Menuju konten utama

Indonesia Katanya Negara Besar, tapi Raya Cacingan Tak Tertolong

Kasus Raya adalah ironi yang nyata—betapa akses layanan kesehatan dasar belum merata untuk semua lapisan masyarakat.

Indonesia Katanya Negara Besar, tapi Raya Cacingan Tak Tertolong
Ilustrasi gejala cacingan pada anak. (FOTO/iStockphoto)

tirto.id - Meninggalnya seorang balita bernama Raya (4) asal Kampung Pandangeyan, Desa Cianaga, Kabupaten Sukabumi, Jawa Barat, akibat komplikasi cacingan adalah ironi di Peringatan Kemerdekaan ke-80 Indonesia. Kabar miris ini sekaligus menjadi tamparan keras bagi Provinsi Jawa Barat yang juga merayakan hari jadinya pada 19 Agustus 2025 lalu.

Layanan kesehatan masyarakat—utamanya bagi kelas bawah dan marjinal—nyatanya masih jauh dari merdeka.

Kisah tragis Raya mencuat di media sosial dan menjadi viral usai diunggah oleh akun Instagram @rumah_teduh_sahabat_iin pada Kamis, (14/8/2025). Lembaga swadaya masyarakat itu membagikan bagaimana mereka menemukan bocah itu dan membawanya ke rumah sakit untuk mendapatkan pengobatan.

Raya yang tidak sadarkan diri mendapatkan perawatan untuk mengeluarkan cacing gelang (Ascaris lumbricoides) dari tubuhnya. Berat cacing-cacing gelang yang berhasil dikeluarkan dari tubuh Raya ditaksir sampai 1 kilogram. Video yang dibagikan ke media sosial bahkan menunjukkan petugas rumah sakit yang mengeluarkan cacing gelang dari hidung Raya.

Setelah 9 hari dirawat, Raya dinyatakan meninggal dunia pada 22 Juli 2025.

Gubernur Jawa Barat, Dedi Mulyadi, baru buka suara soal kasus Raya lewat akun Instagram miliknya pada Senin (18/8/2025). Dedi mengungkapkan keprihatinan dan dukanya yang mendalam atas meninggalnya Raya akibat cacingan akut.

Dedi, berdasarkan penjelasan tim medis yang menangani Raya, mengatakan bahwa bocah tersebut terbiasa melakukan aktivitas di lingkungan yang kotor. Ibu Raya pun disebutnya mengalami gangguan kejiwaan, sementara ayahnya mengidap penyakit paru-paru atau tuberkulosis.

Dedi menyesalkan lemahnya fungsi layanan kesehatan dasar di tingkat desa tempat Raya dan keluarganya tinggal. Menurut Dedi, posyandu, bidan desa, maupun gerakan PKK setempat tidak berjalan maksimal sehingga gagal memberikan perhatian terhadap kondisi keluarga balita tersebut.

Dia juga menyebutkan bakal memberikan sanksi kepada pihak yang terbukti tidak memberikan perhatian kepada masyarakat di wilayahnya. Dedi juga akan melakukan penanganan pada kondisi keluarga Raya.

Kendati begitu, penanganan medis terhadap Raya juga diduga tidak berjalan ideal. Akun Instagram @rumah_teduh_sahabat_iin menuturkan bahwa ketika 9 hari dirawat, tim sukarelawan sulit mendapatkan bantuan pembiayaan.

Raya bahkan belum terdaftar sebagai peserta BPJS. Rumah Teduh Sahabat Iin mencoba meminta keringanan pembiayaan bagi Raya, tetapi usaha itu membentur tembok birokrasi berkali-kali. Hingga ajal menjemput bocah itu, tagihan perawatan Raya mencapai Rp23 juta dan dibayarkan sendiri oleh Rumah Teduh Sahabat Iin.

Salah Siapa Bila Raya Terabaikan?

Pengamat kebijakan kesehatan sekaligus anggota PB Ikatan Dokter Indonesia (IDI), Iqbal Mochtar, menilai kasus meninggalnya Raya merupakan potret nyata ketimpangan dalam dunia kesehatan di Indonesia saat ini. Kasus ini, kata Iqbal, merupakan satu dari begitu banyak kasus pengabaian hak kesehatan masyarakat di Indonesia.

Menurut Iqbal, kasus Raya merupakan ironi yang nyata—betapa akses atas layanan kesehatan dasar belum sepenuhnya merata. Kala pemerintah sibuk dengan diskursus kebijakan kesehatan yang muluk-muluk dan canggih, layanan kesehatan dasar bagi masyarakat nyatanya masih keropos.

