tirto.id - Arcane, setidaknya bagi saya, muncul begitu saja di internet. Tahu-tahu ia riuh diperbincangkan dan ramai diganjar nilai tinggi oleh para kritikus. Promosinya besar-besaran, termasuk menyalakan gedung tertinggi dunia, Burj Khalifa, dengan cuplikan-cuplikan.
Penyebab saya agak lama menyadarinya barangkali karena saya bukanlah pemain League of Legends, gim MOBA yang menjadi titik berangkat seri ini. League of Legends (LoL) disebut-sebut sebagai salah satu gim esports terbesar dunia yang sempat mencapai 180 juta pengguna bulanan aktif dan turnamennya lazim dihelat di banyak tempat. Ia datang dari dapur Riot Games, perusahaan juga ada di balik gim online beken lain seperti Valorant.
Dengan reputasi internasional yang harum, alami saja jika LoL dibuatkan spin-off-nya, entah itu dalam bentuk musik atau komik.
Untuk serial animasi Arcane, yang ditugaskan sebagai kreator adalah Christian Linke dan Alex Yee dan kursi sutradara diduduki Pascal Charrue serta Arnaud Delord. Riot Games menggamit Fortiche Production, studio animasi dari Prancis yang sebelumnya pernah dilibatkan dalam proyek-proyek LoL lain seperti video K/DA - POP/STARS yang telah ditonton lebih dari 470 juta kali di Youtube.
Sebesar-besarnya judul gim, novel, atau apa pun yang melatari kisah yang diadaptasi ke film atau serial televisi, ia akan tetap memunculkan keraguan di kalangan penonton yang tidak akrab dengan materi aslinya. Tapi Arcane baru saja memecahkan rekor sebagai best-rated show Netflix. Ia juga menduduki peringkat teratas chart Top 10 Netflix di 52 negara, menggeser judul fenomenal lain seperti Squid Game.
Lantas, mengapa ia akhirnya tetap ramai ditonton? Sederhananya, karena kau sama sekali tidak perlu memainkan atau bahkan tahu apa itu LoL untuk ikut hanyut dalam cerita dan dalam kehebatannya.
Berpencar dan Bertemu
(Tentu saja memuat spoiler)
Dari 150-an champion (karakter) dalam LoL, para kreator memilih untuk fokus pada grup yang terdiri dari kakak-beradik bernama Vi dan Powder. Sejak seri dimulai, kita dihadapkan pada dendam, luka, dan motif yang mendasari petualangan fisik dan mental dua remaja perempuan itu, juga karakter-karakter lainnya.
Vi mempersingkat waktu dengan parkour dan tak kenal ba-bi-bu. Sementara adiknya dicap sebagai pembawa sial (jinx) di mana pun ia bernaung. Mereka tinggal di bagian kota yang terepresi, undercity bernama Zaun. Zaun adalah habitat "si miskin" di mana ketidakpuasan dan kecemburuan terus berlangsung dan perlawanan sedang dimasak untuk menghadapi kesewenang-wenangan Piltover, bagian kota tempat tinggal mereka yang membuat aturan--atau "si kaya".
Ini adalah motif berulang dalam sinema. Kita bisa menemukannya pada Metropolis (1927) hingga yang lebih terkini, Snowpiercer (2013).
Dalam act 1, cerita mulai dipecah ke dalam dua rute utama: Vi dan Powder berkutat di Zaun dan para saintis seperti Jayce Talis dan Viktor di Piltover. Kelak jalan cerita terus bercabang menjadi rute-rute lebih kecil, menyingkap backstory dan motif para karakter dengan luka masing-masing. Semuanya dibangun dengan rapi dan teratur. Ini adalah waktu di mana dunia Arcane dibangun dan jalan serta jembatan untuk para protagonis dan antagonis betulan mulai dirakit.
Piltover juga dijuluki sebagai city of progress. Selama dua abad kota para borjuis ini bertumpu pada sains. Saintis seperti Jayce Talis, dengan pengalamannya menyaksikan sihir, menegaskan bahwa sihir bisa membantu kota dan warga lebih maju lagi. Jayce tak ubahnya Nikola Tesla yang mengulik batu bertuah. Latar sains dan steampunk di dunia Arcane pun ketambahan sisi magis dengan ketidakstabilannya. Di city of progress pula ada harga untuk sebuah kemajuan, termasuk mengganti mereka yang kadung tua dan lamban.
Sementara di "kota bawah" kita dibuat menyadari kejanggalan dalam komposisi grup protagonis yang beranggotakan Vi dan Powder. Mereka tidak begitu fungsional, yang bisa kita maklumi lantaran kenaifan mereka sebagai anak muda. Namun ketidaksempurnaan itu meruncing. Petaka demi petaka terjadi dan mereka yang berbagi kesamaan nasib berakhir dalam satu kubu, membaptis diri dari luka menganga dan menjadi pribadi yang baru dengan segala cacatnya, menjadi monster serupa Quinn dan Mr. J.
