tirto.id - Lembaga Imparsial menilai satu tahun pemerintahan Presiden Prabowo Subianto dan Wakil Presiden Gibran Rakabuming Raka justru menunjukkan kemunduran serius dalam agenda reformasi sektor pertahanan dan keamanan.
Wakil Direktur Imparsial, Hussein Ahmad, mengatakan pemerintahan ini bukan hanya gagal melanjutkan reformasi TNI, tetapi juga memperkuat militerisme dan mengembalikan peran militer dalam berbagai aspek kehidupan bernegara.
“Jika pola kebijakan ini terus berlanjut, demokrasi Indonesia akan menghadapi ancaman serius berupa pelanggaran hak asasi manusia, pelemahan supremasi hukum, dan munculnya model pemerintahan yang otokratis,” ujar Hussein dalam keterangannya, Minggu (19/10/2025).
Menurut Imparsial, pemerintahan Prabowo-Gibran mempertegas konsolidasi ulang militerisme di Indonesia. Gejala ini, kata Hussein, tampak dari normalisasi keterlibatan militer dalam ranah sipil, termasuk proyek strategis nasional (PSN) Food Estate di Merauke.
Imparsial menilai proyek tersebut, yang diikuti dengan pembentukan lima Batalyon Infanteri Penyangga Daerah Rawan (Yonif PDR) di Papua, menyimpang dari peran utama TNI dan berpotensi memperburuk kekerasan di wilayah tersebut.
“Konflik antara TNI dan masyarakat yang berujung pada pelanggaran HAM sangat mungkin terjadi, terlebih ketika Menteri Pertanian menyatakan pembukaan lahan seluas satu juta hektare dikendalikan langsung oleh Pangdam XVII/Cenderawasih,” kata Hussein.
Ia menilai langkah itu menunjukkan ketidakseriusan pemerintah dalam menyelesaikan konflik secara damai, sekaligus memperkuat ketakutan masyarakat terhadap dominasi militer di Papua.
Selain di Papua, keterlibatan militer dalam program sosial seperti Makan Bergizi Gratis (MBG) juga dinilai sebagai bentuk pergeseran peran TNI dari fungsi utama pertahanan ke ranah sipil.
“Pelibatan ini tidak hanya mengganggu profesionalisme TNI sebagai alat pertahanan negara, tetapi juga melanggar ketentuan UU No. 34 Tahun 2004 sebagaimana diubah dengan UU No. 3 Tahun 2005 tentang TNI,” ujarnya.
Hussein juga menyoroti penempatan prajurit aktif dalam jabatan sipil, seperti pengangkatan Mayor Teddy Indra Wijaya sebagai Sekretaris Kabinet dan pengangkatan dua kali Dirut Bulog dari kalangan militer aktif.
Menurutnya, kebijakan tersebut melanggar aturan yang menegaskan bahwa prajurit aktif tidak boleh terlibat dalam politik praktis dan hanya dapat menduduki jabatan sipil setelah mengundurkan diri atau pensiun dari dinas keprajuritan.
“Pengangkatan ini tidak hanya mencederai semangat reformasi TNI, tetapi juga menunjukkan pengabaian terhadap prinsip supremasi hukum,” kata Hussein menegaskan.
Penulis: Rahma Dwi Safitri
Editor: Rina Nurjanah
Masuk tirto.id


































