Menuju konten utama

Nimona, Upaya Menyenangkan dalam Mengetuk Hati & Membuka Pikiran

Nimona memaparkan banyak poin. Alegori atas apa yang lazim dialami orang-orang transgender, atau secara umum mereka yang gender fluid

Nimona, Upaya Menyenangkan dalam Mengetuk Hati & Membuka Pikiran
Film NIMONA. FOTO/IMDB

tirto.id - Sebelum sampai tiba ke hadapan kita dalam bentuk film animasi, Nimona (2023), kisah fantasi sains tentang sosok shapeshifter (pengubah wujud) karangan kartunis ND Stevenson mesti menempuh jalan panjang dan terjal.

Sejak dirilis oleh Stevenson pada 2012 lalu di Tumblr, kisah dan art style-nya terus berkembang. Tiga tahun kemudian, versi cetaknya hadir dan diterjemahkan ke banyak bahasa, termasuk bahasa Indonesia.

Proyek film animasi yang semula hendak digarap Blue Sky Studios ini dicanangkan rilis pada 2020 lalu. Namun, proyeknya terhenti ketika Disney--yang mengakuisisi Fox (induk perusahaan Blue Sky)--menutup studio tersebut pada 2021.

Nimona menemukan jalannya ketika Annapurna Pirctures mengambil alih proyek. Robert L. Baird dan Lloyd Taylor ditunjuk untuk menulis naskahnya, sementara duo sutradara/storyboard artist Nick Bruno and Troy Quane didapuk sebagai sutradara. Film animasinya akhirnya tayang di Netflix sejak Juni lalu.

Sekilas tampil laiknya putri dalam tuturan bak dongeng ala Disney, Nimona hadir dalam wujud terbarunya, dengan corak serta pesona tersendiri yang menonjol.

Dunia dan Karakter Campuran Banyak Pengaruh

Ini tak lain ialah satu dari sekian banyak kisah yang diawali klise "Pada zaman dahulu...", di sebuah kerajaan, dengan konflik antara manusia dan monster. Namun selalu ada cara untuk memodifikasi format hikayat usang.

Nimona memulai modifikasi itu dengan penggambaran dunianya. Satu milenium setelah Gloreth sang pahlawan kerajaan menumpas monster, tradisi kesatria tetap dipelihara di dunia berdesain retrofuturistis. Berkilaunya spekulasi masa depan dengan mobil-mobil terbang, neon serta hologram, dipadukan dengan kesatria berkuda, berpedang, dan berbaju zirah.

Di dunia techno-medieval (Stevenson menyebutnya monkpunk), tembok bebatuan layaknya kota abad pertengahan dibangun di sekeliling kerajaan, di mana orang-orangnya punya kebiasaan seperti merekam diri atau aktif di media sosial. Aktivitas yang lebih dekat dengan manusia hari-hari ini, yang kelak diberdayakan ke dalam plotnya.

Sebuah dunia abnormal yang tak hanya mengejutkan, tapi sukses membedakan diri. Seperti halnya dunianya, naratif Nimona merupakan gabungan dari banyak aspek yang bikin kita merasa familier, yang kemudian dieksplorasi lebih jauh.

Karakter utamanya, Nimona (disuarakan Chloë Grace Moretz) tak ubahnya sosok pemberontak, agak jauh dari stereotipe putri (Disney). Mulai dari potongan rambut gaya "chelsea" berwarna pink, postur agak tambun, hingga kegiatan mengacau atau vandal terhadap benda-benda yang ditemuinya.

Alih-alih ngeselin, ia lebih menyerupai kucing, atau apa pun hewan peliharaan yang doyan berbuat onar tapi tak bisa berhenti untuk dikasihi. Dan dia adalah sosok shapeshifter.

Nimona dapat menjelma badak, paus, bahkan manusia lain kapanpun ia mau. Hidup sendirian dalam evil lair-nya lama-lama bikin dia bosan dan berniat melamar sebagai sidekick untuk seorang villain. Sosok yang dicarinya adalah yang serupa dengannya, dalam konteks sama-sama dibenci warga kerajaan, yakni Ballister Boldheart (Riz Ahmed).

