tirto.id - Sandang merupakan salah satu kebutuhan mendasar manusia. Sebagian orang bahkan memandang pakaian sebagai bagian dari tren fesyen yang perlu diikuti agar tidak ketinggalan zaman.
Tak heran, garmen berkontribusi hingga mencapai 5,4 persen terhadap Produk Domestik Bruto (PDB) Indonesia pada 2019, mengutip Kementerian Perindustrian. Industri ini pun menjadi penyedia lapangan kerja yang penting bagi pekerja di Indonesia, khususnya pekerja perempuan. Menurut data program Better Work yang diinisiasi oleh Organisasi Buruh Internasional (ILO) dan Korporasi Keuangan Internasional (IFC), bagian dari Bank Dunia (WB), pekerja perempuan meliputi 90 persen tenaga kerja di industri garmen Indonesia.
Berdasarkan dokumen ILO yang diterima Tirto pula, industri garmen mencakup lebih dari 2.000 perusahaan dan 2 juta pekerja yang bergantung pada pasar ekspor. Organisasi Perserikatan Bangsa-Bangsa ini juga menyebut bahwa industri tekstil dan garmen merupakan ketiga terbesar di sektor pengolahan di Indonesia.
Namun, pandemi COVID mengancam industri garmen Indonesia sejak tahun lalu. Bagaimana tantangan kelangsungan industri ini sejak awal pandemi, dan apa dampaknya terhadap para pekerja? Bagaimana pemerintah membantu industri garmen dan para pekerjanya? Lalu apa yang sebaiknya dilakukan pemerintah untuk memulihkan industri garmen dari krisis COVID-19?
Pukulan Terdalam?
Survei Bank Indonesia menunjukkan bahwa penjualan eceran sandang mengalami pukulan terdalam dibanding kelompok lain selama periode Februari-Desember 2020, tercermin dari Indeks Penjualan Ritel (IPR). Hal ini seiring pengumuman pemerintah terkait kasus COVID-19 pertama di Indonesia pada 2 Maret 2020.
Kajian Indonesia Eximbank Institute pada Januari 2021 menyebut penurunan IPR di beberapa sub-kelompok barang, termasuk pakaian, pada Desember 2020 disebabkan oleh belum meningkatnya aktivitas konsumsi. Pasalnya, masyarakat cenderung memprioritaskan belanja kebutuhan dasar.Sementara dari sisi industri, data Badan Pusat Statistik (BPS) pada kuartal IV 2020 menunjukkan bahwa laju pertumbuhan industri tekstil dan pakaian jadi memang turun 10,49 persen secara tahunan. Hal ini sedikit membaik di data terakhir kuartal III 2021, yang menunjukkan laju pertumbuhan industri tersebut menunjukkan penurunan 3,34 persen dibanding periode yang sama tahun sebelumnya.
Sementara itu, Chief of Technical Advisor Better Work Indonesia Programme dari ILO, Maria Vasquez, mengatakan kepada Tirto, Jumat (3/12/2021), bahwa pembatasan mobilitas di dalam negeri dan secara global memukul keras industri garmen karena industri ini sangat bergantung pada bahan baku impor dan pasar ekspor.Vasquez menyebut data bahwa sekitar 70 persen dari total produksi garmen di Indonesia diekspor. Data BPS menunjukkan bahwa kebanyakan ekspor pakaian jadi ini dikirim ke Amerika Serikat (AS), Jepang, Jerman, dan Korea Selatan, meski nilainya turun secara keseluruhan pada tahun 2020 dibanding 2019.
Nilai ekspor pakaian jadi ke Amerika Serikat, misalnya, turun sebesar 20,75 persen dari 3,71 miliar dolar AS tahun 2019 menjadi 2,94 miliar dolar AS di tahun 2020.
Menurut laporan ILO pada Oktober 2020, perdagangan garmen global kolaps pada 6 bulan pertama 2020 akibat pandemi COVID-19. Impor dari negara-negara Asia di negara-negara pembeli turun sebesar 70 persen.
Indonesia Eximbank melalui keterangan persnya pada 15 September 2021 mencatat bahwa dari ekspor tekstil dan produk tekstil (TPT) pada 2020 turun sebesar 17,7 persen dari tahun sebelumnya menjadi sebesar 10,5 miliar dolar AS. Kontribusi penurunan terbesar berasal dari penurunan ekspor pakaian jadi, sebesar 15,1 persen year-on-year, karena pakaian jadi memiliki porsi 66 persen dari total ekspor TPT Indonesia.Akibatnya, Vasquez menyebut pula Asosiasi Pertekstilan Indonesia (API) yang melaporkan bahwa 80 persen perusahaan TPT di Tanah Air menghentikan sementara operasionalnya pada April 2020. Senada, survei Better Work Indonesia (BWI) sepanjang Maret-Mei 2020 menunjukkan, sekitar 70 persen pabrik anggota BWI tutup selama kurang dari satu bulan.
