tirto.id - Pilot Kapten Esther Gayatri girang bukan kepalang, pesawat purwarupa N219 yang ia terbangkan berhasil mendarat mulus dalam uji coba penerbangan perdana (flight test) di landasan pacu Bandara Husein Sastranegara Jalan Padjadjaran Nomor 154 Kota Bandung, Rabu, 16 Agustus 2017. Burung besi dengan kode N219 sempat terbang selama 20 menit di langit Kota Bandung.
Momen bersejarah ini disaksikan langsung oleh Kepala LAPAN Thomas Djamaluddin, Direktur Jenderal Perhubungan Udara Agus Santoso, Dirut PT Dirgantara Indonesia (DI) Budi Santoso, dan seluruh jajaran Direksi dan Dewan Komisaris PT DI. Selebrasi kegembiraan hari itu memang berbeda, saat pendahulunya pesawat N250 lepas landas kali pertama 10 Agustus 1995 yang disaksikan langsung Presiden Soeharto.
Namun, kedua pesawat beda kepasitas dan generasi ini punya kesamaan, sama-sama diresmikan pada Hari Pahlawan. Pesawat N250 diluncurkan pada 10 November 1994, kurang dari setahun sebelum terbang perdana. Sedangkan N219 diresmikan pada Hari Pahlawan 10 November 2017 yang dihadiri oleh Presiden Jokowi, setelah sukses terbang perdana.
Burung besi yang diberi nama Nurtanio oleh Presiden Jokowi hasil kerja sama antara PT Dirgantara Indonesia (PT DI) dan Lembaga Penerbangan dan Antariksa Nasional (LAPAN).
“Nurtanio Pringgoadisuryo adalah pahlawan bangsa yang berjuang tanpa pamrih. Seluruh hidupnya didarmabaktikan untuk kedirgantaraan Indonesia,” kata Jokowi dikutip dari Antara.
Baca juga: Presiden Jokowi Resmi Beri Nama Pesawat N-219 dengan Nurtanio
Sebelum bisa terbang perdana dan diresmikan, pesawat N219 telah melalui proses yang sangat panjang yang dimulai dari proses perencanaan oleh tim PT DI sejak 11 tahun lalu. Pada 2006, PT DI mulai mengkonsep N219 yang digadang-gadang sebagai solusi konektivitas bagi wilayah-wilayah terpencil di Indonesia. Proses pengerjaan pesawat terbilang cukup panjang.
Pada 2008, pesawat memulai uji aerodinamika. Pengujian tersebut dilakukan oleh Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi (BPPT) di laboratorium pengujian terowongan angin yang berlokasi di Serpong, Tangerang Selatan.
Pengujian tersebut berlanjut ke hal-hal lainnya, seperti statis pesawat, mesin produksi, hingga uji terbang. Pada 2012, N219 ditargetkan mengantongi sertifikasi tipe dari Kementerian Perhubungan (Kemenhub) pada 2014, dan mulai dilepas ke pasar pada 2015. Sayang, tenggat waktu itu meleset dan uji terbang perdana baru bisa dilakukan pada 2017. Alhasil, rencana melepas pesawat yang merupakan pengembangan dari NC-212 ke pasar domestik maupun internasional juga ikut meleset.
Baca juga: Hingga 2035, Pemerintah Fokus Kembangkan Industri Pesawat
Jalan Panjang N219
Pesawat N219 memang sudah diresmikan, tapi perjalanan masih panjang. Proses uji terbang masih terus dilakukan hingga sertifikasi internasional. Proses uji terbang N219 sampai saat ini masih berjalan. Dari total ketentuan jam terbang hingga 300 jam, pesawat tersebut baru terbang selama 8,5 jam. Jika uji terbang dilakukan 1 jam per hari, maka pengujian baru rampung pada 291 hari.
Dalam uji terbang tersebut, pesawat juga bakal melalui serangkaian pengujian lainnya di antaranya seperti tes olah gerak (static test) guna mengukur sejauh mana pesawat dapat menahan beban maksimal. Kemudian, tes ketahanan tekanan (fatigue test) guna melihat seberapa panjang usia ekonomis N219. Hasil fatigue test itu dapat menjadi pegangan para calon pembeli yang berencana memesan pesawat ini.
Setelah uji terbang rampung dan pesawat laik digunakan, PT DI akan mengantongi sertifikasi tipe. Namun, sertifikasi tipe tersebut juga belum cukup bagi PT DI untuk memulai produksi massal dan memasarkan produknya. Untuk memulai produksi massal N219, PT DI harus memiliki sertifikat produksi berdasarkan kemampuannya dalam menetapkan kesesuaian model produksi dari prototipe pesawat yang ingin dibangun.
Syarat mendapatkan sertifikat produksi, PT DI harus menguraikan secara tertulis mengenai sistem mutu untuk menjamin produk desain yang telah disetujui dalam kondisi aman untuk dioperasikan. Hal ini tercantum dalam Civil Aviation Safety Regulation (CASR) Part 21, yang mengacu pada International Civil Aviation Organization (ICAO).
Di dalam sistem mutu itu, sebanyak 14 prosedur yang menjadi perhatian otoritas di antaranya seperti prosedur kontrol data desain guna menjamin data yang digunakan adalah data terkini, benar dan telah disetujui untuk dapat digunakan.
Baca juga: Apa Istimewanya Pesawat N219?
Pesawat N219 juga harus memenuhi sertifikasi tipe dari Federal Aviation Administration (FAA), selaku otoritas penerbangan AS. Ini untuk memenuhi pemasaran N219 ke pasar luar negeri, di antaranya seperti Thailand dan negara lainnya.
Direktur Arista Indonesia Aviation Center (AIAC) Arista Atmadjati, konsultan penerbangan, mengatakan sertifikasi FAA wajib hukumnya sebagai best practice untuk menggaransi keselamatan penerbangan, baik lokal maupun internasional.
“Karena FAA adalah sertifikasi yang paling terpercaya. Apalagi, kalau N219 nantinya mau diarahkan ke pasar luar negeri. Kalau tidak ada sertifikasi FAA, biasanya asuransi di luar negeri tidak mau menerima [penjaminan keselamatan penumpang],” ujarnya kepada Tirto.
Menurutnya, sertifikasi FAA tetap dibutuhkan oleh N219 meskipun pangsa pasar prioritasnya adalah pasar dalam negeri. Ia juga menyadari bahwa apabila N219 mengantongi FAA, waktu pemasaran mulai 2019 akan kembali molor.
“Mau tidak mau, konsekuensinya jadi molor. Karena proses sertifikasi FAA itu juga makan waktu. Proses sertifikasi tipe dari Kemenhub saja ditargetkan selesai 2019, berarti harus ada tambahan waktu lagi untuk sertifikasi FAA,” tegasnya.
Perjalanan N219 memang masih panjang. Kondisi dan situasi saat ini memang berbeda jauh saat N250 sebatas sukses uji terbang. Pesawat N219 untuk bisa sukses dipasarkan butuh pembuktian dan waktu.
Penulis: Ringkang Gumiwang
Editor: Ringkang Gumiwang