tirto.id - Bagaimana jadinya jika baju yang Anda kenakan ternyata menyimpan riwayat kekerasan yang dialami para pekerja di dalamnya?
Itulah yang kira-kira ditemukan aliansi LSM buruh dan HAM dalam laporannya yang dipublikasikan 28 Mei lalu. Laporan tersebut disusun berdasarkan hasil riset lapangan beberapa LSM seperti Asia Floor Wage Alliance (AFWA), CENTRAL Cambodia, Global Labor Justice, Sedane Labour Resource Centre (LIPS) Indonesia, dan Society for Labour and Development (SLD) India.
Dalam laporannya, mereka menyatakan pekerja garmen perempuan di pabrik dua jenama fesyen ternama, Gap dan H&M, cabang Asia kerap mengalami kekerasan seksual dan fisik akibat tuntutan target perusahaan. Tindak kekerasan ini meliputi pelecehan verbal, ancaman, sampai pemaksaan lembur. Kekerasan tak sebatas terjadi di lokasi kerja, tetapi juga di luar pabrik.
Global Labor Justice menegaskan ada faktor sistematis yang membuat pekerja perempuan seringkali jadi sasaran aksi kekerasan dalam mata rantai industri garmen. Faktor itu antara lain kontrak jangka pendek, target produksi dan jam kerja yang berlebih, pemenuhan upah yang minim, sampai ketidakamanan tempat kerja.
Lebih dari 540 pekerja di pabrik pemasok dua jenama tersebut menggambarkan pengalaman buruknya. Kejadian rata-rata terjadi selama Januari dan Mei 2018 di Bangladesh, Kamboja, India, Indonesia, dan Sri Lanka.
“[Ia berkata] kamu pelacur. Orang-orang di kastamu memang cocoknya disimpan di tempat sandal!” aku pekerja di Bangalore menceritakan ulang kekerasan verbal yang ia terima. Sebelum kalimat itu meluncur, ia terlebih dulu “dicengkeram rambutnya dan dipukul.”
Lalu, di pabrik pemasok H&M di Sri Lanka, pekerja perempuan berkata bahwa para pengawas tak ragu memarahi mereka apabila target kerja tidak terpenuhi. Sementara di Indonesia, pekerja garmen di pabrik pemasok Gap menyebut dirinya seringkali “disebut bodoh, diejek karena tidak bekerja lebih cepat, serta diancam pemutusan kontrak.”
Direktur CENTRAL Cambodia, Tola Moeun, yang juga aktif dalam penelitian ini mengungkapkan pelecehan merupakan kenyataan sehari-hari yang harus diterima pekerja garmen perempuan. Kekerasan tersebut, catat Moeun, adalah “produk tuntutan pemenuhan target yang tidak realistis dalam rantai pasok H&M dan Gap.”
Menanggapi laporan tersebut, Gap dan H&M menyatakan prihatin dan berkomitmen akan melakukan penyelidikan terlebih dahulu. Keduanya menegaskan segala tindak kekerasan yang dialami pekerjanya bertentangan dengan semangat perusahaan.
Bukan yang Pertama
Masalahnya komitmen para raksasa fesyen ini untuk menyelesaikan masalah yang menimpa para pekerja hanya sebatas lips service semata.
Fakta berbicara, segala kekerasan yang dialami pekerja garmen di pabrik pemasok jenama fesyen macam H&M maupun Gap itu bukanlah yang pertama terjadi. Riwayatnya panjang dan sampai sekarang belum ada inisiatif dari pihak perusahaan guna memperbaiki situasi.
Pada 2016, Asia Floor Wage Alliance membikin laporan yang menyatakan para pekerja garmen di pabrik penyuplai H&M di India dan Kamboja mengalami eksploitasi kerja. Laporan disusun dari observasi lapangan serta wawancara dengan 251 pekerja. Hasilnya seperti yang sudah dijelaskan di atas: praktik-praktik pelanggaran dalam standar perburuhan internasional marak terjadi.
Pelanggaran tersebut mencakup pemecatan terhadap pekerja perempuan yang hamil. Pekerja di 11 dari 12 pabrik di Kamboja mengaku menyaksikan atau mengalami PHK selama kehamilan. Sementara 50 pekerja di India mengatakan kepada para peneliti pemecatan di masa kehamilan merupakan “hal yang pasti dijumpai.”
Masalah lainnya adalah pelecehan seksual di tempat kerja. Menurut narasumber penelitian, pelecehan seksual adalah “hal yang biasa dijumpai.” Di Kamboja, pekerja di 9 dari 12 pabrik yang disurvei melaporkan pernah melihat atau bahkan mengalami pelecehan seksual di lokasi kerja.
Di saat bersamaan, para pekerja garmen juga menerima gaji yang rendah. Tingkat keselamatan kerja di pabrik pun setali tiga uang. Munculnya kedua hal itu disinyalir sebagai dampak dari kontrak jangka pendek (1-3 bulan) yang diberikan perusahaan pemasok ke para pekerja.
Karena sifat kontrak kerjanya hanya sebentar, maka perusahaan merasa tidak punya tanggung jawab lebih untuk memenuhi hak-hak pekerja. Saking tidak ada rasa tanggung jawabnya, perusahaan tidak sungkan untuk memecat mereka yang kedapatan menolak jatah lembur, terlambat kerja, hingga izin tidak masuk akibat sakit.
