Menuju konten utama

"Diskriminasi Transpuan di Institusi Akademis Berjalan Sistematis"

Persekusi dan diskriminasi terhadap LGBTQ tampaknya berjalan sistematis, bahkan di institusi yang selama ini diluhurkan.

Ilustrasi HL Indepth Diskriminasi Pendidikan Kelompok Transpuan. tirto.id/Sabit

tirto.id - Transpuan bukan tak mau memilih pekerjaan lebih layak dari sekadar mengamen, pekerja salon, atau pekerja seks. Tapi jebakan nasib tak berkesudahan seolah menjerumuskan mereka dalam lingkaran setan kemiskinan. Semua berjalan sistematis, dimulai dari dikebirinya hak pendidikan mereka.

Jika Anda termasuk dalam kelompok yang membangun benteng homofobia dalam konstruksi mayoritas, baca kisah ini pelan-pelan lalu resapi: Sudah pantaskah kita bersikap layaknya Tuhan?

Agatha Dafarel, 19 tahun, bukan mau menjual kisah pilunya untuk merasa dikasihani. Ia hanya ingin memberi tahu dunia bahwa ada sistem buruk yang harus dibenahi agar tak terus-terusan merusak kesehatan mental dan merampas masa depan orang.

Saat ini Agatha tengah menempuh pendidikan tinggi di sebuah universitas di Bandung. Namun ingatan sewindu lalu soal perjuangan menghadapi pelecehan masih terekam jelas seolah baru saja ia alami kemarin sore. Semuanya berawal dari keputusan melela yang ia ambil di usia remaja muda.

“Aku tak pernah bersembunyi. Soal ekspresi genderku, ketika mereka tanya, ya aku jawab. Sebagian dari mereka juga tidak kaget ketika mendengar jawabanku, karena selama ini aku sangat ekspresif,” kata Agatha membuka percakapan kami lewat saluran telepon.

Saat duduk di bangku sekolah menengah pertama, aksi pelecehan verbal seperti cat calling dan perundungan sudah menjadi makanan sehari-hari Agatha. Ia kerap mendapat siulan sebagai bahan ejek terhadap ekspresi gendernya. Kondisi itu membikin ia jatuh dalam kolam kecemasan yang dalam.

Saat beranjak ke jenjang pendidikan menengah atas Agatha masuk ke sekolah kejuruan teknik komputer. Mayoritas siswanya jika dipersentasekan, lebih 70 bagian adalah laki-laki. Pada level ini kolam kecemasan Agatha seakan tak dibiarkan surut dan justru bertambah dalam.

“Perundungan yang aku terima bertambah, tak cuma secara emosional tapi juga secara fisik. Aku sangat takut, semuanya (siswa) laki-laki, mereka ada di mana-mana dan mereka mengontrol bagaimana aku harus bersikap (sebagai laki-laki).”

Agatha kecil mulai mempertanyakan konsep laki-laki dan perempuan saat berumur sekitar 3-4 tahun. Dalam ingatan masa lalunya, ia heran pada sistem kaku yang mengharuskan laki-laki memakai warna-warna gelap, sementara sebaliknya bagi perempuan. “Sungguh membosankan,” pikirnya kala itu.

Ia lalu tumbuh tanpa menyadari ada perbedaan dalam dirinya, sebab Agatha memang tak suka warna merah jambu. Ia juga bergaul dengan banyak teman laki-laki, doyan main gim, bahkan jago menggocek bola sepak. Sekilas, ia meyakini dirinya tidak terlalu feminin, tapi sekitar justru memandang sebaliknya.

“Aku rasa keluargaku melihat perbedaanku sejak kecil tapi mereka denial. Saat itu aku cuma ingat, bahwa aku tak mau menjadi laki-laki ataupun perempuan.”

Tapi sekarang saat saya tanya bagaimana ia mendefinisikan diri sendiri, Agatha menjawab mantap, “Transwomen. Panggil aku Agatha, atau cukup ‘kak’ saja.”

