Menuju konten utama

Inkonsistensi Kebijakan Jokowi dalam Sepotong Kerupuk

Pelaku usaha besar dalam negeri bisa menggarap bisnis yang selama ini digarap UMKM, yaitu kerupuk dan sejenisnya. Pemerintah dianggap tak konsisten.

Inkonsistensi Kebijakan Jokowi dalam Sepotong Kerupuk
Pekerja menata hasil cetakan kerupuk putih di Pabrik Kerupuk Pasundan, Depok, Jawa Barat, Kamis (24/9/2020). ANTARA FOTO/Asprilla Dwi Adha/nz

tirto.id - Poin yang dianggap bermasalah dari Peraturan Presiden Nomor 10 Tahun 2021 terkait pembukaan investasi baru tak hanya soal minuman keras--yang baru saja dicabut Presiden Joko Widodo. Peraturan ini juga memungkinkan pemain besar masuk ke industri yang secara tradisional telah lama digarap UMKM.

Dalam lampiran III nomor 43, disebutkan bahwa industri kerupuk, keripik, peyek, dan sejenisnya (pabrikan dan nonpabrikan) masuk dalam bidang usaha yang dapat diusahakan oleh semua penanam modal termasuk koperasi dan UMKM dengan persyaratan tertentu. Syaratnya adalah penanaman modal dalam negeri (PMDN) 100 persen alias tertutup bagi investasi asing.

Sebagai pembanding, dalam peraturan sebelumnya Perpres 44/2016, industri kerupuk, keripik, peyek, dan sejenisnya digolongkan bidang usaha yang “dicadangkan untuk UMKMK” alias khusus hanya untuk UMKM, bukan industri besar.

Pengamat kebijakan publik dari Universitas Trisakti Trubus Rahadiansyah mengatakan kebijakan ini jelas mengancam eksistensi pelaku UMKM. “Malah membunuh yang kecil-kecil. Yang kecil akan kalah saing dan akhirnya mati, padahal makanan kecil kayak rempeyek itu hidup karena dikelola oleh masyarakat,” kata dia kepada reporter Tirto, Rabu (3/3/2021).

Senada dengan Trubus, Kepala Center of Industry, Trade and Investment Institute for Development of Economics and Finance (Indef) Andry Satrio Nugroho mengatakan “bisnis-bisnis ini harusnya tetap berada di level UMKM.” Tidak seharusnya usaha yang biasa digarap UMKM juga diperbolehkan digarap pemain besar sebab “dari sisi distribusi, packaging, dan bahkan harga, UMKM pasti akan kalah bersaing.”

“Ini sama saja membunuh UMKM perlahan,” kata dia kepada reporter Tirto, Rabu.

Menurutnya, yang seharusnya dilakukan pemerintah adalah memacu “kemitraan antara korporasi dengan UMKM untuk bisnis di sektor ini sehingga dari sisi kualitas dan kemampuan UMKM bisa meningkat,” bukan mengizinkan mereka masuk begitu saja dan mengambil pasar masyarakat.

Maka tak hanya poin soal miras, seharusnya secara keseluruhan lampiran dalam aturan ini “dikaji kembali, apa manfaat dan apa dampak negatif yang dapat diberikan bagi UMKM.”

Andry menilai perpres ini juga kontradiktif dengan kebijakan pemerintah lain, yaitu menstimulus dan mendorong perbaikan ekonomi di kelas UMKM yang jumlahnya 64,2 juta terutama di masa pandemi. Tahun ini anggaran yang disiapkan untuk bantuan UMKM mencapai Rp17,34 triliun, sementara tahun lalu Rp 28,9 triliun.

“Kalau seperti ini kan bisa jadi korporasi mengambil semua,” kata Andry.

Wakil Ketua Dewan Pertimbangan Kamar Dagang dan Industri (Kadin) DKI Jakarta Sarman Simanjorang mengatakan posisi pengusaha besar dalam peraturan yang menyasar hingga ke kelas rempeyek ini belum jelas. “46 sektor usaha yang didominasi oleh UMKM ternyata boleh dimasuki oleh pemodal besar. Apakah tujuannya murni begitu, atau skemanya kewajiban memberdayakan UMKM yang ada? Ini belum jelas posisi pengusaha,” katanya kepada reporter Tirto, Rabu.

Menurutnya, kebijakan ini bisa punya sisi positif kalau korporasi besar diposisikan sebagai agregator.

Harus diakui bahwa selama ini UMKM sulit berkembang karena kapasitas permodalan terbatas. Pelaku UMKM umumnya jadi sulit mencapai titik produksi yang efisien. Sebab, dalam hal memperoleh bahan baku, makin sedikit volume yang dibeli biaya yang harus dikeluarkan jadi lebih mahal.

Belum lagi terbatasnya modal membuat UMKM sulit melakukan promosi dan pemasaran. UMKM juga umumnya terkendala dari sisi standardisasi produk hingga pengemasan. Semua kondisi ini yang membuat produk UMKM kalah saing.

Dengan masuknya korporasi besar sebagai agregator UMKM, bukan tidak mungkin kendala-kendala di atas bisa diatasi. “Kalau tujuannya untuk memberdayakan, menggandeng, itu lebih baik. Misalnya, UMKM ini diminta dibuat peyek dengan standar, nanti mereka bisa pakai merek mereka,” sambungnya.

Sebaliknya, jika bukan skema itu yang dijalankan dan korporasi besar dibiarkan benar-benar masuk sendirian, maka nasib UMKM memang akan semakin terjepit. “Kalau skemanya enggak kolaborasi akan mematikan UMKM. Hal ini yang harus disampaikan, jangan bikin salah presepsi,” tandasnya.

Jubir BKPM Tina Talisa belum bisa menanggapi komentar-komentar di atas karena ada kemungkinan regulasi ini berubah lagi.

“Saat ini pemerintah tengah merumuskan penyesuaian. Sangat dimungkinkan ada penyesuaian-penyesuaian lain di luar poin 31, 32, 33 lampiran III (soal miras). Izinkan kami menyampaikan informasinya setelah revisi,” katanya kepada reporter Tirto, Jumat.

Baca juga artikel terkait UMKM atau tulisan lainnya dari Selfie Miftahul Jannah

tirto.id - Ekonomi
Reporter: Selfie Miftahul Jannah
Penulis: Selfie Miftahul Jannah
Editor: Rio Apinino