Menuju konten utama

Jalan Panjang Mahasiswa Unkhair Memperjuangkan Hak Membela Papua

Mahasiswa Unkhair mempertahankan hak kebebasan berekspresi di kampus sendiri dengan berbagai cara. Dari mulai mogok makan hingga menuntut ke pengadilan.

Jalan Panjang Mahasiswa Unkhair Memperjuangkan Hak Membela Papua
Massa aksi yang terdiri dari puluhan mahasiswa Papua dan Papua Barat menggelar aksi unjuk rasa di depan Istana Merdeka, Jakarta Pusat pada Rabu (28/8/2019). tirto.id/Alfian Putra Abdi

tirto.id - Semestinya Fahyudi Kabir sedang sibuk mengerjakan skripsi saat ini. Namun tenaganya malah tercurahkan untuk menggugat kampusnya sendiri, Universitas Khairun (Unkhair) Maluku Utara, di Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) Ambon. Fahyudi menggugat SK DO bernomor 1860/UN44/KP/2019 yang memutuskan ia dikeluarkan dari kampus (drop out).

Yudi, demikian ia biasa dipanggil, tidak menggugat sendirian. Ia maju ke pengadilan bersama tiga kawan lain yang bernasib sama dan karena alasan yang sama: dikeluarkan karena terlibat dalam demonstrasi Papua bersama Front Rakyat Indonesia-West Papua (FRI-WP) di depan Universitas Muhammadiyah Maluku Utara (UMMU) pada 2 Desember 2019.

Laman forlap.ristekdikti.go.id mencatat mereka dikeluarkan pada 12 Desember 2019.

Yudi adalah mahasiswa dari Prodi Elektro Fakultas Teknik semester 11. Tiga mahasiswa lain yang juga dikeluarkan adalah Arbi M Nur (Prodi Kimia Fakultas Teknik), Ikra S Alkatiri (Prodi PPKn Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan), serta Fahrul Abdullah dari Prodi Kehutanan Fakultas Pertanian.

Pada Selasa (29/9/2020) lalu PTUN Ambon menolak secara keseluruhan gugatan mereka--dengan nomor perkara 8/9/10/11/G/2020/PTUN.ABN. Bahkan, keempatnya harus membayar biaya perkara sebesar Rp 565 ribu.

Tapi kekalahan di PTUN Ambon bukanlah akhir. Yudi dkk akan mengajukan banding ke Pengadilan Tinggi Tata Usaha Negara (PTTUN) Makassar.

Yudi menganggap urusan akademik yang kembali ditunda untuk sementara waktu adalah konsekuensi dari perjuangan. Satu hal yang ia garis bawahi: tidak akan tinggal diam saat kampus memberangus hak berpendapat mahasiswa.

“Jangan sampai dirasakan kawan lain; jangan ada lagi kawan yang memperjuangkan Papua tapi di-DO kampusnya,” ujar Yudi kepada reporter Tirto, Rabu (30/9/2020).

Pengacara Yudi dkk, Al Walid Muhammad, menilai majelis hakim keliru memberikan vonis. Bahkan para hakim sempat berbeda pendapat soal kewenangan, prosedur, dan substansi perkara--dissenting opinion.

“Beda pendapat itu bahkan dituangkan dalam isi putusan. Ini sesuatu yang tidak biasa untuk penanganan perkara di tingkat PTUN,” ujar Walid, Rabu.

Upaya-Upaya Sebelum ke Pengadilan

Arbi M. Nur mengatakan ia dan tiga kawan lain tidak pernah dipanggil oleh rektorat. Oleh karena itu ia menilai keputusan kampusnya cacat prosedural.

Rektor Unkhair Husen Alting menerbitkan SK DO pada 12 Desember 2019. Arbi bilang ia tak pernah tahu kabar itu sampai diberitakan oleh Kultura, Lembaga Pers Mahasiswa di Fakultas Pertanian Unkhair, pada 26 Desember 2019.

