Menuju konten utama

ICJR: Pidato Jokowi soal Kritik Tak Sesuai Fakta

Jokowi menyebut pentingnya sebuah kritik, tetapi kenyataannya banyak kritik dibungkam. 

ICJR: Pidato Jokowi soal Kritik Tak Sesuai Fakta
Warga melintas di depan mural bertuliskan "Rip Keadilan”, di Jalan Veteran, Kota, Kudus, Jawa Tengah, Kamis (15/10/2020). ANTARA FOTO/Yusf Nugroho/hp.

tirto.id - Presiden Joko Widodo menyebut kritik dari masyarakat penting dan ia mengapresiasi masyarakat karena turut aktif dalam membangun budaya demokrasi. Pemerintah pun diklaim selalu menjawab kritik itu dengan pemenuhan tanggung jawab.

"Saya juga menyadari, begitu banyak kritikan kepada pemerintah, terutama terhadap hal-hal yang belum bisa kita selesaikan. Kritik yang membangun itu sangat penting, dan selalu kita jawab dengan pemenuhan tanggung jawab, sebagaimana yang diharapkan rakyat. Terima kasih untuk seluruh anak bangsa yang telah menjadi bagian dari warga negara yang aktif, dan terus ikut membangun budaya demokrasi," begitu kata Jokowi dalam Pidato Kenegaraan di hadapan Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) memperingati HUT RI Ke-76, Senin (16/8/2021).

Namun, Institute For Criminal Justice Reform (ICJR) menilai pernyataan presiden tersebut berkebalikan dengan yang terjadi di lapangan.

"Pidato Presiden berkebalikan dengan fakta masih banyaknya tindakan aparatur negara yang menciptakan iklim ketakutan dalam berpendapat dan berekspresi di tengah-tengah masyarakat, termasuk masih bermasalahnya implementasi UU ITE dan rencana pemerintah untuk mengesahkan RKUHP yang berisi pasal-pasal pidana pembunuh demokrasi," kata Peneliti ICJR Sustira Dirga, Senin (16/8/2021).

Dirga mencontohkan kasus yang baru-baru ini terjadi yakni terkait mural bergambar wajah dengan tulisan "404: not found". Kini, mural itu telah dihapus, pelukisnya dicari polisi dengan dalih mural itu adalah bentuk penghinaan terhadap Presiden yang dinilai adalah lambang negara.

Padahal jika merujuk UUD 1945, Pasal 36A menyatakan Lambang Negara ialah Garuda Pancasila dengan semboyan Bhinneka Tunggal Ika. UU 24/2009 tentang Bendera, Bahasa, dan Lambang Negara, serta Lagu Kebangsaan, tepatnya dalam Bab I UU Nomor 24 Tahun 2009 dijelaskan bahwa Bendera Merah Putih, Bahasa Indonesia, Lambang Garuda Pancasila, dan Lagu Kebangsaan Indonesia Raya merupakan jati diri bangsa dan identitas NKRI.

"Kejadian penghapusan mural dan 'perburuan' yang dilakukan oleh Kepolisian kepada para pembuatnya jelas mengakibatkan iklim ketakutan berpendapat dan berekspresi yang bertentangan dengan semangat demokrasi yang disampaikan Presiden pada pidatonya," kata Dirga.

Mengutip Economist Intelligence Unit (EIU), Indonesia menduduki peringkat ke-64 dunia dalam Indeks Demokrasi yang dengan skor 6.3. Nilai ini merupakan yang terendah Indonesia sepanjang 14 tahun terakhir. Lembaga Freedom House juga hanya memberikan total skor 59 dari 100 dengan status “partly free” untuk akses masyarakat terhadap hak-hak politik dan kebebasan sipil di Indonesia.

Survei Indikator Politik Indonesia kepada 1.200 masyarakat di seluruh Indonesia pada 25 Oktober 2020 juga menunjukkan 36 persen responden yang mengakui Indonesia menjadi negara yang kurang demokratis. Kemudian, 47,7 persen responden menyatakan agak setuju bahwa publik semakin takut menyatakan pendapat.

Selain itu, 57,7 persen responden bahkan juga menilai aparat semakin bersikap sewenang-wenang dalam menangkap warga yang berbeda pandangan politik dengan penguasa.

Dirga mengatakan, semua itu terjadi salah satunya karena rumusan norma pidana dalam undang-undang, salah satunya Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik yang penuh dengan pasal karet.

Selain normanya bermasalah, penegakannya di lapangan pun bermasalah. Pemerintah sudah menerbitkan Surat Kesepakatan Bersama tentang Pedoman Implementasi UU ITE untuk mengatasi masalah itu tetapi nyatanya problem itu masih terus terjadi.

Belum selesai dengan UU ITE, pemerintah juga berencana memasukkan pasal-pasal bermasalah baru ke dalam revisi Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP).

Beberapa di antaranya yakni pasal pidana bagi penghinaan presiden dan wakil presiden (Pasal 218-220 RKUHP), penghinaan pemerintah (240-241 RKUHP), penghinaan kekuasaan umum dan lembaga negara (353-354 RKUHP), penghinaan peradilan atau contempt of court (281 RKUHP), hingga penyelenggaraan pawai, unjuk rasa, dan demonstrasi tanpa izin (273 RKUHP).

"Ketika nanti RKUHP disahkan, keberadaan pasal-pasal tersebut yang juga ternyata dirumuskan secara luas dan multitafsir akan dipastikan semakin mengancam kelangsungan demokrasi di Indonesia," tandas Dirga.

Baca juga artikel terkait KRITIK atau tulisan lainnya dari Mohammad Bernie

tirto.id - Hukum
Reporter: Mohammad Bernie
Penulis: Mohammad Bernie
Editor: Zakki Amali