Menuju konten utama

Indonesia-Swiss Teken MLA, Efektif Kejar Pengemplang Pajak?

Perjanjian Indonesia-Swiss dapat bermanfaat dengan ditindaklanjuti pembentukan satgas antarinstansi untuk membongkar kasus.

Indonesia-Swiss Teken MLA, Efektif Kejar Pengemplang Pajak?
Petugas melayani wajib pajak di Kantor Pelayanan Pajak Pratama Jakarta Tanah Abang Dua, Jakarta, Rabu (21/11/2018). ANTARA FOTO/Sigid Kurniawan/hp.

tirto.id - Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia (Menkumham) RI Yasonna Hamonangan Laoly baru saja menandatangani Perjanjian Mutual Legal Assistance (MLA) dengan Menteri Kehakiman Swiss Karin Keller-Sutter di Bernerhof Bern, Swiss, Senin (4/2/2019) lalu.

Penandatanganan perjanjian itu dilakukan setelah melalui dua kali perundingan, yakni di Bali pada 2015 dan di Bern, Swiss, pada 2017.

Isinya terdiri atas 39 pasal ini antara lain mengatur bantuan hukum mengenai pelacakan, pembekuan, penyitaan hingga perampasan aset hasil tindak kejahatan.

Yasona menyampaikan, bantuan timbal balik pidana yang luas ini merupakan salah satu bagian penting dalam rangka mendukung proses hukum pidana di negara peminta.

Perjanjian MLA ini, kata dia, juga dapat digunakan untuk memerangi kejahatan di bidang perpajakan (tax fraud).

"Perjanjian ini merupakan bagian dari upaya pemerintah Indonesia untuk memastikan warga negara atau badan hukum Indonesia mematuhi peraturan perpajakan Indonesia dan tidak melakukan kejahatan penggelapan pajak atau kejahatan perpajakan lainnya," kata Yasona dikutip dari Antara, Selasa (5/2/2019).

Menanggapi hal tersebut, Direktur Center of Indonesia Taxation Analysis (CITA) Yustinus Prastowo menyampaikan, perjanjian itu sebenarnya bisa bermanfaat bagi Indonesia.

Terutama untuk penegakan hukum terhadap tindak pidana korupsi, pencucian uang serta pidana perpajakan yang selama ini sulit dilakukan karena keterbatasan akses dan daya jangkau ke luar negeri.

Apalagi, lajut dia, 2,3 triliun dolar AS (setara Rp32.000 triliun) dari 5,6 triliun dolar AS (setara Rp80.000 triliun) aset global pada offshore/tax haven (suaka pajak) berada di Swiss.

Namun, Kata Yustinus, sejak 2005 daya tarik Swiss sebagai tax haven terus merosok dari 44 persen porsi global hingga tersisa 28 persen pada 2015.

Hal ini terjadi karena terungkapnya, skandal penggelapan pajak yang melibatkan perbankan Swiss. Selain itu, inisiatif pemerintah Swiss untuk melonggarkan kerahasiaan dan mulai bekerja sama dengan negara lain untuk transparansi keuangan.

Yustinus menilai penting untuk mendalami alasan Swiss tidak masuk dalam 5 besar negara asal harta deklarasi dalam program pengampunan pajak. Ada 5 negara deklarasi itu yakni Singapura, Virgin Islands, Hongkong, Cayman Islands, dan Australia.

"Apakah orang Indonesia yang menempatkan dananya di Swiss telah ikut migrasi (memindahkan aset) sejak 2005, atau punya kepercayaan diri hartanya tidak akan tersentuh, sehingga tidak perlu ikut pengampunan pajak," kata dia kepada Tirto, Rabu (6/2/2019).

Selain itu, kata Yustinus, perlu dilakukan pengujian yang mendalam agar didapatkan hasil analisis yang bisa dijadikan pijakan penegakan hukum.

"Tentu saja koordinasi dan sinergi kelembagaan mutlak dibutuhkan, maka pembentukan gugus tugas antara KPK, Polri, Kejaksaan Agung, Bank Indonesia, dan Ditjen Pajak perlu segera dibentuk," ucap dia.

Batu uji berikutnya, imbuh Yustinus adalah keberanian untuk melakukan investigasi.

"Termasuk kemungkinan menyentuh elite dan oligarki yang memiliki kekuasaan cukup besar, yang kemungkinan pernah menikmati kekebalan hukum dan keuntungan luar biasa dari eksistensi suaka pajak dan lemahnya sistem hukum Indonesia," tegas dia.

Baca juga artikel terkait PERBANKAN atau tulisan lainnya dari Hendra Friana

tirto.id - Bisnis
Reporter: Hendra Friana
Penulis: Hendra Friana
Editor: Zakki Amali