Cerita berikutnya bergulir saat pertama kali Agatha menginjakkan bangku kuliah di usia 17 tahun. Ia pikir penderitaan dan perundungan di masa sekolah menengah dulu akan pupus. Wajar saja Agatha menggantungkan harapan sedemikian rupa, sebab idealnya perguruan tinggi merupakan tempat bagi orang-orang yang lebih berpikiran terbuka dan toleran, bukan?

Tapi prasangka baiknya terlalu berlebihan. Perundungan dan diskriminasi pendidikan yang ia dapat justru semakin menebal. Tak hanya dari teman dan senior, tapi juga dosen. Satu-per satu ia buka bobrok institusi perguruan tinggi dalam memperlakukan mahasiswa dari komunitas minoritas gender, LGBTQ.

Baru hari pertama masa orientasi saja Agatha sudah harus berkonflik dengan senior jurusan. Ceritanya sang senior sengaja menunjuk dirinya di depan podium dan mempermalukan Agatha. Si senior merasa dengan ekspresi gendernya, Agatha tak pantas menjadi ketua kelompok mahasiswa baru.

“Kenapa kamu bersikap seperti itu? Kamu harus berubah! Kelompok ini kenapa tidak pilih yang lebih baik, apa nggak ada yang lain?”

Seperti ditusuk seribu anak panah, Agatha cuma bisa membeku di hadapan 250 teman seangkatannya. Ia seperti tak pernah merasakan emosi itu sebelumnya, tapi yang jelas rasa sakit hatinya valid, sampai-sampai ia menangis karena menahan marah. Agatha sungguh tak pantas menerima perlakuan demikian.

Gara-gara insiden di masa orientasi, ia kehilangan 13 kg berat badan dalam waktu 2 bulan. Kesehatan mentalnya dikikis pelan-pelan, pun oleh para dosen dan jajaran pengurus perguruan tinggi. Di kelas, dosen selalu menganggap dirinya bodoh ketika bertanya atau kurang mengerti materi.

Lain itu saat Agatha berpendapat di kelas atau kelompok belajar, ia selalu ditatap seperti sosok yang menyebalkan. Ketika menjadi pemegang Indeks Prestasi (IP) tertinggi seprodi pun, prestasinya gugur akibat sentimen gender. Di kampus Agatha, seharusnya pemilik IP teratas berhak mendapat beasiswa pendidikan. Namun hak istimewa itu tak pernah ia terima hingga saat ini.

“Hampir semua dosen melakukan diskriminasi terhadapku. Mereka juga tutup mata terhadap semua perundungan kelompok yang aku terima. Aku bisa apa? Aku hanya seorang anak 17 tahun, tanpa kekuatan apa pun saat itu.”

Di tahun ketiga ia berkuliah, mental Agatha tumbang. Ia lalu memutuskan pergi ke psikolog karena tak sanggup lagi menanggung beban perundungan yang ia pikul bertahun-tahun lamanya. Hingga kini, Agatha masih terus berjuang untuk memulihkan kesehatan mentalnya.

“Di sekolah menengah atau kuliah sama saja, aku tetap mendapat penolakan. Bedanya di perguruan tinggi sangat sistematik (perundungan dan diskriminasinya), dari yang punya power sampai nobody.”

Infografik HL Indepth Diskriminasi Pendidikan Transpuan

Infografik HL Indepth Diskriminasi Pendidikan Kelompok Transpuan. tirto.id/Sabit

Institusi Pendidikan adalah Sumber Stigma dan Stereotip

Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Masyarakat setiap tahun melakukan pemantauan bentuk-bentuk diskriminasi terhadap LGBTQ. Hasil pemantauan di tahun 2016 hingga terakhir di tahun 2019 kemarin konsisten menyebut institusi pendidikan sebagai tiga teratas aktor pelaku stigma, diskriminasi, dan stereotip pada LGBTQ, selain politisi dan ormas.

Sisanya adalah masyarakat sipil, tokoh agama, pemerintah daerah, akademisi, kementerian, tenaga kesehatan, dan aparat. LBH Masyarakat mengelompokkan bentuk-bentuk diskriminasi dalam 5 jenis, yakni persekusi, upaya paksa dan pemidanaan, pelarangan pendidikan, pembubaran acara, dan pelanggaran HAM serta kekerasan lain.

