tirto.id - Berdasarkan data dari Persatuan Aktuaris Indonesia (PAI), angka tenaga kerja aktuaris di Indonesia masih rendah yakni hanya sekitar 400 orang, sedangkan kebutuhan masyarakat akan perlindungan jiwa dan kesehatan diprediksi akan terus meningkat.
Rianto Djojosugito ketua umum Persatuan Aktuaris Indoenesia (PAI) menjelaskan standar seseorang dapat dikatakan sebagai aktuaris handal ialah sudah memiliki sertifikat aktuaris taraf nasional dan internasional, dan sudah memiliki jam terbang yang tinggi di bidang ini.
Untuk diketahui, secara umum aktuaris adalah seorang ahli yang dapat mengaplikasikan ilmu keuangan dan teori statistik untuk menyelesaikan persoalan-persoalan bisnis aktual. Persoalan ini umumnya menyangkut analisis kejadian masa depan yang berdampak pada segi finansial, khususnya yang berhubungan dengan besar pembayaran pada masa depan dan kapan pembayaran dilakukan pada waktu yang tidak pasti.
Aktuaris bekerja di bidang: konsultasi, perusahaan asuransi jiwa, pensiun, dan investasi. Aktuaris bisa juga merambah di bidang-bidang lain yang memerlukan kemampuan analitis.
Oleh karenanya, untuk memenuhi kebutuhan tersebut Otoritas Jasa Keuangan (OJK) mengeluarkan program pengembangan 1.000 aktuaris Indonesia. OJK juga memandang perlu ada bentuk kerjasama dengan beberapa perguruan tinggi untuk membentuk sumber daya manusia kompeten di bidang aktuaris tersebut.
Merujuk pada kepentingannya, maka OJK mendukung program kerjasama antara AXA Mandiri dan AXA yang jalin kerja sama dengan Universitas Gadjah Mada (UGM) untuk mengembangkan pendidikan profesi aktuaris di Indonesia.
“Program ini terwujud dimulai dari ketika pemerintah Kanada memberikan tawaran untuk menciptakan sumber daya manusia yang berkualitas di profesi aktuaris,” kata Deputi Komisioner OJK Industri Keuangan Non Bank (IKNB) Edy Setiadi, setelah forum diskusi panel kerjasama pengembangan pendidikan profesi aktuaris di Indonesia antara AXA Mandiri, AXA Insurance, dan mahasiswa UGM, di Auditorium FMIPA UGM, Yogyakarta, Selasa (29/11/2016).
Ia menambahkan, saat ini di Indonesia kurang lebih ada 107 perusahaan asuransi yang semuanya membutuhkan tenaga aktuaris. Itu belum termasuk perusahaan bidang lain yang membutuhkan aktuaris, sehingga perkiraan kebutuhan menjangkau angka seribu tenaga aktuaris itu adalah angka minimum dalam setahun.
“Mayoritas belum terisi, padahal aktuaris tidak hanya dibutuhkan di industri asuransi, kalau tidak ada ya terpaksa impor,” ungkap Edy Setiadi.
Menurutnya, pihaknya tidak mengharapkan tenaga aktuaris di Indonesia didominasi oleh tenaga asing. Ia menginginkan orang Indonesia sendiri mampu menjadi aktuaris untuk setiap perusahaan yang membutuhkan tenaganya.
Penulis: Mutaya Saroh
Editor: Mutaya Saroh