Menuju konten utama
Misbar

Cartoon Saloon: Mitologi Irlandia Bangkit Lewat Animasi

Khalayak luas akhirnya terpapar kisah-kisah mitologi Irlandia dalam film-film animasi dengan daya pikatnya sendiri.

Cartoon Saloon: Mitologi Irlandia Bangkit Lewat Animasi
Film cartoon saloon. FOTO/cartoonsaloon.ie/

tirto.id - Warna hijau, bir hitam, daun semanggi (shamrock), leprechaun, varian hijau lain, dan bir hitam lagi, bagai sudah jadi keniscayaan yang lazimnya terpikirkan pertama kali kala mendengar nama "Irlandia". Lebih jauh lagi, steretotip bahwa semua orang Irlandia (Irish) adalah pemabuk, atau sudah pasti berambut dan berjanggut merah.

Kenyataannya, tidak semua Irish berambut merah, tentunya. Dan tidak semua orang Irlandia pemabuk—imaji yang melekat akibat kampanye anti-imigran lawas Amerika Serikat. Untuk urusan yang tidak lebih sensitif—misalnya warna hijau dan bir hitam—memang sulit dilepaskan sakit kuatnya melekat pada identitas negeri berjuluk Pulau Emerald ini.

Irlandia sejak lama telah mengekspor ragam produk budaya dengan jati diri yang kuat. Dalam budaya musik populer, kita terbiasa dibuai langgam vokal surgawi Enya dan Dolores O'Riordan. Diaspora Irlandia mengenalkan kita pada Dropkick Murphys dan aksi-aksi Celtic Punk lainnya. Di tanah seberang, Skotlandia, orang-orang Irlandia mendirikan klub sepakbola legendaris bernama Celtic FC (Glasgow Celtic). Untuk urusan minum-minum, tempat kongkow atau pub khas Irlandia telah tiba di kaki Himalaya hingga Jakarta.

Ada kebanggaan akan identitas dan kultur tanah air di sana, di manapun mereka berada. Lantas, bagaimana dengan perfilman?

Dari beberapa tahun terakhir, Anda barangkali sudah menyaksikan Brooklyn (2015), Sing Street (2016), atau, jika ditarik lebih ke belakang, drama perang garapan Ken Loach, The Wind That Shakes the Barley (2006). Dengan segala rupa catatan "ekspor" tersebut, kehadiran deretan film animasi hebat produksi Irlandia tinggalmenunggu waktu saja—setidaknya hingga Thomas "Tomm" Moore, salah satu pendiri Cartoon Saloon, mulai menyadari begitu banyak yang bisa digali dan diangkat dari tanah kelahirannya.

“Aku tumbuh dengan benar-benar tenggelam dalam komik Batman dan kartun Jepang dan Amerika, dan tidak menyadari ini semua di sekitarku,” kenang Moore.

Berkat Cartoon Saloon, khalayak luas akhirnya terpapar kisah-kisah mitologi Irlandia dalam film-film animasi dengan daya pikatnya sendiri.

Irish Folklore Trilogy

Trilogi kisah rakyat Irlandia yang diangkat Cartoon Saloon merupakan sebuah trilogi yang longgar (loose trilogy), atau kadang disebut trilogi tematik. Ia tidak memecah suatu cerita menjadi tiga bagian layaknya trilogi The Lord of the Rings atau trilogi Mad Max (sebelum Fury Road). Contoh loose trilogy lain yang kiranya serupa adalah The Dollars Trilogy bikinan Sergio Leone.

Maka, alih-alih menonjolkan keberlanjutan cerita, The Secret of Kells, yang diikuti Song of the Sea dan ditutup oleh Wolfwalkers, menjadi tiga film yang berbagi kesamaan soal mitologi Celtic dan lokasi di Irlandia.

Lantas, apa saja yang bisa diantisipasi sebelum menyaksikan film-film Cartoon Saloon?

Pertama, dan yang paling kentara, tentu gambar-gambarnya yang distingtif. Kecintaan Moore pada "Disney lama" tampak pada Cartoon Saloon yang menerapkan metode tradisional, yakni gambar tangan dua dimensi sebagai wadah penyampaian cerita. Gaya gambar datar yang terus dipertahankan, selain memberi kesan Celtic yang otentik, juga seakan menjadi pakem untuk menggambarkan Irlandia dan segala isinya.