Kasus diskriminasi di Universitas Andalas (Unand) dapat menjadi pengingat bagi kita betapa sulitnya kelompok LGBTQ mendapatkan hak pendidikan mereka. Sebagai penyegaran memori, pada 2017 perguruan tinggi tersebut membuat aturan persyaratan bebas LGBT bagi calon mahasiswa baru.

Saat kebijakan itu keluar, Universitas Andalas banyak mendapat protes atas dasar pelanggaran hak pendidikan dan prinsip non diskriminasi yang dijamin Undang-Undang Dasar 1945. Mereka lalu mencabut aturan tersebut, tapi gelombang ketidakadilan pada kelompok LGBTQ di institusi pendidikan tak terputus di sana.

Di tahun 2018 muncul lagi penolakan pada peserta didik LGBTQ yang datang dari jenjang pendidikan yang lebih awal. Para guru di SMPN 2 Tarogong mengajak sekitar seribu peserta didiknya untuk memprotes dan melakukan deklarasi penolakan LGBTQ, termasuk sebagai peserta didik.

Laporan LBH Masyarakat di tahun tersebut mengungkap ada sekitar 22 berita memuat stigma bahwa LGBTQ dapat menjadi ancaman masa depan generasi muda Indonesia. Lain itu mereka juga memuat wilayah-wilayah dengan kasus stigma serta diskriminasi tertinggi terhadap minoritas gender tersebut, diantaranya, Jawa Barat, DKI Jakarta, Sumatera Barat, Riau, dan Jawa Timur.

Kisah dari Alegra Wolter--seorang dokter transpuan pertama di Indonesia yang terbuka terhadap identitas gendernya--dalam meraih gelar dokter adalah manifiestasi perlawanan diskriminasi pendidikan terhadap kelompok LGBTQ. Kelulusan Alegra hanya berjarak kurang dari satu tahun ketika gelombang protes terhadap Unand ramai dilancarkan, yakni di 2018.

Ia memperjuangkan seremoni kelulusannya menggunakan kebaya dengan usaha penuh karena memutuskan melela saat menjalani fase ko-asisten (koas) di tahun 2016. Alegra sadar institusi pendidikan masih kurang berpikiran terbuka, jika tak mau dibilang intoleran terhadap kelompok LGBTQ.

“Saat itu aku bingung harus konsultasi ke siapa, bahkan (dosen) ada yang menyarankan untuk menunda transisi sampai kelulusan. Tapi rasanya beban psikologisku sudah di ubun-ubun,” tutur Alegra kepada Tirto beberapa waktu lalu.

Alegra sendiri sempat berusaha menekan ekspresi gendernya sampai benar-benar merasakan gender dysphoria-- ketidakcocokan antara jenis kelamin biologis dengan identitas gender--saat memasuki masa kuliah. Titik balik kehidupannya dimulai pada tahun 2014 saat ia serius melakukan observasi dan memutuskan untuk bertransisi.

Setahun sebelum masa koas, Alegra memang telah menjani terapi hormon untuk menekan hormon dominan laki-laki, sehingga pertumbuhan dan ciri fisik feminin seperti distribusi lemak, kulit, dan rambut mulai muncul.

Di tengah kepadatan koas, tugas, dan ujian kelulusan dokter ia bertransisi menjadi lebih feminin dari cara menata rambut, berpakaian, dan berdandan. Keputusan itu membuat Alegra menerima respon kurang baik dari beberapa civitas akademik di kampus yang kurang berpikiran terbuka.

Ia dianggap menyalahi tata aturan dalam berpakaian di perguruan tinggi, sehingga di hari-hari berikut, Alegra terpaksa menggunakan rambut palsu untuk menyembunyikan rambut aslinya.

“Sangat disayangkan, dosen dan kolega di lingkungan pendidikan kesehatan banyak yang belum memiliki pikiran terbuka terhadap dimensi seksualitas dan gender,” ungkapnya.

Padahal, lanjut Alegra, para tenaga kesehatan dengan latar belakang keilmuan medis seharusnya lebih memahami isu tersebut. Bahwa perubahan menjadi transgender pun memiliki banyak tantangan, baik dari sisi psikologi maupun fisik--yang berkaitan dengan hak memperoleh kesehatan.

