tirto.id - Kepala Peneliti Center for Research on Energy and Clean Air (CREA) asal Finlandia, Lauri Myllyvitra menyarankan Indonesia agar belajar dari India dan Afrika Selatan untuk mengatasi masalah polusi yang disebabkan PLTU batu bara. Saat ini Indonesia masih terbelakang dalam hal menekan angka polusi PLTU, salah satunya disebabkan minimnya upaya mengembangkan sumber Energi Baru Terbarukan (EBT).
"Kedua negara ini, seperti Indonesia memiliki sumber batu bara melimpah dan pengupahan tenaga kerja yang relatif rendah. Tapi India dan Afrika Selatan sejauh ini terus bisa memangkas praktik PLTU batu bara dan mengembangkan EBT, aku rasa Indonesia bisa belajar dari mereka," tutur Lauri dalam sesi wawancara video di Artotel Jakarta Pusat, Senin (25/11/2019).
Pembelajaran yang dimaksud Lauri, utamanya terkait pasokan listrik. Kedua negara tersebut sudah menerapkan lelang kompetitif, sehingga mulai banyak perusahaan bersaing untuk mengembangkam EBT.
"Di Indonesia sendiri, aku pikir penghambatnya PLN yang memonopoli dan sangat mengandalkan batu bara. Masyarakat tidak punya alternatif. Aku tidak bicara asal-asalan, ini pandanganku setelah 13 tahun mengikuti perkembangan isu energi di Indonesia," imbuhnya.
Penilaian Lauri turut diamini juru kampanye Energi dan Iklim Greenpeace Asia Tenggara, Tata Mustaya. Menurut Tata, sampai saat ini "PLN masih terlalu dimanja pemerintah."
Lantas masih menurut Tata, dalam konteks pengembangan EBT dan penekanan polusi PLTU, peran kunci dipegang Presiden Jokowi.
"Kemarin setelah menunjuk menteri beliau sendiri yang bilang kalau tidak ada visi misi menteri, yang ada visi misi presiden dan wakil presiden. Artinya jelas, kuncinya di tangan Jokowi," sambungnya.
Selain masalah minimnya alternatif serta upaya pengembangan EBT, Tata mengatakan, saat ini kendala Indonesia menekan angka polusi batu bara tidak lepas dari minimnya standar emisi yang diterapkan PLTU-PLTU dalam negeri.
Dari riset yang dilakukan Greenpeace Asia Timur dan CREA yang dirilis Senin (25/11/2019), tingkat kekotoran PLTU di Indonesia hampir 33x lebih tinggi jika dibandingkan standar yang diterapkan di salah satu negara maju, Korea Selatan.
Ironisnya, tiga PLTU di Indonesia justru menjadi target investasi Korsel yang di negaranya sendiri berusaha memperketat regulasi standar emisinya.
Hasil penelitian yang sama, memprediksi 12 PLTU yang jadi target investasi Korsel di empat negara bisa menyebabkan 47.000-151.000 kematian dini selama rata-rata umur 30 pembangkit listrik jika beroperasi pada batas emisi lokal negara masing-masing. Kematian dini ini bisa disebabkan paru-paru onstruktif kronis, kanker paru, ISPA, diabetes, hingga stroke akibat debu, PM2,5, dan SO2 akibat pembakaran PLTU batu bara.
Data di atas memungkinkan Indonesia menerima 29 persen dari risiko jatuhnya korban jiwa, cuma di bawah Vietnam (38 persen) yang juga jadi target investasi PLTU batubara Korsel.
"Angka kematian tersebut sebenarnya bisa ditekan jika Indonesia menerapkan standar emisi untuk pembangkit termal yang lebih ketat," tandas Tata.
Penulis: Herdanang Ahmad Fauzan
Editor: Widia Primastika