tirto.id - Ketua Dewan Pengurus Daerah Realestat Indonesia (REI) DKI Jakarta, Arvin F Iskandar meminta Otoritas Jasa Keuangan (OJK) memberikan stimulus kepada industri real estate. Permintaan tersebut diajukan usai dirasakannya dampak penyebaran pandemi virus corona ke industri tersebut
“Industri real estate sudah mengalami perlambatan sejak tahun 2017. Saat ini akibat pandemi COVID-19, kondisinya semakin melemah akibat penurunan aktivitas ekonomi. Tingkat penjualan drop, sementara biaya yang harus dikeluarkan tetap,” kata dia dalam keterangan resmi yang diterima Tirto, Senin (23/3/2020).
Ia menjelaskan, stimulus yang diharapkan oleh industri perumahan yaitu berbentuk penundaan pembayaran utang pokok dan keringanan bunga sampai dengan Desember 2020. Stimulus tersebut dapat dapat dievaluasi kembali dengan melihat dampak bisnis yang diakibatkan oleh penyebaran COVID-19.
"Kami meminta otoritas berwenang memberikan stimulus. Jika hal ini dibiarkan sangat dikhawatirkan akan terjadi peningkatan kredit macet. Industri real estate itu adalah lokomotif perekonomian nasional, menggerakkan 175 sektor riil ikutannya. Beri kami ruang gerak dulu, sambil menunggu redanya virus ini,” jelas dia.
Ia menjelaskan, pandemi Corona telah menyebabkan penurunan secara signifikan omset dan volume penjualan atau serapan pasar atas produk properti yang dijual. Hal itu jelas akan berdampak pada menurunnya kemampuan membayar pengembang terhadap bank atas kewajiban utang.
"Hampir semua progres proyek real estate di DKI Jakarta ikut terpengaruh proses pembangunannya," kata dia.
Khususnya yang menggunakan material atau bahan baku yang berasal dari negara-negara terdampak Corona. Pengembang kesulitan mendatangkan material dan bahan baku karena negara produsennya juga terdampak. Namun biaya operasional dan bunga pinjaman tetap harus dibayarkan.
REI juga meminta keringanan dari Pemprov DKI Jakarta meliputi penundaan dan keringanan pembayaran pajak hotel dan restoran. Kemudian penundaan kenaikan NJOP, pembayaran PBB dapat dicicil tanpa dikenakan denda.
“Informasi yang kami terima menyebutkan bahwa okupansi hotel mengalami kemerosotan hingga 80
persen. Padahal hotel memiliki karyawan dan properti dalam jumlah yang besar. Demikian juga soal penundaan Kenaikan NJOP dan PBB. Hal ini diakibatkan kemampuan membayar para pengembang yang terus menurun,” jelas dia.
Penulis: Selfie Miftahul Jannah
Editor: Zakki Amali