“Setiap orang punya kebutuhan kesehatan yang berbeda, sudah semestinya tenaga kesehatan lebih punya empati dan rasa kasih terhadap mereka.”

Sayangnya kenyataan berkata lain, kampus kedokteran justru memuat dua aktor utama pelaku stigma, diskriminasi, dan stereotip pada LGBTQ, yakni institusi pendidikan sekaligus tenaga kesehatan. Bahkan saat Alegra berhasil melalui tantangan transisi di fase koas, ia kembali berjuang agar bisa datang di acara kelulusannya sendiri.

Sehari sebelum acara wisuda, pihak kampus melarang Alegra menggunakan kebaya. Jika mau datang, ia harus memakai jas layaknya laki-laki. Beruntung empat orang dosen bidang hukum, psikiatri, psikologi dan pendidikan membela Alegra saat ia memperjuangkan hak kelulusannya.

“Itu momen terbesar yang menurut saya sangat mengharukan. Mereka bilang (ke pihak kampus) aturan ini salah karena sudah masuk kekerasan dan diskriminasi.”

Setelah melewati pergumulan panjang memperjuangkan hak pendidikan, keinginan tak muluk Alegra untuk dapat memakai kebaya saat prosesi sumpah dokter akhirnya dapat tercapai.

Diskriminasi Pendidikan itu Berjalan Sistematis

Selepas bertransisi menjadi transpuan, Alegra dikenal sebagai aktivis sekaligus dokter yang fokus memberikan pelayanan kesehatan mental dan reproduksi di berbagai tempat, termasuk salah satunya di Klinik Angsamerah, klinik yang berfokus pada bidang kesehatan seksual dan reproduksi di Jakarta.

Alegra merasa perubahan ekspresi gender yang ia lakukan tidak berpengaruh pada kinerja dan profesionalitas sebagai seorang dokter. Malahan menjadi trangender membuat Alegra memiliki kemampuan berempati lebih, terutama pada isu hak kesehatan seksual dan reproduksi. Para pasien Alegra tak pernah protes soal identitas gendernya, mereka menerima Alegra secara utuh sebagai dokter, sebagai individu profesional di bidang kesehatan.

“Ekspresi gender itu identitas diri yang menjadi hak masing-masing individu, sehingga perubahan ini justru punya efek positif. Saya lebih percaya diri, selaras, dan punya ketenangan batin karena tak harus pura-pura sesuai ekspektasi orang.”

Perjuangan Alegra dan Agatha adalah bukti nyata sulitnya kelompok LGBTQ memperoleh pendidikan sebagai hak dasar mereka. Hanya sedikit dari mereka yang mampu mengakses sekolah formal hingga ke jenjang perguruan tinggi. Ibaratnya, bisa menyentuh bangku sekolah menengah atas saja sudah “syukur”.

Kondisi ini kemudian berimbas pada penurunan kualitas hidup mereka, terutama di lini ekonomi dan kesehatan. Sampai sekarang memang tidak ada statistik resmi dari negara yang memuat tingkat pendidikan dan kesejahteraan kelompok LGBTQ. Namun hasil studi Jurnal Ilmu Kesehatan (2020) di Lampung dapat menjadi gambaran singkat.

Peneliti mengukur tingkat pendidikan rata-rata pada kelompok LGBTQ di sana, dihubungkan dengan kualitas hidup mereka. Rerata tingkat pendidikan sampel penelitian berada di level menengah (termasuk menengah pertama dan atas) sebesar 54,3 persen.

Sebanyak 31,4 persen responden hanya mampu menamatkan pendidikan di sekolah dasar, sisanya 14,3 persen berhasil mencapai pendidikan tinggi. Kelompok LGBTQ dengan pendidikan dasar paling banyak berada di kategori kualitas hidup rendah (63,6 persen), hanya 9,1 persen dari tingkat pendidikan ini yang mampu meraih kualitas hidup tinggi.