ILO memperkirakan, hari kerja yang hilang telah menyebabkan kerugian atau penundaan bisnis sebesar 70 juta dolar AS di antara pabrik-pabrik yang disurvei.
Direktur Program Institute for Development of Economics and Finance (INDEF) Esa Suryaningrum mengatakan kepada Tirto, Kamis (2/12/2021), industri tekstil memiliki permasalahan fundamental yang dialami sebelum pandemi seperti terbatasnya tingkat pendidikan pekerja, rendahnya kapasitas produksi serta ketergantungan bahan baku impor. Permasalahan tersebut memperparah efek pandemi terhadap industri garmen.
“Itu kan masalah sudah kronis. Ibarat penyakit kronis, dia ketika di-trigger sama pandemi, sudah habis,” kata Esa.
Pekerja Kena Getahnya?
Terpukulnya industri garmen pun mengancam pekerjanya. Vasquez mengatakan, pabrik-pabrik garmen terpaksa melakukan pemutusan hubungan kerja (PHK), memberi cuti, mengurangi jam kerja, tidak memperpanjang kontrak, dan memotong upah di tengah krisis pandemi COVID-19.
Sejak awal pandemi, lebih dari 162 pabrik garmen berorientasi ekspor yang terdaftar di Better Work ILO harus tutup sementara serta pengurangan waktu kerja, hari, atau upah untuk jangka waktu tertentu karena pembatasan COVID-19 atau pembatalan pesanan dari pembeli. Per 7 Mei 2021, lebih dari 237.216 pekerja terkena dampaknya, sementara 22.840 orang kehilangan pekerjaan, menurut ILO.
“Pekerja yang dirumahkan harus menanggung pengurangan upah, sementara beberapa pemberi kerja telah menggunakan no work, no pay yang sangat merugikan sumber pendapatan utama pekerja,” ungkap Vasquez.
Pembayaran upah minimum juga terpukul karena banyak pabrik menghadapi kesulitan keuangan, jelas Vasquez. Selama Idul Fitri, Tunjangan Hari Raya (THR) pun menyebabkan ketegangan yang tinggi antara pekerja dan manajemen karena pengelola pabrik masih mengusahakan untuk membayar THR kepada pekerja secara tepat waktu dan penuh.
Menilik data BPS, proporsi pekerja pakaian jadi terhadap seluruh angkatan kerja di Indonesia jatuh ke titik terendah sejak 2015 pada tahun 2020, yakni menjadi hanya sebesar 1,81 persen. Padahal, sektor pakaian jadi secara konsisten menjadi subsektor industri pengolahan yang memiliki proporsi tenaga kerja kedua terbesar sejak 2015.
Data BPS yang diolah Katadata menunjukkan pula bahwa pekerja sektor industri yang mengalami PHK per Agustus 2020, dibanding periode yang sama tahun 2019, paling banyak berasal dari industri pakaian jadi, yakni sebesar 351,4 ribu orang. Angka ini sekitar 20 persen dari 1,7 juta tenaga kerja di sektor industri yang terkena PHK antara Agustus 2019 dan Agustus 2020.Anhar Saepul Anwar, seorang pekerja di salah satu pabrik topi di Bandung Barat, Jawa Barat, menjadi saksi. Ia mengatakan kepada Tirto, Rabu (1/12/2021) bahwa pabrik tempat ia bekerja melakukan PHK terhadap sekitar 700 orang pada pertengahan 2020 dengan 2 kali ketentuan pesangon. Sebagai contoh, jika pekerja bekerja selama 5 tahun, maka pekerja tersebut mendapatkan upah sebesar 10 bulan gaji.
Ia mengatakan, perusahaan melakukan PHK karena pandemi COVID-19 adalah force majeure atau kondisi di luar dugaan. Ia pun bercerita bahwa pemesanan topi sedang turun-turunnya pada saat itu karena ekspor diberhentikan dari jalur laut, sehingga pemesanannya pun terhambat.
PHK tersebut mempersulit keberlangsungan hidup para pekerja, terutama yang memiliki keluarga, cerita Anhar. Nur Aisah Putri, salah satu rekan kerjanya, mengatakan bahwa ia sangat kaget dan kecewa saat mendengar pengumuman PHK tersebut.
