Menuju konten utama

ICJR Kritik Cara Polisi Tangani Kasus Dinar Candy

Penangkapan Dinar dinilai bentuk kesewenang-wenangan sebab status hukum belum jelas dan penerapan pasal pornografi berpotensi overkriminalisasi.

ICJR Kritik Cara Polisi Tangani Kasus Dinar Candy
Dinar Candy. Instagram/dinar_candy

tirto.id - Institute Criminal for Justice Reform (ICJR) mengkritik polisi dalam kasus Dinar Candy yang berbikini di pinggir jalan raya. Dalam penyelidikan, Dinar dan adiknya diperiksa untuk membuktikan apakah ada unsur pidana Undang-Undang Pornografi dan Undang-Undang Internet dan Transaksi Elektronik yang mereka langgar.

Pertama, ICJR menilai penangkapan Dinar dan adiknya adalah bentuk perampasan kemerdekaan yang sewenang-wenang. "Belum diketahui jelas status DC dan adiknya, tidak ada penetapan tersangka terhadap mereka, namun kemerdekaan DC dan adiknya sudah dirampas dengan pernyataan kepolisian yang melakukan “pengamanan”. Dalam hukum acara pidana dalam KUHAP tidak dikenal mekanisme pengamanan tersebut," kata peneliti ICJR Maidina Rahmawati, Kamis (5/8/2021).

Pengekangan kemerdekaan yang diperbolehkan sesuai dengan Pasal 17 KUHAP adalah penangkapan, itu pun hanya dapat dilakukan terhadap seorang yang diduga keras melakukan tindak pidana berdasarkan bukti permulaan yang cukup, yaitu minimal dua alat bukti, juga mesti didahului dengan perintah penangkapan.

Pengamanan dengan ketidakjelasan status adalah bentuk perampasan kemerdekaan yang sewenang-wenang. Kedua, penjeratan Dinar Candy dengan UU Pornografi berpotensi mengakibatkan overkriminalisasi.

Dalam UU Pornografi yang dilarang UU Pornografi adalah memproduksi, membuat, memperbanyak, menggandakan, menyebarluaskan, menyiarkan, mengimpor, mengekspor, menawarkan, memperjualbelikan, menyewakan, atau menyediakan pornografi memuat ketelanjangan atau tampilan yang mengesankan ketelanjangan.

Sementara, penjelasan Pasal 4 ayat (1) huruf d UU Pornografi, yang dimaksud dengan "mengesankan ketelanjangan” adalah suatu kondisi seseorang yang menggunakan penutup tubuh, tetapi masih menampakkan alat kelamin secara eksplisit. Definisi ketelanjangan tersebut harus secara eksplisit menunjukkan alat kelamin. "Dalam hal ini, tidak ada alat kelamin yang dipertunjukkan oleh DC," terang Maidina.

Bila menggunakan bikini termasuk dalam definisi ketelanjangan atau tampilan yang mengesankan ketelanjangan, maka hal ini dapat berpotensi mengakibatkan overkriminalisasi lantaran berakibat semua unggahan di media sosial yang dilakukan oleh masyarakat dengan tampilan berbikini dapat dijerat dengan UU Pornografi dan UU ITE.

Kondisi tersebut sangat berbahaya dan dapat menimbulkan kesewenang-wenangan dan kelebihan beban pemidanaan atau overkriminalisasi. Tindakan yang dilakukan oleh Dinar Candy, lanjut Maidina, harus dianggap sebagai bentuk protes dan dilakukan di tempat umum untuk mendapatkan perhatian publik, bukan untuk menampilkan ketelanjangan atau pornografi.

ICJR mengingatkan agar kepolisian berfokus pada kasus-kasus yang lebih penting, terutama dalam kondisi pandemi COVID-19, sebab masyarakat membutuhkan pengertian dari pemerintah, bukan pemidanaan semata. ICJR juga menyerukan agar proses hukum terhadap Dinar Candy dihentikan dan tidak dilanjutkan pada proses lebih tinggi karena berpotensi mengakibatkan overkriminalisasi.

Dinar Candy resmi jadi tersangka usai penyidik Polres Metro Jakarta Selatan mengumpulkan keterangan dan barang bukti, serta melakukan gelar perkara. Kapolres Metro Jakarta Selatan Kombes Pol Azis Andriansyah yang mengklarifikasi hal tersebut.

"Maka kami menetapkan DC ini sebagai tersangka dalam tindak pidana pornografi sebagaimana tercantum dalam Pasal 36 nomor 44 tahun 2008 tentang Pornografi, dengan ancaman hukuman 10 tahun penjara dan atau denda Rp5 miliar," kata Azis di Mapolres Jakarta Selatan, Kamis.

Baca juga artikel terkait KASUS DINAR CANDY atau tulisan lainnya dari Adi Briantika

tirto.id - Hukum
Reporter: Adi Briantika
Penulis: Adi Briantika
Editor: Restu Diantina Putri