Keduanya tak beraksi sebagai duet bandit pengacau. Pertualangan duet tak biasa ini berawal dari upaya membersihkan nama baik Ballister yang dibingkai sebagai pembunuh ratu. Banyak aksi kejar-kejaran seru dan kocak, sampai akhirnya malah menjadi sosok-sosok penyelamat kerajaan.

Sebagaimana dongeng yang layak, di balik kisah yang sekilas terdengar umum, ada sederet pesan yang menyumsum.

Monster dan Simbolismenya

Setidaknya dua kali Ballister menanyakan kepada Nimona, "Kau ini apa?" Jawabannya sama dan singkat, "Aku Nimona."

Pengulangan itu memiliki beberapa fungsi sekaligus. Nimona yang enggan membuka diri terhadap manusia, atau lebih jauh lagi, ia menekankan siapa atau apa dirinya tidaklah penting. Yang terpenting adalah bahwa saat tak ada satu jiwa pun hadir untuk Ballister, dia yang bukan manusia, ada di sana.

Dalam momen lain, Ballister mengeluhkan perubahan-perubahan wujud Nimona, tepatnya saat dia mengambil wujud konyol gorilla berbulu pink. Bagi sang kesatria, akan jauh lebih mudah jika berbincang dengan Nimona yang "biasa", yang berwujud anak perempuan. Wujud yang biasa saja bakal menguntungkan sang monster demi penerimaan dari orang banyak.

Tapi bagi Nimona, ada kegelisahan menerpa jika ia bertahan dalam satu wujud yang sama. Shapeshifting-lah yang membebaskannya, yang akhirnya bikin dia merasa hidup.

Dalam waktu singkat, serta diselipkan ke dalam plot dengan cermat, Nimona memaparkan banyak poin sekaligus. Alegori atas apa yang lazim dialami orang-orang transgender, atau secara umum, mereka yang gender fluid. Mulai dari pengalaman berjibaku soal identitas hingga penerimaan publik, dan penerimaan diri.

Salah satu penyampaian terbaik ihwal pengalaman akan identitas diri memang dengan menjadikannya alegori dalam kisah yang fantastis. Kita telah melihatnya dari The Matrix (1999), Luca (2021), dan banyak lagi. Kian berlapis tatkala Nimona menyertakan monster sebagai kiasan.

Dalam skala lebih besar, kisah Nimona bisa dibaca sebagai pengalaman apa dan siapa pun yang dicap outsider, kaum dan golongan mana pun yang dikucilkan masyarakat hingga hari ini. Nimona berulang kali menunjukkan prasangka terhadap monster (golongan berbeda), yang sialnya sistematis. Terus dilanggengkan sebagian orang dewasa.

Sedari kecil, anak-anak dibenamkan pemahaman bahwa, mengutip Nimona, "Mereka tumbuh dengan keyakinan bahwa mereka bisa menjadi pahlawan jika mereka mengarahkan pedang menuju jantung 'sesuatu yang berbeda'."

Namun Nimona tetap optimis. Akan selalu ada orang-orang seperti Ambrosius Goldenloin (Eugene Lee Yang), kesatria sekaligus kekasih Ballister yang pada akhirnya tercerahkan.

"Kita salah tentang segalanya," tukas Ambrosius pada penghujung kisah.

Satu kalimat singkat yang bisa dimaknai sebagai eksplorasi Nimona atas homofobia dan bigotry (kefanatikan).

Tak Pernah Lupa Menghibur

Segala subteks di atas tak disampaikan dengan cara berkhotbah. Tema-tema krusial dan darurat menyoal kemanusiaan itu disampaikan dengan tetap menyediakan sebuah hiburan.