"Karena saya harus pikir panjang akan hal itu, bagaimana ke depannya. Apakah saya harus mencari pekerjaan baru atau mulai berbisnis kecil? Sedangkan yang kudengar banyak dari pabrik lain juga [karyawannya] ter-PHK juga," cerita Aisah.
Penyelewengan dalam industri garmen bukanlah hal baru. Pada 8 Juni 2018, Tirto merangkum beberpa penelitian yang melaporkan bahwa sejumlah perusahaan memotong gaji seenaknya, melarang dibentuknya serikat pekerja, dan melakukan PHK kepada karyawan yang sedang mengandung. Kekerasan seksual dan pelecehan verbal serta nonverbal terhadap pekerja perempuan pun kerap terjadi, termasuk di Indonesia.
Perlindungan Industri Garmen?
Pemerintah pada 12 Juni 2020 mengumumkan akan memberikan pengamanan atau safeguard untuk menjaga pasar garmen di dalam negeri seiring peningkatan impor di sektor ini dalam tiga tahun terakhir, jelas Direktur Jenderal Industri Kecil, Menengah, dan Aneka Kementerian Perindustrian, Gati Wibawaningsih, mengutip siaran pers.
Siaran pers tersebut mengutip data BPS yang menunjukkan bahwa angka impor produk garmen mencapai 2,38 miliar dolar Amerika Serikat (AS) pada periode 2017-2019. Ia mengatakan bahwa perlindungan terhadap industri garmen harus segera dilakukan, mengingat kontribusi sektor tersebut kepada PDB cukup besar.
“Tingginya angka impor di sektor ini merupakan hal yang harus disikapi secara serius oleh Kemenperin. Impor yang tinggi ini dapat menutup potensi pasar dalam negeri karena produk-produk impor tersebut harganya relatif murah,” ungkap Gati.
Pemerintah mendukung pula kerja sama antara industri kecil dan menengah (IKM) dan industri besar agar industri besar dapat memberikan kemudahan akses bahan baku kepada IKM garmen. Pemerintah akan menjajaki upaya lainnya setelah penerapan safeguard, seperti pelatihan Sumber Daya Manusia dan modernisasi mesin dan peralatan, ujar Gati.
Mengutip keterangan tertulis ILO kepada Tirto, skema stimulus pemerintah lainnya terkait hal ini adalah kartu prakerja, kebijakan keringanan pajak yang menargetkan sektor pengolahan dan kebijakan keringanan kredit. Sepanjang 2020, Kemenaker juga mengeluarkan tiga surat edaran yang mengatur tentang penyesuaian upah, THR, dan upah minimum provinsi selama pandemi COVID-19.
Teranyar, Kementerian Ketenagakerjaan mengeluarkan Peraturan Menteri Ketenagakerjaan Nomor 2 Tahun 2021 pada Februari 2021 yang memungkinkan perusahaan di industri padat karya, yang terkena dampak pandemi COVID-19, termasuk sektor tekstil dan garmen, untuk menyesuaikan upah pekerja hingga Desember 2021 melalui kesepakatan tertulis antara pekerja dan perusahaan.
Kementerian Ketenagakerjaan pada 2020 juga menyelenggarakan pelatihan bagi pemuda dalam mengembangkan keahlian dan kompetensi yang dimiliki sehingga dapat menjadi bekal dalam memasuki dunia kerja, mengutip laporannya. Dari 24 kejuruan, garmen apparel (pakaian) yang paling banyak dilatih.
Cara Membantu Industri Garmen?
Di tengah sejumlah kebijakan ini, Vasquez dari ILO mengatakan bahwa kebijakan di tengah pandemi kurang mengatur dan memberikan ruang bagi pekerja dan pengusaha untuk menyelesaikan masalah dan mencapai kesepakatan. Masalahnya, dialog sosial yang seringkali dipakai untuk menyelesaikan masalah digunakan pula untuk menurunkan standar dan hak hukum, seperti menyesuaikan upah dengan upah minimum setempat.
Selain itu, Vasquez menegaskan pentingnya penyetaraan antara pemasok (pabrik) dengan pembeli (merek-merek atau pengecer/retailer). Selama tiga dekade terakhir, pembeli menekankan kepada pemasok untuk melakukan perilaku bisnis yang "bertanggung jawab" di industri garmen, namun timbal baliknya seringkali tidak setara.
