tirto.id - Jaksa Agung Sanitiar Burhanuddin mengklaim kasus pelanggaran hak asasi manusia (HAM) berat sudah naik ke tahap penyidikan. Hal itu guna menyempurnakan hasil penyelidikan oleh Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM).
"Saya yakin kebijakan ini akan memecah kebuntuan, dan menuntaskan perkara HAM yang menjadi tunggakan selama ini," ujar Burhanuddin dalam keterangan tertulis, Jumat (26/11/2021).
Burhanuddin optimistis dalam penuntasan perkara dugaan pelanggaran HAM berat tersebut. Akan tetapi, ia tak merinci kasus pelanggaran HAM berat apa saja yang ditingkatkan ke tahap penyidikan.
Menurut Burhanuddin, penuntasan dugaan pelanggaran HAM berat seolah berhenti dan tidak ada kejelasan akibat adanya kebuntuan persepsi antara penyelidik Komnas HAM dengan penyidik kejaksaan.
Ia bilang hasil penyelidikan oleh Komnas HAM belum sempurna untuk ditingkatkan ke tahap penyidikan. Kemudian petunjuk penyidik kejaksaan agar terpenuhinya amanat undang-undang tidak pernah dipenuhi, sehingga penanganan perkara tersebut menjadi berlarut-larut.
Burhanuddin menilai penyelidikan Komnas HAM belum memiliki alat bukti yang cukup untuk menduga bahwa seseorang berdasarkan suatu peristiwa atau keadaan adalah sebagai pelaku kejahatan HAM berat.
Selain itu, penyelidik juga belum memeriksa saksi kunci dan menemukan dokumen yang diharapkan dapat menjelaskan unsur kejahatan terhadap kemanusiaan dan unsur serangan yang meluas atau sistematik sebagaimana dimaksud Pasal 9 Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan Hak Asasi Manusia.
"Oleh karena itu, untuk memberikan kepastian dan keadilan, serta mengatasi kebuntuan yang terjadi, maka saya sebagai Jaksa Agung, selaku penyidik HAM berat mengambil kebijakan penting, yaitu tindakan hukum untuk melakukan penyidikan umum perkara pelanggaran HAM berat masa kini guna menyempurnakan hasil penyelidikan Komnas HAM," kata Burhanuddin.
Komnas HAM menyampaikan total 13 kasus pelanggaran HAM berat kepada pemerintah. Menko Polhukam Mahfud MD mengatakan 4 kasus pelanggaran HAM berat terjadi setelah tahun 2000, sementara 9 perkara lainnya terjadi sebelum pembentukan Undang-Undang HAM.
Editor: Gilang Ramadhan