Arbi dan kawan-kawan lantas berusaha mengklarifikasi pemberitaan tersebut ke rektorat, namun tak berhasil.

Tak mendapakan jawaban dari Rektor Husen, pada 30 Desember 2019 mereka memutuskan mengadakan demonstrasi di depan Rektorat Unkhair bersama Solidaritas Peduli Demokrasi Kampus (SPDK)--aliansi mahasiswa se-Maluku Utara. Selain menuntut SK DO dicabut tanpa syarat, aliansi juga meminta kampus berhenti mengakomodasi kepentingan Polres Ternate; berhenti mengintervensi hak politik mahasiswa di luar kampus; dan berhenti mengintimidasi mahasiswa yang menggelar mimbar bebas--semacam demonstrasi--di dalam kampus.

Setelah demonstrasi berjalan sekitar dua jam, alih-alih ditemui pihak rektorat, mahasiswa justru dibubarkan satuan pengamanan kampus yang dibantu warga sekitar. Spanduk aksi dirampas, para mahasiswa dipukul, bahkan salah satu orator tersungkur dari mimbar karena didorong satpam. 10 orang luka-luka.

“Mereka kalah jumlah, tapi mereka gunakan otoritas. Kami tidak bisa menyerang balik. Kami berupaya agar aksi tetap damai,” ujar Arbi kepada reporter Tirto, Rabu.

Yudi, Arbi, Ikra, dan Fahrul bersama pendamping hukum kembali mencoba menemui Rektor Husen pada 6 Januari 2020. Lagi-lagi gagal. Mereka hanya bertemu dengan Wakil Rektor III Bidang Kemahasiswaan Kerja Sama & Alumni Syawal Abdulajit.

Arbi ingat dalam forum itu Syawal mengatakan SK DO sudah sah dan jika mau dipersoalkan hanya bisa melalui jalur hukum. Para mahasiswa bersikeras persoalan DO harus diselesaikan secara internal.

(Dalam laporan Kultura, Syawal mengatakan alasan mengeluarkan mahasiswa karena mereka melakukan makar dan berupaya memecah belah NKRI).

Tidak adanya titik temu membuat para mahasiswa kembali memutar otak untuk menekan kampus. Kali ini mereka memanfaatkan seminar nasional di Unkhair pada 8 Januari 2020 yang dihadiri Rocky Gerung, seorang komentator politik yang cukup terkenal, dengan kembali menggelar unjuk rasa.

Mereka masuk ke arena diskusi dengan membawa poster bertuliskan: “Saya Korban DO Sepihak.”

Rocky memberikan mereka dukungan moril. Mantan dosen Filsafat Universitas Indonesia (UI) itu bergabung dan memberikan sepatah-dua patah kata kepada massa aksi di luar gedung seminar.

Namun situasi tidak juga berubah. Karena itu aksi selanjutnya yang mereka rancang lebih 'keras': mogok makan selama 5 hari.

Setelah itu barulah Rektor Husen meminta Yudi, Ikra, dan Fahrul untuk membuat surat permohonan pencabutan SK DO. Tapi hal serupa tidak berlaku untuk Arbi karena ia dituding sebagai biang kerok aksi 2 Desember.

“Kami buat saja empat surat permohonan. Kalau hanya tiga sama saja mengakui yang kami lakukan 2 Desember itu salah,” ujar Arbi.

Surat terkirim pada 17 Februari 2020 dan tidak pernah menuai hasil apa pun. Mereka sempat mempertanyakan kelanjutan surat tersebut. Kampus berdalih sedang mempertimbangkan pendapat Senat.

Karena merasa digantung, mereka mendaftarkan gugatan ke PTUN Ambon pada 6 April 2020.

Aksi 2 Desember Juga Berujung Represi

Jika di kampus pelaku intimidasi adalah satpam dan warga, pada demonstrasi menuntut hak menentukan nasib sendiri Papua 2 Desember aktor kekerasannya adalah Polisi dan TNI. Tanpa mengutamakan dialog, massa dibubarkan paksa.