"Pandemi COVID-19 telah mengekspos celah, terutama dari sisi pembeli, dalam rantai pasokan garmen global," ungkapnya. "Para pekerja, yang berada di posisi paling bawah dari rantai tersebut, adalah yang paling terpukul oleh kejatuhan tersebut."
Ia juga mendorong perubahan sistemik yang memusatkan pekerja dan serikat pekerjanya dalam upaya pementauan rantai pasokan global dan reaksi industri ketika krisis seperti COVID-19 melanda.
Esa dari INDEF juga menanggapi bahwa kebijakan safeguard pemerintah merupakan langkah baik untuk menolong industri garmen, tetapi tak bisa dilakukan terus-terusan. Ia mengusulkan kepada pemerintah untuk “memanggil” investor untuk mengembangkan sektor menengah atau intermediate yang menjadi jurang selama ini antara sektor hulu dan hilir tekstil di Indonesia.
Dengan upaya tersebut, ia berharap industri tekstil bisa mendapatkan bahan baku sektor menengah dari dalam negeri, sehingga bisa meringankan biaya produksinya. Selain itu, ia juga mendorong pemerintah untuk meningkatkan tingkat pendidikan pekerja garmen, sehingga mereka tidak perlu bergantung pada satu industri saja di kala ada krisis ekonomi.
“Untuk menyelamatkan mereka (pekerja) ya tentunya harusnya membantu industri dulu ya. Kalau sumber penghidupannya itu masih terus bisa dipertahankan ya mereka juga baik-baik saja, tetapi kalau sumber penghidupannya mati ya akan mati,” ujar Esa.
Senada, Ketua Asosiasi Pertekstilan Indonesia (API) Jemmy Kartiwa Sastraatmaja kepada Tirto, Kamis (2/12/2021) mengatakan bahwa subsidi dan insentif hanyalah solusi sesaat. Ia mengatakan, masalah utama semua industri TPT adalah tingginya freight (kargo atau pengapalan) dibandingkan sebelum pandemi serta ketergantungan bahan baku dari China.
Oleh karena itu, ia berharap kementerian-kementerian akan terus melanjutkan kebijakan yang mendorong rantai pasok di Indonesia, termasuk kebijakan substitusi impor Kementerian Perindustrian. Mengutip siaran pers, pemerintah menargetkan substitusi impor sebesar 35 persen pada 2022, termasuk industri tekstil.
“Sudah saat nya kita bangun Indonesia supply chain, sehingga bahan baku kain untuk ekspor industri garmen bisa di-supply dari dalam negeri, sehingga lead timenya (waktu tenggang) juga bisa diperpendek,” ungkap Jemmy.
Sudah Membaik?
Pada September 2020, keadaan di pabrik telah berubah karena permintaan kembali, menurut Vasquez. Pesanan telah meningkat dan sebagian besar pabrik berproduksi pada 60 persen hingga kapasitas penuh.
Akibatnya, jumlah keseluruhan pekerja yang cuti telah menurun secara signifikan. Pabrik-pabrik juga dilaporkan merekrut kembali pekerjanya, kata Vasquez.
"Namun, bisnis masih dianggap tidak stabil dan terpukul keras oleh gelombang kedua COVID-19 dan langkah-langkah PPKM [Pemberlakuan Pembatasan Kegiatan Masyarakat]. Pendapatan pekerja belum sepenuhnya pulih," tegasnya.
Jemmy dari API juga menjelaskan bahwa pasca PPKM pada bulan September-Oktober 2021, utilisasi TPT sdh membaik. Ia mengklaim bahwa utilisasi TPT sudah mencapai di atas 70 persen. Karyawan yang dirumahkan pada saat PPKM pun sudah dipekerjakan kembali, kata Jemmy.
Kondisi yang membaik ini dirasakan pula oleh Anhar. Pada 14 September 2020 tempat kerjanya menerima kembali pekerja-pekerja yang di-PHK. Hal ini untuk menepati kesepakatan bersama antara perusahaan dan anggota serikat bahwa perusahaan harus merekrut pekerja yang terkena PHK jika kondisi membaik.
Pemesanan bahkan semakin banyak dari 14 September 2021 sampai bulan April 2021, cerita Anhar, hingga pekerja harus kerja lembur. Setelah April 2021, kondisi kembali stabil hingga kenaikan pemesanan pada akhir tahun.
"Kalau ke depannya, harapan saya itu, ya mudah-mudahan order-nya tetap enggak turun. Kita normal tetap, kalau bisa ada lebih, jadi kita ada uang tambahan seperti uang lembur," jelas Anhar.
Editor: Farida Susanty