Menuju konten utama

Hyperpop, Musik Perlawanan Komunitas Queer yang Inklusif

Dengan musik penuh derau, nada tak beraturan, dan vokal melengking, hyperpop merupa "senjata" pendobrak standar pop, sekaligus merangkul komunitas queer.

Hyperpop, Musik Perlawanan Komunitas Queer yang Inklusif
Ilustrasi hyperpop. FOTO/iStockphoto

tirto.id - Tidak mudah bagi komunitas queer untuk dapat menikmati musik dengan aman dan nyaman. Stereotip negatif dan stigma yang masih melekat membuat mereka kerap mengalami perundungan, baik verbal ataupun fisik, di beberapa skena musik. Namun, perlahan beberapa skena musik membuka diri, bahkan berkomitmen, untuk menjamin keamanan komunitas queer dan identitas gender apa pun dalam menikmati musik. Salah satunya adalah hyperpop.

Dipopulerkan oleh musisi yang mendeklarasikan dirinya sebagai queer, seperti Charli XCX, SOPHIE, dan Ashnikko, hyperpop bisa dibilang sebagai identitas baru komunitas queer dalam skena musik, terutama untuk menyuarakan segala keresahan sekaligus mengekspresikan dirinya secara jujur. Terlebih, saat ini keberadaan mereka belum sepenuhnya diterima di masyarakat.

Hentakan musik hyperpop juga menandai sebuah era baru musik digital yang tentunya tak hanya mewakili komunitas queer, tapi juga semangat kebebasan pendengar musik generasi kekinian dalam lanskap lebih luas. Hyperpop menjadi simbol baru kebebasan dan kesetaraan gender.

Kelahiran Genre Musik Inklusif

Eksistensi hyperpop belumlah lama. Ia lahir dalam belantara jejaring digital yang berkembang pesat di kurun belasan tahun terakhir. Musik ini hadir di antara geliat musik digital seperti synthpop, bubblegum bass, dan musik industrial.

Walaupun baru diakui sebagai genre musik digital di era awal 2010-an, istilah hyperpop sudah muncul tiga dekade sebelumnya. Menurut Brook dan King dalam artikelnya yang berjudul “'Love it if we made it': Experimental pop and societal decay" (2022), istilah hyperpop pertama kali digunakan pada 1988 oleh jurnalis musik asal Inggris, Don Shewey, merujuk pada dua grup musik synth pop, Pet Shop Boys dan Frankie Goes to Hollywood.

Sheney menganggap dua band tersebut “turned pop’s star-making machinery back on itself”, meraih kesuksesan besar walaupun keluar dari gaya musik pop konvensional. Keduanya mengapropriasi mekanisme pop pada eranya untuk menumbangkan norma-norma musik populer. Namun, tentu saja saat itu istilah hyperpop belum merujuk pada genre hyperpop seperti yang mulai dikenal sekarang.

Dalam artikel jurnal bertajuk "Assembling Hyperpop: Genre Formation on Wikipedia" (2024), Eliot Bates dan kolega merunut awal kemunculan hyperpop pada 2014. Musik tersebut baru muncul di tengah besarnya arus budaya digital yang digerakkan oleh mahasiswa seni dan mode. Para "bohemian kampus" itu mengeksplorasi kecenderungan estetika lingkungan sosial internet yang terjukstaposisi serta kecemasan era kapital yang kian menyebar.

William Chea, lewat catatan Let’s Make a Hyperpop: The Internet Can Make Anyone a Star (2023), menyatakan bahwa para jurnalis dan penulis menunjuk rilisan artis SOPHIE “Bipp” pada 2013 dan berdirinya label produksi musik A.G. Cook, “PC Music” pada 2015 sebagai katalisator fondasi genre hyperpop. Rilisan itu seolah menjadi konvensi umum cetak piru musik pop yang memadukan elektro-pop, EDM, avant garde, dan rok, sekaligus merupakan platform untuk merepresentasikan LGBTQ+. Cook pun kini dianggap sebagai godfather of hyperpop.

Namun, istilah hyperpop masih belum jamak digunakan, bahkan hingga 2018. Term genre tersebut digunakan pertama kali dalam skena musik nightcore SoundCloud, sebuah remix pop yang sering dipadukan dengan gambar sampul anime. Charli XCX waktu itu segera mengeluarkan mixtape bertajuk "Pop 2" bersama artis dari label rekaman PC Music, seperti Dorian Electra, Caroline Polachek, dan SOPHIE.

Eksistensi genrehyperpop makin kentara setelah banyak pengguna Spotify membuat daftar putar bernama "hyperpop", tepatnya sejak Agustus 2019. Dua tahun kemudian, daftar putar yang sama muncul di Apple Music.