“Sibuk berbicara tentang genomik, sibuk berbicara tentang transformasi kesehatan, sibuk berbicara tentang nyamuk Wolbachia dan sebagainya. Padahal, sebenarnya hal-hal yang sangat substansial seperti ini [layanan kesehatan dasar bagi semua lapisan masyarakat] itu kita masih sangat ketinggalan,” kata Iqbal kepada wartawan Tirto, Kamis (21/8/2025).

Pemerintah Indonesia boleh saja mendaku sebagai negara besar dan banyak kemajuan di bidang infrastruktur. Namun, pada kenyataannya, sektor kesehatan di negara ini masih cenderung terbelakang. Menurut Iqbal, kasus Raya pun bukan semata-mata kesalahan pemerintah daerah saja.

Pemprov Jawa Barat memang memiliki tanggung jawab vital untuk memastikan setiap warganya mendapat pelayanan kesehatan yang mumpuni. Namun, kata Iqbal, Kementerian Kesehatan (Kemenkes) selaku koordinator domain kesehatan di negeri ini juga perlu dievaluasi.

Pasalnya, menurut Iqbal, kebijakan kesehatan yang hadir hari ini bersifat terlalu kuratif. Dari segi pembiayaan, pemerintah bisa jor-joran menggarap teknologi kesehatan nan canggih. Namun, ironisnya, mereka justru abai pada kebutuhan masyarakat yang paling mendasar.

“Sangat sedih melihat ada seorang balita yang meninggal hanya karena cacingan. Padahal, cacingan itu mestinya sudah dieliminir di dunia kesehatan kita. Itu kan persoalan tradisional sudah lama,” ujar Iqbal.

Bagaimana Cacing Menginfeksi Manusia dan Apa Pengaruhnya?

Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 15 Tahun 2017 tentang Penanggulangan Cacingan menyatakan bahwa pemberantasan dan pencegahan cacingan di Indonesia sudah dimulai sejak 1975. Prevalensi kecacingan di Indonesia disebut berbeda-beda pada setiap wilayah, mulai dari 2,5 persen hingga 62 persen.

Organisme penyebab cacingan biasanya ditemukan di tanah. Umumnya adalah spesies Ascaris lumbricoides (cacing gelang), Trichuris trichiura (cacing cambuk), dan Ancylostoma duodenale atau Necator americanus (cacing tambang).

Cacingan berpotensi mengakibatkan penurunan kondisi kesehatan, gizi, kecerdasan, dan produktivitas penderitanya. Cacingan menyebabkan penderitanya kehilangan karbohidrat dan protein serta kehilangan darah sehingga menurunkan kualitas hidupnya.

Cacingan mempengaruhi asupan (intake), pencernaan (digestive), penyerapan (absorbsi), dan metabolisme makanan. Secara kumulatif, infeksi cacing atau cacingan menimbulkan kerugian terhadap kebutuhan zat gizi karena kurangnya kalori dan protein, serta kehilangan darah.

Selain menghambat perkembangan fisik, kecerdasan dan produktivitas, cacingan dapat menurunkan ketahanan tubuh sehingga penderitanya lebih riskan terjangkit penyakit lain. Sehingga, secara ekonomi, cacingan turut menyebabkan kerugian bagi negara.

Cacing Gelang

Cacing Gelang. FOTO/iStockphoto

Oleh karena itu, seturut epidemiolog dan ahli kesehatan masyarakat, Dicky Budiman, kasus cacingan tidak bisa dipandang remeh. Dicky menyebut infeksi cacing dapat terjadi melalui berbagai jalur, mulai dari higienitas makanan hingga kebersihan lingkungan atau sanitasi.

“Cacing ini dapat masuk ke tubuh manusia melalui penularan telur atau larva yang biasanya terdapat pada makanan atau minuman yang terkontaminasi, misalnya sayur atau lalapan yang tidak dicuci bersih, atau daging dan ikan yang tidak matang,” kata Dicky kepada wartawan Tirto, Kamis (21/8/2025).

Dia menambahkan bahwa faktor lingkungan juga sangat berperan. Anak yang sering bermain tanpa alas kaki di tanah atau lingkungan yang tercemar tinja berisiko besar terinfeksi cacing parasit. Telur cacing dapat masuk ke tubuh melalui tangan atau mulut.

“Ini menandakan bahwa kesehatan lingkungan, terutama MCK, harus menjadi bagian yang penting dalam mencegah kecacingan,” sambung Dicky.