Berbagai siasat diterapkan untuk membuat ceritanya jadi cukup distingtif. Sisi-sisi dunia yang modern dan kuno semuanya memiliki kegunaan. Begitu pun kemampuan shapeshifting Nimona yang bisa jadi bumerang di tangan antagonis yang cerdik.

Nimona selalu menyenangkan, bahkan ketika ia tak menyenangkan. Manakala plot mengambil arah berbeda dengan menghidangkan kisah masa kecil Nimona yang memilukan, ia tetap bisa digolongkan cerita yang ditulis dengan baik.

Kita jadi paham kebiasaan vandal Nimona berangkat dari masa lalunya. Kepribadian masa bodoh itu berakar dari keputusasaan, bahwa tak ada yang benar-benar penting lagi di dunia baginya--selain menemukan sosok 'villain' lainnya.

Pengalaman buruk Nimona dieksplorasi sampai ke tahap ekstrem seperti niat mengakhiri hidup. Ini memberikan kedalaman cerita, yang berujung pada aksi heroik menerima tembakan meriam dari villain kisah yang asli, meledak berkeping-keping menghancurkan tembok harfiah maupun kiasan, sekaligus menyelamatkan banyak nyawa. Jadi kisah zero to hero, dongeng superhero yang paripurna.

Infografik Misbar Nimona

Infografik Misbar Nimona. tirto.id/Ecun

Poin-poin terpenting diangkut selagi kisahnya melaju cepat. Seluruhnya ditampilkan dengan ringkas, bahkan kelewat ringkas. Terdapat beberapa sektor yang tampaknya bisa digali lebih mendalam, semisal sang villain yang kelewat dua dimensional.

Saya baru sempat melihat-lihat, belum membaca penuh novel grafisnya, dus, tak dapat mengukur seberapa banyak perubahan nuansa dalam naratifnya. Sekilas, tampak perubahan pada penampilan Ballister yang kini lebih menyerupai voice actor-nya, terlihat pula pergeseran desain dunia yang lebih drastis serta art style-nya secara keseluruhan.

Film animasinya jelas mengambil pendekatan visual yang "lebih umum", yang mudah diterima banyak kalangan. Dengan desain mata besar seperti anime, campuran 3D dengan ilustrasi 2D dengan transisi mulus meleburnya garis-garis serta kontur berbeda, dan beberapa komponen yang memberikan kesan inilah hasilnya bila Arcane dipadukan dengan film-film Cartoon Saloon, terutama Wolfwalkers.

Dialog-dialognya luwes, yang dimungkinkan dengan karakter utama seperti Nimona yang mudah disukai dengan ragam polahnya yang konyol tapi juga tidak cringe. Disertai berderet humor dengan comedic-timing yang jitu, lazimnya melibatkan reaksi dari Ballister melihat ulah sidekick-nya. Seluruhnya dibawakan dengan pantas oleh para voice actor, terlebih Chloë Grace Moretz dan Riz Ahmed.

Music score arahan Christophe Beck cukup mampu mengimbangi keliaran animasinya. Pilihan lagunya menguatkan kesan rebel tapi tetap fun yang cocok untuk Nimona, mulai dari "Go!" oleh Santigold feat. Karen O, "Banana Splits" oleh The Dickies, hingga ditutup dengan original song "T-Rex" oleh k.flay.

Nilai-nilai yang diperjuangkan tidak ringan. Jalan yang ditempuh di dunia nyata untuk mencapai ending serupa filmnya bakal jauh lebih terjal ketimbang proses sampainya kisah ini ke medium layar kaca.

Tapi Nimona mengatakan bahwa dengan bergandengan tangan, dengan toleransi dan penerimaan, akhir yang baik untuk semua golongan bisa dicapai. Sejauh ini ia, mestinya, cukup untuk mengetuk hati, membuka pikiran, memanusiakan.

Baca juga artikel terkait FILM ANIMASI atau tulisan lainnya dari R. A. Benjamin

tirto.id - Film
Penulis: R. A. Benjamin
Editor: Irfan Teguh Pribadi