Menawarkan Estetika Tak Beraturan

Spencer Kornhaber, penulis kultur pop dan musik dari The Atlantic, menyebut hyperpop sebagai kultur perlawanan yang “noisy, ugly, and addictive”. Genre ini kental dengan karakter synthesizer yang mencolok, vokal dengan auto-tune dan kompresi berlebihan, ketukan drum berantakan, struktur lagu yang tidak biasa, serta banyaknya distorsi. Lagunya seolah diproduksi secara tidak serius dan hanya dijadikan lelucon. Musik hyperpop seperti sebuah olok-olok yang jenaka untuk musik pop, tetapi sangat mudah diterima oleh pendengar Gen-Z.

Musik hyperpop sangat dipengaruhi oleh estetika musik di era streaming. Dalam artikel jurnal Cultural Sociology (2023), Håvard Kiberg menerangkan bahwa lagu-lagu pop di era streaming cenderung berdurasi lebih pendek, bertempo tinggi, dan menghentak sejak awal (strategi frontloading). Pendengar seperti ditarik “langsung menuju intinya”.

Karakteristik hyperpop, sebagaimana ditulis Lucy March lewat artikelnya di Television & New Media (2022), biasanya berdurasi sekitar dua menit, mengandung efek suara glitchy (seperti perangkat lunak yang mengalami crash, macet, atau hang), dan vokal yang melengking. Ia seperti mencerminkan gabungan attitude antara punk yang nakal dan hip-hop yang sombong, dibalut dengan kebisingan khas musik metal.

Estetika lain dalam musik punk yang berpengaruh besar bagi hyperpop adalah spirit "do it yourself", baik terkait produksi, perekaman lagu, maupun pemasarannya. Lantaran banyak artis memproduksi lagunya secara mandiri di studio ataupun rumahan, hyperpop disebut sebagai musik bedroom-based recordings.

Vokal musik hyperpop biasanya menggunakan efek sintetik, autotune, dan pitch shifting. Karakternya pun acak: kadang-kadang menyerupai robot, patah-patah, atau bisa beralih ke lain tangga nada secara tiba-tiba. Ada juga yang mencampurnya dengan scream dan growl ala metalcore atau malah memberi efek derau. Efek glitchy pun sering digunakan sehingga menghadirkan nuansa futuristik.

Dorian Electra

Dorian Electra - Flamboyant. Youtube/DORIAN ELECTRA

Gaya fesyen musisi hyperpop tidak memiliki standar pakem. Setiap artis mengkreasikan diri secara bebas. Ennaria, misalnya, kerap menggabungkan dua hal yang kontradiktif, antara warna merah muda, dandanan imut yang sangat feminim, serta senjata dan darah. Namun, karakter modenya memang selaras dengan musik yang dibuatnya: mewakili kawaii culture sekaligus scream ala metalcore.

Dorian Electra tak kalah eksentrik. Ia seperti seorang cosplayer yang berganti-ganti kostum sesuai tokoh yang diperankan di setiap lagunya. Musiknya sangat bising dan kacau, ditambah looping yang sangat ramai. Komposisi musik dengan beat sedang itu berbaur dengan vokal penuh olahan efek eksperimental yang, bagi beberapa kalangan, terkadang aneh.

Sementara itu, Slayyyter lebih sering menggunakan warna hitam pada baju dan spandex-nya. Musiknya pun sangat kental nuansa EDM dengan beat santai dan vokal lebih konvensional. Bagi pendengar awal hyperpop, lagu dan tampilan Slayyyter masih relatif ramah di telinga.

Musik bagi Komunitas yang Terpinggirkan

Menurut studi Lena Sotevik yang terbit di Journal of Youth Studies (2024), keberagaman orientasi seksual yang bertentangan dengan norma gender konvensional masyarakat membuat komunitas queer (LGBTQ+) kerap dikucilkan dan mengalami kekerasan. Banyak kasus diskriminasi yang terjadi, mulai dari kesulitan mendapatkan pekerjaan formal, pendidikan layak, hingga akses layanan kesehatan. Tak hanya itu, kebutuhan mereka untuk berserikat dan berkumpul juga sering diganggu.

Namun, keadaan yang serba sulit itu tidak membuat mereka menyerah dan kecil hati. Dalam studinya, Sotevik menunjukkan bahwa kaum muda queer menggunakan agensi kolektif untuk menciptakan ruang dan komunitas mereka sendiri serta merumuskan dan mempraktikkan perlawanan. Bisa dibilang hyperpop adalah salah satu cara perlawanan komunitas queer dari dunia seni musik bawah tanah.

Itu sama seperti halnya musik-musik underground lainnya yang mengusung ide-ide perjuangan hak kaum terpinggirkan. Sebagaimana punk yang mengusung semangat kelas bawah, hyperpop hadir dengan tujuan utama memihak pada perjuangan kaum queer, LGBTQ+, dan transgender. Genre yang awal mulanya berkembang melalui jagad internet ini secara dominan memberikan dukungan kepada identitas gender yang berbeda dan terpinggirkan. Hal itu bisa dengan mudah diidentifikasi dengan mayoritas artis pelopor hyperpop yang mendeklarasikan dirinya sebagai queer.