Kebiasaan sederhana, seperti mencuci tangan, harus digalakkan. Dicky menekankan bahwa kecacingan berdampak luas pada kesehatan anak, mulai dari dampak gizi sampai risiko kematian ketika terjadi komplikasi.

“Cacingan menyebabkan kekurangan gizi kronis, stunting, anemia, gangguan pertumbuhan dan perkembangan otak, sampai sumbatan usus yang berpotensi fatal,” tegasnya.

Dalam kondisi ekstrem, jumlah cacing parasit di tubuh manusia memang bisa mencapai berat kilogram. Jumlah cacing bisa sangat banyak sehingga saling menggulung dan menumpuk di usus. Hal itu dapat menyebabkan sumbatan usus bahkan bisa pecah dan berakibat mematikan.

Selain mengganggu sistem pencernaan, infeksi cacing bisa menyebar ke organ lain. Terkadang, cacing parasit ditemukan bermigrasi ke hati, paru-paru, atau saluran empedu dan itu bisa menimbulkan infeksi berat.

Oleh karena itu, Dicky meminta masyarakat segera mencari pertolongan medis apabila menemukan tanda cacingan pada anak.

“Anak yang cacingan harus segera dibawa ke tenaga kesehatan, dokter, puskesmas, atau rumah sakit karena harus diberikan obat cacing atau antihelmintik sesuai dosis anak,” jelasnya.

Perlindungan Keluarga Rentan Masih Kosong

Merespons kasus kematian Raya, Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) mendesak DPR RI dan pemerintah pusat segera mengesahkan Rancangan Undang-Undang (RUU) Pengasuhan Anak yang selama ini tertahan di meja legislasi. Pernyataan ini disampaikan Wakil Ketua KPAI, Jasra Putra melalui keterangan tertulis.

Jasra menilai bahwa peristiwa yang menimpa Raya memperlihatkan kekosongan kebijakan bagi mereka yang berada di keluarga rentan, seperti dengan orang tua penyandang gangguan jiwa (ODGJ). Terlebih, kata Jasra, saat ini belum ada aturan pengasuhan anak yang berada dalam keluarga ODGJ sehingga pembiaran dan penelantaran terjadi tanpa solusi.

Berdasarkan asesmen singkatnya, KPAI mengidentifikasi adanya pengabaian dan penelantaran anak yang berlangsunglama dalam kasus Raya. Persoalan pengabaian dan penelantaran ini juga lebih kompleks karena situasi keluarga tersebut.

“Agar denting kematian ananda Raya, 4 tahun, tidak sia sia, berbunyi keras lonceng kematian itu, sebagai tanda kewajiban darurat segera menolong anak-anak dan keluarga lainnya. Terutama, yang mengalami kondisi sama dengan situasi Raya. Karena, ini bukan peristiwa pertama kali di Indonesia. Mari sahkan RUU Pengasuhan Anak,” ungkap Jasra, Kamis (21/8/2025).

Di sisi lain, Kepala Biro Komunikasi dan Informasi Publik Kemenkes, Aji Muhawarman, menjelaskan bahwa penyakit yang menimpa Raya adalah kasus dengan jenis cacing gelang sebab memiliki ukuran paling besar. Cacing itu, disebutnya, juga gampang terlihat dengan mata. Bila telur infektif tertelan, ia akan menetas menjadi larva di usus halus.

Kemudian, cacing itu menembus dinding usus halus menuju pembuluh darah atau saluran limfatik, lalu terbawa aliran darah ke jantung dan paru-par hingga bisa menyebabkan terjadinya pneumonia.

Sebagai langkah pencegahan, Kemenkes mengimbau masyarakat menjaga perilaku hidup bersih dan sehat, di antaranya buang air besar di jamban, mencuci tangan dengan sabun di lima waktu penting, memakai alas kaki, serta mencuci makanan dengan benar.

Bagi yang menderita cacingan, Kemenkes menyebut bahwa pemerintah juga menyediakan obat cacing Albendazol gratis di puskesmas. Pemerintah membagikannya secara massal 2 kali setahun untuk anak usia 1–12 tahun melalui posyandu maupun sekolah.

“Bersamaan dengan pembagian vitamin di posyandu, atau bersamaan dengan kegiatan UKS di sekolah,” kata Aji dalam keterangan tertulis, Rabu (20/8/2025).

Baca juga artikel terkait KESEHATAN MASYARAKAT atau tulisan lainnya dari Mochammad Fajar Nur

tirto.id - News Plus
Reporter: Mochammad Fajar Nur
Penulis: Mochammad Fajar Nur
Editor: Fadrik Aziz Firdausi