tirto.id - Dalam seminggu terakhir setidaknya ada tiga kasus penganiayaan terhadap tokoh agama. Benang merah antara ketiganya adalah semua terjadi di Jawa Barat. Kesamaan lain, polisi yang menangani kasus menyimpulkan bahwa dua dari tiga pelaku mengalami gangguan jiwa.
Ada yang bermasalah dari vonis ini.Polisi tidak punya wewenang untuk menentukan kondisi kejiwaan seseorang. Hanya dokter spesialis yang bisa melakukannya. Keputusan hakim berada di ujung proses ini. Ia akan menentukan apakah seseorang yang melakukan tindakan kriminal dapat dihukum atau tidak berdasarkan keterangan dokter spesialis.
Direktur Indonesia Political Review, Ujang Komarudin, mengatakan bahwa jika dikaitkan dengan konteks yang lebih luas, yaitu Pilkada Jawa Barat 2018, maka tindakan polisi itu bisa dimaknai sebagai cara mereka untuk memperoleh keuntungan tertentu. Lebih spesifik: ini adalah upaya mereka untuk memenangkan Anton Charliyan yang maju bersama Tb Hasanuddin yang diusung PDI Perjuangan.
Anton Charliyan adalah mantan Kapolda Jawa Barat, jabatan terakhirnya di kepolisian adalah Wakil Ketua Lembaga Pendidikan Polri.
"Yang diuntungkan ya calon dari kepolisian," kata Ujang kepada Tirto, Senin (5/2/2018).
Argumen Ujang cukup memutar untuk sampai pada kesimpulan tersebut. Katanya, bila kasus ini tidak terungkap, atau menggantung dengan modus "penyerangan orang gila" — sedangkan orang gila tidak bisa dihukum — maka menempatkan penjabat (pj) gubernur dari polisi sebagaimana yang diusulkan Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri) semakin mendesak. Ujang merasa momentum ini bisa jadi mendorong kembali wacana tersebut.
"Jika Jawa Barat dianggap tidak kondusif, aman, dan nyaman, maka bisa jadi pembenaran bahwa pj gubernur dari polisi itu bisa dilaksanakan. Jadi prakondisi gitu," kata Ujang.
Ketika pj gubernur sudah oleh polisi, maka hal tersebut dinilai dapat memuluskan langkah TB Hasanuddin-Anton Charliyan menjadi orang nomor satu dan dua di Jawa Barat. Masyarakat, kata Ujang, akan mengasosiasikan polisi dengan Anton.
Langkah ini bisa saja memang sengaja dilakukan dalam rangka mendapat dukungan masyarakat, mengingat elektabilitas pasangan ini lebih rendah ketimbang kandidat lain: Deddy Mizwar-Dedi Mulyadi, Ridwan Kamil-Uu Ruzhanul Ulum, dan Sudrajat-Ahmad Syaikhu. Kasus ini juga mungkin menjembatani antara TB Hasanuddin-Anton dengan umat Islam di Jawa Barat.
"Baik secara survei maupun kedekatan terhadap masyarakat, [pasangan ini] sangat jauh [dibanding yang lain]," katanya.
Pengamat dari Kajian Stratejik Intelijen Universitas Indonesia (UI) Diyauddin Undu punya pendapat berbeda. Menurutnya polisi memang sungguh-sungguh membongkar kasus penganiayaan tanpa menutupi apapun. Bagi Diyauddin, tiga orang yang sama, dengan motif serupa, dan dua di antaranya divonis gila, belum cukup jadi bukti bahwa ini memang dirancang oleh pihak tertentu.
"Kalau ada 10 kasus yang serupa baru, kita bisa curigai apa ada yang menggerakkan," katanya kepada Tirto.
Menurutnya tidak ada kepentingan politis sama sekali dari tiga kasus ini. Ia mengatakan ini hanya kebetulan.
"Menurutku, ini masih relatif kriminal biasa. Kecuali kalau kita menemui kasus-kasus yang sama dan terjadi dengan pola yang sama. Kalau tiga kasus belum bisa dijadikan tren, dan kasusnya relatif kecil," jelas Diyauddin.
Terkait vonis polisi yang terburu-buru menyebut kalau pelaku mengalami gangguan jiwa, menurut Diyauddin justru langkah ini tepat adanya. Sebab katanya, langkah tersebut dapat meredam potensi konflik SARA dan kerusuhan yang mungkin terjadi.
"Itu kan [bilang bahwa pelaku mengalami gangguan jiwa] biar situasi tidak kisruh. Tugas polisi kan mengayomi masyarakat. Saya pikir sudah benar," katanya.
Disanggah Polisi dan PDIP
Polisi mengatakan tiga pelaku tidak ada satu pun yang gila. Secara tidak langsung ingin disampaikan bahwa kasus-kasus ini adalah kriminal murni.
"Di kota Bandung [pelaku] tidak ada yangg gila. Satu gangguan kepribadian, satu waras niat mencuri di masjid," kata Kapolresta Bandung Hendro Pandowo.
Pernyataan ini sebetulnya berbeda dengan keterangan sebelumnya. Dalam kasus ustaz Prawoto, Hendro jelas mengatakan: "pelaku pernah dibawa ke Rumah Sakit Jiwa Cisarua Lembang."
Belakangan pernyataan ini disanggah oleh dokter spesialis kejiwaan RS Bhayangkara Sartika Asih dr. Leony Widjaja yang memeriksa pelaku. Leony mengatakan bahwa berdasarkan hasil pemeriksaan sementara, pelaku diduga punya emosi tidak stabil dan gangguan kepribadian, tapi tidak termasuk gangguan jiwa berat.
Sekretaris Dewan Pengurus Daerah PDIP Jawa Barat Abdy Yuhana juga membantah adanya keuntungan yang didapat dari pasangan yang mereka usung dalam Pilkada. Menurutnya itu tidak beralasan dan bahkan berlebihan.
"Kita tidak berpikir tentang mengambil keuntungan dari kejadian itu. Kami malah menyampaikan prihatin," katanya saat dihubungi Tirto.
Menurutnya tidak ada kaitan antara kasus ini dengan naiknya elektabilitas TB Hasanuddin-Anton. Kalau pun nanti kasus ini diselesaikan polisi, masyarakat tidak lantas akan memilih Anton.
Menurutnya hanya ada satu cara untuk memperkenalkan dan meningkatkan popularitas TB Hasanuddin-Anton: sering-sering menemui masyarakat. Dan itulah yang mereka lakukan.
Penulis: Felix Nathaniel
Editor: Rio Apinino