Untuk segi musik latar (scoring), komposisi Bruno Coulais, dentam bodhrán, dan denting mandola oleh Kíla, band Irish world music kontemporer mengiringi sepanjang trilogi. Sundtrack utama seperti “Song of the Sea”(pada film berjudul sama) yang dibawakan Lisa Hannigan dan Running with the Wolves yang dinyanyikan Aurora Aksnes pada Wolfwalkers, hadir dalam porsi yang pas; tidak terasa "mengganggu" untuk penonton yang lebih tua, terutama jika melihat upaya studio-studio besar dalam memasarkan lagu soundtrack pada film-filmnya.

Selain gambar-gambar yang menjadi telah menjadi ciri khas, tiga film dalam Irish Folklore Trilogy berkutat pada tema petualangan anak. Ia menampilkan perspektif anak yang serba ingin tahu (selalu ada adegan anak-anak yang mengintip), kungkungan tembok tinggi panjang dari dunia luar, masa transisi menuju remaja, figur ayah tunggal yang merasa paling tahu hal terbaik untuk anaknya, dan teman dari ras yang berbeda dengan karakter utamanya.

The Secret of Kells mengambil latar di biara pada abad ke-9, tepatnya periode ekspansi North Men (Viking) ke Irlandia. Film debutan Tomm Moore bersama Nora Twomey mengangkat metafora rumitnya penciptaan dan penyampaian suatu karya. Kells merupakan sebuah film animasi yang tampak seperti buku cerita bergambar abad pertengahan yang bergerak. Bagian petualangannya terasa lebih singkat. Dibandingkan dengan dua film berikutnya, ia bisa dibilang yang paling muram.

Song of the Sea yang rilis lima tahun setelah Kells paling banyak memuat makhluk-makhluk dan dewa-dewi mitologi Celtic/Irish seperti Faeries, Selkie, Mac Lir, dan Macha. Ia mengambil lokasi di kota kecil pelabuhan pada 1987, tahun yang dilewati Moore sebagai anak-anak. Bagian kedua trilogi ini menyingkap bahwa pada era yang lebih maju, hal-hal magis masih terjadi dan beredar, terutama di sekeliling anak-anak. Di antara ketiga film, Song of the Sea bisa dikatakan memancarkan kehangatan yang paling membekas kuat.

Cartoon Saloon mundur ke zaman yang lebih jauh pada film penutup trilogi. Di kota abad pertengahan Kilkenny, pada masa penaklukkan Irlandia oleh Oliver Cromwell, terjadi konflik berskala lebih besar ketimbang dua film sebelumnya. Wolfwalkers mengangkat mitos likantropi Irlandia, Werewolves of Ossory, dalam bingkai kisah yang lebih luas yang mencakup: kolonialisme, feminisme, kerusakan lingkungan, bahkan polarisasi dan persenggolan agama yang datang belakangan (Kristen) terhadap kepercayaan kuno (Pagan).

Isu-isu lingkungan dan anti-perang dalam kisah fantasi mau tak mau membuat kepala menoleh ke arah sebuah pabrik kisah fantasi di Timur Jauh, tepatnya Jepang. Moore sendiri mengakui bahwa selain Disney lama, film-film Hayao Miyazaki dan Isao Takahata sangat memengaruhi mereka. Disengaja atau tidak, Cartoon Saloon adalah jawaban Irlandia untuk Studio Ghibli!

Studio Independen dari Kilkenny

Bir merah tua itu terasa lembut di mulut, tipis-tipis tersirat rasa entah-buah-apa menyelinap. Ia selalu lembut menenangkan, cocok direguk pada tanggal berapa pun kau punya uang. Minuman berjenis Irish Red Ale itu bermerek Kilkenny, sama dengan nama kota asal ia diracik. Pasokannya ke beberapa pub di Jakarta lantas terputus, dan saya baru mendengar lagi namanya sebagai suatu tempat penghasil film-film animasi memikat.

“Aku tumbuh dengan berpikir: akan sangat tragis jika aku tinggal di Kilkenny sepanjang hidup,” ujar Tomm Moore kepada Newyorker. Sebagaimana banyak anak muda dari desa atau kota kecil, Moore memimpikan tanah rantau yang lebih luas.