Para pekerja yang ingin menyuarakan tuntutannya pun seringkali harus gigit jari sebab pihak perusahaan, yang bekerjasama dengan polisi, merepresi serikat pekerja. Salah satu bentuk represinya adalah ancaman pemecatan.
“Semua [pelanggaran] ini, bagi saya, adalah bukti perlakuan yang tidak manusiawi terhadap para pekerja,” jelas Anannya Bhattacharjee, koordinator internasional AFWA. “Mereka semua terhubung oleh pengalaman teror, ketidakamanan kerja, serta rentan dieksploitasi.”
Setahun sebelumnya, laporan serupa juga dipublikasikan Human Rights Watch. Dalam laporannya, HRW menyebut bahwa kuat dugaan telah terjadi pelanggaran kerja di pabrik pemasok beberapa jenama fesyen kelas high-street maupun high-end macam Marks & Spencer, Gap, H&M, Adidas, dan Armani di Kamboja.
Laporan tersebut disusun berdasarkan wawancara dengan lebih dari 340 orang yang berkecimpung di industri garmen—270 di antaranya merupakan pekerja di 73 pabrik di Phnom Penh dan provinsi terdekat lainnya.
Dari situ kemudian ditemukan fakta bahwa para pekerja kerap mengalami diskriminasi di pabrik berupa pemotongan upah apabila menolak lembur, pemberangusan serikat pekerja, hingga pemecatan kepada pekerja yang sedang hamil. Perlakuan-perlakuan negatif tersebut muncul karena kontrak kerja jangka pendek yang disodorkan perusahaan ke pekerja. Dengan kontrak jangka pendek, perusahaan, catat HRW, “lebih mudah untuk memecat dan mengontrol pekerja.”
Namun, gambaran yang paling mengenaskan tentang eksploitasi pekerja garmen di Asia bisa disaksikan tatkala robohnya Rana Plaza di Bangladesh pada 2013 yang menewaskan 1.130 orang dan melukai 2.500 lainnya.
Rana Plaza merupakan bangunan pabrik delapan tingkat yang menjadi lokasi pemasok jenama fesyen seperti Primark, Benetton, Walmart, hingga H&M. Ambruknya gedung disebabkan oleh kebakaran yang muncul sebagai imbas dari rendahnya kualitas fasilitas keamanan dan keselamatan pabrik.
Tragedi Rana Plaza menampar pelaku industri. Untuk mencegah insiden yang sama terulang lagi di masa depan, dibentuklah Accord on Fire and Building Safety oleh perusahaan pemasok sampai LSM. Tujuannya membantu pendanaan untuk rekonstruksi, pemberian santunan kepada korban, serta pengawasan struktural agar kebakaran tidak terjadi kembali.
Di lain sisi, pasca-tragedi Rana Plaza, pemerintah Bangladesh juga ambil inisiatif salah satunya dengan mengubah regulasi hukum yang berandil besar dalam meningkatkan jumlah serikat pekerja. The Guardian melaporkan, sejak regulasi itu disahkan, sudah ada sekitar 400 (2015) serikat yang muncul ke permukaan. Jumlahnya naik tiga kali lebih banyak dibanding 2012. Selain itu, pemerintah bekerjasama dengan pemasok melakukan pendataan ulang terhadap keberadaan pabrik-pabrik. Untuk pabrik yang dianggap tidak layak, maka pemerintah akan menutupnya.
Akan tetapi, reformasi yang ditempuh usai tragedi Rana Plaza seolah tak ada artinya mengingat para pekerja garmen masih mengalami diskriminasi. Catatan HRW mengungkapkan bahwa mereka yang berupaya meminta pemenuhan hak-haknya lewat serikat pekerja akan menghadapi ancaman, intimidasi, pemecatan, dan terkadang serangan fisik oleh manajer pabrik atau preman bayaran.
Kemudian, catatan yang disusun dari hasil wawancara dengan 160 pekerja dari 44 pabrik di sekitar Dhaka tersebut juga menyatakan bahwa para pekerja ini mendapati perlakuan negatif seperti pelecehan verbal, lembur paksa, pemotongan upah dan pemberian bonus tidak tepat waktu, hingga menolak menyediakan libur cuti bagi pekerja yang hendak melahirkan.
“Jika ingin bencana Rana Plaza tak terulang, Bangladesh perlu secara efektif menegakkan hukum ketenagakerjaannya dan memastikan bahwa pekerja garmen menikmati hak untuk menyuarakan keprihatinan mereka tentang keselamatan dan kondisi kerja tanpa takut akan pembalasan atau pemecatan,” jelas Phil Robertson dari Human Rights Watch Asia.
Menghentikan segala perilaku keji yang diterima pekerja garmen merupakan proses yang tak sebentar. Butuh transparansi, kesadaran, hingga desakan yang kuat agar kasus semacam ini dapat diusut dengan tuntas. Tak cuma mengandalkan kata-kata “prihatin” semata, perusahaan juga semestinya paham dan segera mengambil tindakan; bahwa yang terjadi di lapangan bukan omong kosong belaka.