Kualitas hidup sedang-tinggi pada kelompok pendidikan menengah masing-masing mencapai 63,2 persen dan 36,8 persen. Sementara pada kelompok pendidikan tinggi kualitas hidup sedang memenuhi angka paling besar, sebanyak 80 persen, dengan kualitas hidup tinggi sebesar 20 persen.

Jadi seperti prolog di awal, kelompok gender minoritas ini bukan tak mau pindah dari profesi mereka yang tak cukup menghasilkan. Mereka tak punya pilihan, karena faktanya lini pekerjaan lain seringkali mensyaratkan kemampuan spesifik dengan selembar “ijazah” sebagai bukti kompetensi. Sementara butuh akses pendidikan mumpuni untuk mendapatkan syarat-syarat tersebut.

Jika ditelaah, masalah diskriminasi pendidikan ini bermula dari sistem sosial yang pincang dalam memandang perbedaan gender. Tak ada edukasi seksual dan reproduksi di lingkungan akademis, bahkan ketika Kemendikbud membuat modul nasional pendidikan kesehatan reproduksi (kespro) baru-baru ini, mereka tidak memasukkan bab spektrum gender.

“Modul pendidikan kespro belum ada kalau soal LGBTQ, di undang-undang juga belum ada aturan khusus mengenai pendidikan untuk anak-anak dengan kebutuhan khusus ini (LGBTQ),” terang Irmawati, Analisis Perencanaan Program dan Evaluasi Direktorat Guru Pendidikan Dasar Kemendikbudristek RI menjawab pertanyaan Tirto mengenai perkembangan modul kespro nasional, beberapa waktu lalu, Rabu, (23/2).

Tapi menyoal hak pendidikan, Irma menegaskan tak boleh ada diskriminasi pada kelompok manapun. Jika mendapat beasiswa maka hak tersebut tak boleh gugur karena alasan gender. Sayangnya ketika ditanya cara menyikapi diskriminasi minoritas gender di lingkungan pendidikan, jawaban Irma normatif belaka.

“Anak diminta mengadukan hal tersebut ke pengajar, dan pendidik harus menyikapi, tidak boleh tutup telinga,” katanya. Padahal kita tahu, guru merupakan salah satu aktor pelaku diskriminasi pada LGBTQ, alih-alih menjadi penengah.

Guna mendapat gambaran ideal tentang sistem pendidikan yang adil dan toleran bagi seluruh kelompok, kami meminta komentar pemerhati pendidikan sekaligus dosen Universitas Multimedia Nusantara Doni Kusuma. Buat Doni, memperoleh akses pendidikan jelas merupakan hak asasi yang dilindungi undang-undang.

“Ketika lingkungan perguruan tinggi melakukan diskriminasi, itu sudah distorsi, karena universitas tempat mengkaji, mencari kebenaran universal. Apalagi LGBTQ ini kan masuk kajian akademik dan sosial,” terang Doni saat berbicara kepada Tirto melalui sambungan telepon, Rabu, (2/3).

Menurut Doni, LGBTQ sebagai minoritas gender sejatinya sudah ada dalam relasi budaya Indonesia, misal terwujud dalam konteks kesenian tarian Lengger Lanang dari Banyumas, atau Warok dan Gemblak dalam seni Reog Ponorogo. Jadi seharusnya lingkungan akademis melihat LGBTQ sebagai bagian dari implementasi ilmu sosial budaya.

“Lihat mereka sebagai manusia utuh yang punya hak-hak. Perspektifnya harus diluruskan, kenapa melihat mereka (LGBTQ) harus negatif, kenapa dipermasalahkan selama tidak melanggar hukum?”

Di akhir wawancara kami, Doni memberi jeda sejenak, kemudian melanjutkan kalimat pungkasan--yang rasanya patut ditanyakan kepada semua aktor yang membangun benteng homofobia dan diskriminasi kepada LGBTQ. “Kenapa kita bersikap seolah Tuhan?”

Baca juga artikel terkait DISKRIMINASI LGBT atau tulisan lainnya dari Aditya Widya Putri

tirto.id - Sosial budaya
Reporter: Aditya Widya Putri
Penulis: Aditya Widya Putri
Editor: Adi Renaldi