Bersama Ross Stewart, kawan yang sudah dikenalnya sejak masa sekolah, Moore mulanya meyakini komik adalah sarana ekspresi terbaik. Itu sebelum keduanya terlibat di Young Irish Filmmakers, di mana mereka mulai mendapat pekerjaan animasi. Kelak keduanya berduet menyutradarai Wolfwalkers, penutup Irish Folklore Trilogy.

Infografik Cartoon Saloon

Infografik Cartoon Saloon. tirto.id/Quita

Pada 1999, Moore bersama Paul Young dan Nora Twomey mendirikan Cartoon Saloon di Kilkenny. Awalnya, ia hanya menjadikan Cartoon Saloon sebagai batu loncatan. “Kami pikir pada titik tertentu kami akan mendapatkan 'pekerjaan betulan' di studio lain, tetapi itu [Cartoon Saloon] terus berjalan.”

Moore memutuskan bertahan di Kilkenny. Bersama Twomey, ia lantas mulai menggarap film panjang pertama mereka, The Secret of Kells pada 2005. Sembari mengerjakannya mereka mencari pemasukan dari mana saja, iklan, atau proyek-proyek animasi lainnya.

The Secret of Kells akhirnya dirilis sepuluh tahun sejak berdirinya Cartoon Saloon dan memperoleh berbagai penghargaan. Di saat bersamaan, Moore dkk. mengalami berbagai kesulitan. Film itu tidak begitu laku di Irlandia, dan mereka diterpa krisis finansial pada akhir 2000-an. Studio penghasil magis itu terancam mati muda.

Dari berbagai penghargaan dan nominasi, Academy Award (Oscars) jadi pembeda. Masuknya The Secret of Kells ke dalam kategori Best Animated Feature (yang dimenangi film Pixar, Up) mengubah semuanya. Orang-orang ingin melihat karya mereka berikutnya. Cartoon Saloon pun jalan terus.

Moore membulatkan tekad untuk tetap mengarahkan lampu sorot ke tanah kelahirannya. Mengangkat mitos selkie (manusia-anjing laut) menjadi proyek berikutnya. Song of the Sea lantas turut mengumpulkan sederet penghargaan dan pengakuan internasional.

Tak ada makhluk mitos dan ornamen-ornamen latar seperti simpul dan triskelion Celtic pada film ketiga Cartoon Saloon. Berpaling sejenak dari Irlandia, The Breadwinner yang mengangkat kisah dari buku berjudul sama oleh Deborah Ellis, mengambil tempat dan waktu di Afghanistan di bawah kekuasaan Taliban.

Kesuksesan internasional tiga film pertama mereka mendaratkan pendanaan dari Apple TV+ untuk proyek berikutnya Wolfwalkers (yang ide pembuatannya baru dicanangkan saat produksi Song of the Sea) pun hadir untuk melengkapi trilogi rekaan Tomm Moore. Oscars masih belum mendarat di Kilkenny, lantaran lagi-lagi dimenangi Pixar (kali ini, Soul). Namun, berkat bertaburnya penghargaan dan nominasi lainnya, Wolfwalkers pantas menyandang predikat sebagai film terbesar Cartoon Saloon.

Kini, fase kisah-kisah rakyat dan mitos Irlandia itu telah berakhir. Bersama studio seperti Laika, studio kecil dan independen bernama Cartoon Saloon kini menjadi penantang utama para raksasa seperti Ghibli, Pixar dan Disney di arena arus utama film animasi dunia.

Untuk kita yang hanya bisa memimpikan tempat-tempat yang jauh, Irlandia kini tak hanya terlihat hijau, yang dibanjiri bir hitam (dan merah), dan ditinggali leprechaun belaka, tapi juga tampak kaya akan warna, yang juga didiami Selkie dan Crom Cruach. Fase menghidupkan mitos kampung halaman boleh saja berakhir, tetapi kisah-kisah buatan Cartoon Saloon bakal hidup lebih lama. Mereka layak untuk terus ditonton ulang, baik bersama anak-anak maupun tidak.

Baca juga artikel terkait atau tulisan lainnya dari R. A. Benjamin

tirto.id - Film
Penulis: R. A. Benjamin
Editor: Windu Jusuf