Cara mereka memproduksi musik yang susah didefinisikan, apa lagi dikotak-kotakkan, seolah merepresentasikan upaya queer yang ingin membongkar klasifikasi gender kaku di masyarakat. Cameron MacDonald, melalui artikelnya di Journal of Popular Music Studies (2024), menyatakan bahwa hyperpop menawarkan solusi untuk memahami artinya melepaskan “alien” (queer) dari skema politik, sosial, dan linguistik, yang mengatur konsep manusia di bawah kapitalisme rasial cisnormatif. MacDonald juga mengamati bagaimana logika kelompok ini melarikan diri, mendistorsi, dan mengubah manusia menuju kemungkinan untuk bersuara dan hidup secara berbeda.

Musisi besar hyperpop lainnya, Charli XCX, telah menjadi ikon perlawanan kaum queer. Karya dan aksi panggung artis bernama asli Charlotte Emma Aitchison tersebut berhasil menginspirasi kaum queer untuk lebih berdaya dan berani. Lebih jauh lagi, peraih tiga piala Grammy Awards lewat album BRAT (2024) itu juga menjadi telah ikon kebebasan kaum muda di era kiwari.

Nama SOPHIE juga tak boleh ketinggalan jika kita membicarakan tentang spirit perlawanan hyperpop. Artis asal Glasgow, Skotlandia, yang memulai karir profesional dengan lagu "Nothing More to Say/Eeehhh (2014), tersebut dengan tegas memperjuangkan identitas transgender agar diakui oleh masyarakat lebih luas.

Cara yang dilakukannya pun juga cukup nyentrik, mulai dari mengemas album pertamanya, Product (2015), dengan silikon yang menyerupai mainan seks, hingga perlawanan radikalnya terhadap naturalis dan determinis biologis melalui lagu solo "Faceshopping".

ilustrasi hyperpop

Ilustrasi hyperpop. FOTO/iStockphoto

Kini dan Akan Datang

Seiring berjalannya waktu musik, hyperpop makin berkembang dan menyebar. Berkat internet, media streaming musik, dan media sosial, hyperpop telah berlabuh di telinga orang-orang di berbagai negara. Di belahan Bumi lain, ia muncul dengan bentuk dan ciri khasnya yang mungkin akan sangat berbeda dengan awal kemunculannya di Eropa.

Di blantika musik K-Pop, misalnya, estetika hyperpop terwakili oleh Aespa. Selain menggunakan efek yang absurd pada komposisi musiknya, Aespa berkomitmen mendukung kesetaraan bagi semua jenis gender, orientasi seksual, dan menentang diskriminasi terhadap komunitas queer. Hal ini merupakan gebrakan baru sekaligus langkah maju mengingat Korea Selatan merupakan negara yang masih konservatif dalam hal gender.

Di samping menerobos batas-batas gender, hyperpop terus melampaui batas-batas ras dan kesukuan. Beberapa artis kulit hitam, seperti Rico Nasty, Bree Runway, CHAV, Namasenda, Kilo Kish, ryl0, dan Jasmine Infiniti, turut meramaikan blantika musik hyperpop. Artinya, siapa pun bisa datang dan turut serta dalam skena musik ini.

Walau masih relatif baru dan belum banyak dikenal khalayak luas, perkembangan hyperpop di Indonesia sudah cukup ramai. Untuk dapat meraba siapa saja yang sudah mengisi di dalamnya, kita bisa mulai dari playlist "The sound of Indonesian Hyperpop" di Spotify. Daftar putar itu diisi oleh 83 musisi dan 1246 rilisan. Tiga teratas daftar itu diisi lagu "Genggam Tanganku" (Fellozi feat. Ardy Minaj & Noya Clarissa), "Termakan Waktu" (Wetbox feat. Lil $ilit), dan "Why can no one understanding" (Chūsha feat. Lil $ilit).

Perlahan tapi pasti, hyperpop terus menyebar dan menemukan pendengar barunya. Ia juga bermetamorfosis, bertransformasi, dan berbaur dengan gaya musik yang sudah ada sebelumnya di tempat ia baru saja datang.

Apapun bentuknya, hyperpop telah menjadi bentuk perlawanan terhadap diskriminasi gender dan simbol resistensi komunitas queer. Pada akhirnya, ia menjadi rumah pulang dan ruang aman bagi semua gender, mulai dari straight, queer, transgender, LGBTQ+, hingga kemungkinan-kemungkinan jenis lainnya yang belum diketahui di waktu depan.

Baca juga artikel terkait MUSIK atau tulisan lainnya dari Kukuh Basuki Rahmat

tirto.id - Horizon
Kontributor: Kukuh Basuki Rahmat
Penulis: Kukuh Basuki Rahmat
Editor: Fadli Nasrudin