Yudi mendaku dikeroyok TNI dan polisi “sampai pelipis mata kanan pecah.” Sementara Arbi mendaku ditelanjangi hingga hanya mengenakan celana pendek saja. Ia tak bisa melawan “karena sudah tak berdaya, sudah digebukin polisi dan TNI.”

Mereka berdua, juga Ikra, Fahrul, dan enam mahasiswa beda kampus dibawa ke Polres Ternate dan baru dipulangnya sehari kemudian.

Kapolres Ternate AKBP Aditya Laksimada mengatakan kepada reporter Tirto pada 20 Juli bahwa massa aksi disangkakan pasal makar (Pasal 106 KUHP dan/atau Pasal 160 KUHP). Polisi pulalah yang mengadukan para mahasiswa ke Unkhair--yang kemudian menjadi alasan rektorat mengeluarkan SK DO.

Yudi berang ketika mengetahui disangkakan pasal makar. Ia tidak merasa sedang berupaya menyerang kekuasaan Presiden Joko Widodo. “Kami kan hanya menyampaikan pendapat di muka umum. Itu diatur dalam UU. Kami cuma membawa megafon dan bendera. Bukan menentang pemerintah Indonesia.”

Arbi bilang sampai saat ini kasus mereka masih menggantung di kepolisian. Ia dan para mahasiswa yang ditangkap belum dimintai keterangan lebih lanjut.

“Belum dinaikkan jadi perkara. Saya belum dimintai keterangan,” katanya.

Alasan Kemanusiaan

Arbi mengatakan semestinya kampus menjadi tempat pembelajaran segala wacana, gagasan, dan ideologi yang aman. Kampus juga semestinya menghormati cara mahasiswa mengaplikasikan hasil belajar, termasuk dengan turun ke jalan.

“Itu, kan, hasil dari yang kami pelajari. Kami belajar tentang Papua dan buruknya demokrasi di sana, lalu protes negara. Tapi dijawab kampus dengan sanksi,” katanya.

Arbi berkenalan dengan isu Papua dari luar kampus. Ia mengunduh pengetahuan dari berbagai komunitas dan organisasi, salah satunya FRI-WP. Dari sana ia tahu ada persoalan besar di Papua. Ada masalah soal militerisme, rasisme, dan eksploitasi sumber daya alam. Ia tak sepakat dengan itu semua. Belum lagi soal integrasi Papua ke Indonesia yang berdarah-darah dan penuh manipulasi.

“Selain daripada sejarah [Papua] yang dimanipulasi, sejak 1961 sampai sekarang, masih saja orang-orang Papua menjadi korban kekerasan militer,” katanya. “Ini soal kemanusiaan,” tambahnya.

Nilai-nilai kemanusiaan juga yang mempersatukan Arbi dan Yudi. Yudi mengatakan nilai itulah yang membuatnya memperjuangkan Papua yang lebih baik. Ia mendambakan pelanggaran HAM dan eksploitasi SDA di Papua bisa segera berakhir.

“Kalau terus dibiarkan maka orang Papua akan diperlakukan seenaknya,” katanya.

Pendapatnya soal Unkhair pun serupa. Menurutnya sikap kampus yang otoriter akan membuat para mahasiswa kehilangan sensitivitas terhadap persoalan-persoalan di Indonesia; membuat mahasiswa tidak mampu berpikir kritis.

“Harusnya kampus bersyukur [ada] orang-orang yang punya kapasitas atau yang menunjukkan bahwa perbedaan pendapat itu hal yang wajar […] karena kebebasan pendapat dan berpikir diatur dalam UU kita,” kata Yudi.

Baca juga artikel terkait PAPUA atau tulisan lainnya dari Alfian Putra Abdi

tirto.id - Sosial budaya
Reporter: Alfian Putra Abdi
Penulis: Alfian Putra Abdi
Editor: Rio Apinino