joko Priyono alias Karso dan delapan pelatih lain. “Ada tujuh angkatan dengan total 96 [anggota],” ucap Argo di Mabes Polri, Senin (28/12/2020). Karso merupakan anak buah dari Para Wijayanto, pemimpin JI, yang mendapatkan instruksi untuk melakukan pelatihan.

Para anggota atau kader merupakan murid pondok pesantren yang terafiliasi dengan Karso. Rata-rata yang diajak bergabung untuk mengikuti pelatihan selama enam bulan adalah 10 siswa terbaik. 'Pendidikan' yang diberikan termasuk bela diri dengan tangan kosong, senjata tajam dan api, menyergap orang, hingga merakit bom. Kesepuluh kader itu tidak semuanya lolos. Ada mekanisme seleksi pula di sana.

Sampai sekarang, dari total kader, 66 di antaranya diberangkatkan ke Suriah melanjutkan pelatihan bersama Jabhah Nushrah, organisasi yang berafiliasi dengan Al-Qaeda. Yang tidak berangkat kini ditangkap.

Biaya ke Suriah untuk 10-12 kader mencapai Rp300 juta. Kemudian setiap bulan Karso juga merogoh Rp65 untuk upah para pelatih, makan-minum, serta obat-obatan.

Semua sumber daya materiil tersebut dari infak pada anggota JI. “Anggotanya yang aktif sekitar 6.000. Kalau satu orang kirim Rp100 ribu, dikali 6 ribu [maka] sudah Rp600 juta. Karso mengilustrasikan seperti itu. Tapi banyak juga yang mengirim Rp10 juta, Rp15 juta, Rp25 juta, bervariasi,” jelas Argo. Anggaran tersebut juga dipakai untuk menjalankan program angkatan berikutnya.

Argo emoh menjawab pekerjaan para anggota JI aktif sehingga bisa menyumbang hingga belasan juta lantaran itu merupakan bahan penyelidikan Densus 88.

Kamis 17 Desember lalu, Argo menjelaskan dua metode pengumpulan dana JI secara umum, yaitu menggunakan kotak amal dan pengumpulan secara langsung melalui acara-acara tablig. Dalam metode kotak amal, mereka menggunakan nama yayasan resmi yang mencantumkan nama dan kontak yayasan, nomor SK Kemenkumham, Baznas dan Kemenag, serta melampirkan majalah yang menggambarkan program-program yayasan. Kotak amal ditempat di warung-warung makan konvensional.

Sementara metode secara langsung biasanya dilakukan di acara-acara yang biasanya disebutkan untuk membantu para korban konflik di Suriah dan Palestina.

Selain penangkapan di Semarang, sepanjang November-Desember polisi juga menangkap beberapa jaringan JI di tempat lain, termasuk Taufik Bulaga alias Upik Lawanga dan Zulkarnaen alias Arif Sunarso, yang merupakan buronan Bom Bali I.

Tetap Eksis

Menurut analis intelijen dan keamanan dari Universitas Indonesia Stanislaus Riyanta, JI memang menjadi sel tidur ketika kelompok yang berafiliasi dengan ISIS seperti JAD, Jamaah Ansharut Tauhid, Jamaah Ansharut Khilafah Daulah Nusantara, dan Mujahiddin Indonesia Timur (MIT) dan lainnya tengah eksis. “Sekarang ketika ISIS dan afiliasinya surut, JI bangkit,” tutur Riyanta kepada reporter Tirto, Senin.

Dikatakan sel tidur bukan berarti benar-benar tak beraktivitas. Mereka sebenarnya tetap melakukan konsolidasi. Selain kaderisasi dan pelatihan yang akhirnya ketahuan, mereka bahkan membangun unit bisnis, termasuk sawit.

“Kelompok seperti JI ini struktur organisasinya sangat rapi dan kaderisasinya sudah dirancang dengan baik,” katanya. Ditambah faktor sebagian dari simpatisan yang Polri sebut berjumlah 6.000 merupakan veteran Afganistan dan Filipina, Riyanta pesimistis aparat dapat meredam kelompok ini dalam waktu cepat.

Dia mengatakan penangkapan petinggi JI bisa berakibat dua. Pertama, untuk sementara JI melemah hingga pemimpin baru mengambil alih; kedua, justru mempercepat aksi sebagai bentuk balas dendam dan eksistensi. “Jika pemimpinnya tertangkap maka akan segera muncul penggantinya,” kata Riyanta.

Peneliti terorisme Al Chaidar pun pernah mengatakan betapa rapinya JI, apalagi jika dibandingkan JAD, tahun lalu. Ketika seorang pimpinan tertangkap, misalnya, maka sel yang dia pimpin dihapuskan. Di JI pun tak sembarangan orang bisa masuk, sementara di JAD siapa pun bisa “asal mau jihad.”

Atas dasar itu menurutnya membongkar semua jaringan JI bakal lebih rumit dan lama dibanding, lagi-lagi, JAD.

Baca juga artikel terkait JAMAAH ISLAMIYAH atau tulisan lainnya dari Adi Briantika

tirto.id - Hukum
Reporter: Adi Briantika
Penulis: Adi Briantika
Editor: Rio Apinino