tirto.id - Ribut-ribut soal pelantikan Komjen Pol Mochamad Iriawan sebagai penjabat (Pj) Gubernur Jawa Barat kian santer setelah beberapa fraksi pendukung pemerintah menyatakan bakal mempertimbangkan angket—menyelidiki kebijakan eksekutif karena diduga bertentangan dengan peraturan perundang-undangan—terhadap Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri).
Hak angket awalnya bakal digunakan oleh oposisi seperti Partai Demokrat, Gerindra dan Partai Keadilan Sejahtera (PKS). Namun belakangan meluas ke tiga partai pendukung pemerintah, yakni Partai Kebangkitan Bangsa (PKB), Partai Amanat Nasional (PAN), dan Nasdem.
Sekretaris Fraksi PKB Cucun Syamsurizal, misalnya, mengatakan penggunaan hak angket dimungkinkan dengan dasar Pasal 28 ayat 3 Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian, bahwa anggota Polri mesti mengundurkan diri atau pensiun jika menduduki jabatan di luar kepolisian. Sementara Iriawan dianggap masih sebagai pejabat aktif Mabes Polri.
"Ada sisi yang janggal karena [Iriawan] perwira aktif. Setelah masuk [libur lebaran], kami ngobrol dengan fraksi-fraksi. Kami akan perintahkan panggil Kemendagri," ujarnya saat dihubungi Tirto, Kamis (21/6/2018).
Kemendagri sendiri sudah membantah kecurigaan itu. Kepala Pusat Penerangan Kemendagri Bahtiar menyebut apa yang mereka lakukan telah sesuai dengan Pasal 201 UU Nomor 10 Tahun 2016 tentang Pilkada.
"Dalam Pasal 201 UU Pilkada disebutkan dalam mengisi kekosongan jabatan gubernur diangkat penjabat gubernur yang berasal dari jabatan pimpinan tinggi madya sampai dengan pelantikan gubernur sesuai dengan ketentuan perundang-undangan yang berlaku," kata Bahtiar, di Bandung, Jawa Barat, Senin (18/6).
Di luar aspek legal-formal itu, pelantikan Iriawan sebetulnya memunculkan pertanyaan lain yang berkaitan dengan netralitas aparat negara. Salah satu calon wakil gubernur Jabar, Anton Charliyan, adalah purnawirawan perwira tinggi Polri, atau dengan kata lain satu korps dengan Iriawan. Ada kecurigaan bahwa penunjukan Iwan Bule—sapaan akrab Iriawan—merupakan upaya Mendagri untuk memenangkan Tubagus Hasanuddin-Anton Charliyan dalam Pilkada Jabar 2018.
Tingkat Kedipilihan Stagnan
Meski begitu, posisi Iriawan sebetulnya tak bakal banyak mendongkrak kans TB Hasanuddin-Anton Charliyan, setidaknya jika melihat hasil survei beberapa lembaga yang selalu menempatkan mereka di posisi buncit. Pasangan ini hampir pasti tak bakal memenangkan kompetisi.
Simulasi terakhir Pilkada yang dilakukan Indo Barometer, pada 7-13 Juni 2018, menunjukkan bahwa tingkat kedipilihan mereka hanya mencapai lima persen. Angka ini bisa dibilang stagnan sebab sejak akhir Januari 2018, perolehannya hanya 4,1 persen. Karena itulah, kata Direktur Indo Barometer Muhammad Qodari, Iriawan tidak akan mampu memuluskan langkah pasangan Hasanuddin-Anton untuk menang—jika kecurigaan soal ketidaknetralan itu benar.
Tingkat kedipilihan paslon Cagub-cawagub tertinggi di Jawa Barat hingga saat ini masih dipegang pasangan Ridwan Kamil-Uu Ruzhanul Ulum, yakni sebesar 36,8 persen. Pasangan Dedy Mizwar-Dedy Mulyadi ada di posisi kedua dengan tingkat kedipilihan sebesar 30,1 persen.
Setelahnya, barulah pasangan Sudrajat-Ahmad Syaikhu dengan 6,1 persen, hanya sedikit di atas pasangan Hasanuddin-Anton.
"Dalam waktu sekitar satu pekan saya kira agak sulit itu untuk seorang penjabat gubernur, katakanlah Irawan, bisa meningkatkan [tingkat kedipilihan] pasangan Hasanah (sebutan bagi pasangan Hasanudin-Anton)," kata Qodari usai memaparkan hasil survei di FX Sudirman, Jakarta Pusat, Rabu (20/6/2018) kemarin.
Ia membandingkan posisi Iriawan dengan Gubernur Jabar Ahmad Heryawan (Aher) yang juga berkampanye untuk pasangan Cagub-cawagub nomor tiga, Sudradjat-Syaikhu.
"Kalau mau bandingkan yang menarik adalah bagaimana Aher berkampanye untuk pasangan Asyik (Sudrajat-Syaikhu). Fotonya [Aher] dipakai. Ternyata dalam waktu enam bulan dalam masa kampanye ini belum cukup untuk meningkatkan elektabilitas pasangan Asyik. Enam bulan saja enggak cukup, apalagi seminggu," kata dia.
Bukan Pasangan Ideal
Dalam survei tersebut, alasan kenapa pasangan Hasanuddin-Anton berada di posisi terbawah adalah karena mereka dianggap sosok yang kurang ideal bagi warga Jawa Barat. Ada tiga aspek yang dinilai dalam survei dengan variabel terbuka tersebut: pengalaman, kinerja yang baik, dan dinilai merakyat.
Pada tiga aspek ini, Hasanuddin-Anton mendapat persentase paling rendah. Dalam hal pengalaman, penilaian responden hanya tiga persen, jauh di bawah Demiz-Demul sebesar 57,9 persen, Ridwan-Uu 35,5 persen dan selisih sedikit dari Sudradjat-Syaikhu 3,8 persen.
Soal kinerja yang baik, persentase penilaian publik terhadap keduanya hanya sebesar 6,5 persen. Angka ini juga masih di bawah Ridwan-Uu sebesar 60,2 persen, Demiz-Demul 25,9 persen dan Sudradjat-Syaikhu 7,4 persen.
Soal image merakyat? Setali tiga uang. Hanya 1,1 persen responden yang menilai Hasanuddin dan Anton dekat dengan rakyat. Sementara persentase tertinggi secara berurutan adalah Demiz-Demul sebesar 47,2 persen, Ridwan-Uu 44,9 persen dan Sudrajat Syaikhu 6,7 persen.
"Pemilih yang memberikan alasan karena berpengalaman, merakyat, dan dapat mengayomi, lebih banyak memilih pasangan Deddy Mizwar–Dedi Mulyadi," kata Qodari.
Sementara responden yang memberikan alasan karena kinerja, program serta visi-misinya bagus, dianggap pintar, mampu bekerja sama, dan lain sebagainya, kata Qodari, "lebih banyak memilih pasangan M. Ridwan Kamil-Uu Ruzhanul Ulum."
Penulis: Hendra Friana
Editor: Rio Apinino & Maulida Sri Handayani