Momen-momen paralel yang terjadi pada para setiap karakter kerap ditampilkan selang-seling. Ambil contoh: Lala yang satu bercumbu di atas menara gading, yang lainnya kepayahan mengonfigurasikan persamaan matematika dengan huruf-huruf rune, sains, dan sihir. Senjata maupun gawai mekanis yang memanfaatkan mineral ditembakkan. Kristal dan gemstone jadi sumber kekuatan dan karenanya bahan rebutan. Dilema moral jadi menu pokok, dan mereka yang radikal kontras dengan pihak dengan gagasan-gagasan lunak di kepalanya.
Ketika karakter dan worldbuilding seakan selesai dibangun, prahara antara mereka yang terkait satu sama lain kian membuncah ke dalam cerita yang kian kompleks. Perkembangan tidak berhenti di sana. Ada politik dan filosofi yang berbenturan dan pastinya perlawanan kelas.
Di balik baku hantam melawan musuh atau pun luka pribadi, para penonton disadarkan bahwa dunia Arcane adalah zona abu-abu berukuran kota. Karakter yang simpatik atau yang tumbuh menjadi favoritmu mungkin saja tidak sesuai dengan yang kau proyeksikan, tetapi kau selalu ingin bertahan di sana, menyaksikan bagaimana orang-orang itu dan lingkungannya tumbuh dan berubah. Hal itu sudah merupakan kesuksesan tersendiri dari sebuah cerita.
Animasi dan Musik
Kesan paling awal saya saat menyaksikan Arcane adalah bahwa ia bagaikan salah satu episode seri animasi orisinal Netflix, Love, Death & Robots, yang dikembangkan lebih lanjut, baik dari segi tema maupun estetika tampilannya.
Arcane menggabungkan teknik animasi 2D (tampak pada asap, ledakan, bahkan pertarungan) dan 3D, di tengah guratan gambar dan aksi yang mungkin ditujukan demi membuat para penonton dewasa terpikat. Latarnya sibuk dan terus bergerak demi menggambarkan dunia yang selalu maju dan terus berputar. Pencahayaan pada setiap frame-nya superior, menyiratkan gagasan sekaligus membantumu fokus pada tiap perpindahan.
Wajah para karakternya ekspresif dengan mimik yang kerap menyerupai orang betulan sambil sesekali tetap "terasa kartun". Jari-jemari mereka bergerak sesuai perasaan, demikian pula helai rambut yang mengikuti gerak-gerik karakternya. Kadang ia terasa seperti The Adventures of Tintin (2011) atau Alita: Battle Angel (2019) yang mengaburkan batas-batas animasi tapi tanpa motion-capture.Arcane tetap menjejak dan bertumpu pada keunggulan animasi sebagai medium cerita.
Perihal penokohan, ia ditunjang voice acting yang tepat, terutama untuk karakter-karakter dengan screentime tinggi. Untuk urusan tersebut, Arcane menggamit aktor seperti Hailee Steinfeld, Katie Leung, dan Ella Purnell.
Arcane sangat diupayakan untuk digdaya dari frame ke frame. Shot-shot-nya memukau, entah saat mengikut Vi parkour dari bangunan ke bangunan atau pertarungan-pertarungan yang meski singkat tapi ditampilkan dengan penuh gaya; penuh selera. Itu semua sering bikin saya tak mampu berkata-kata.
Semua aspek itu direkatkan dengan penempatan scoring maupun musik yang tepat guna. Scoring penuh suspense maupun yang bernuansa foreboding di sana-sini. Komposisi gubahan Alexander Temple dan Alex Seaver berderap mengikuti seri berpindah dari satu ketegangan ke ketegangan lain.
Lagu-lagu dari para musisi populer seperti Imagine Dragons, Sting, dan Woodkid dihadirkan, mungkin demi menyasar penonton yang lebih luas, tapi juga tidak membuat nada-nada dalam Arcane melenceng kelewat jauh.
Kalau ada yang bisa lebih dimaksimalkan, berdasarkan denyut dan tema seri ini, Arcane mungkin bakal kian mencekam jika mereka merekrut lebih banyak musisi spesialis synthpop, EBM, atau mereka yang memainkan genre steampunk itu sendiri. Bisa pula dengan menggandeng nama-nama yang tak kalah populer tapi juga tetap "sealiran" dengan Arcane, semisal Perturbator atau Trent Reznor. Anggap saja itu sekadar preferensi saya yang ingin melihat Arcane jadi lebih gelap lagi.
Fondasi Masa Depan
Sebagai penonton nonpemain LoL, saya menyimpulkan Viktor, Heimerdinger, dan beberapa karakter dengan backstory lain adalah karakter yang juga bisa ditemukan dalam gimnya. Selebihnya, mungkin karakter-karakter baru yang memang dibuat untuk seri ini, yang bukan tak mungkin dimasukkan ke dalam LoL kelak.
Begitulah. Arcane dengan sukses membuka peluang-peluang baru untuk serinya sendiri maupun LoL ke depan. Katakanlah membuat seri dari para champion lain yang kelak bisa berujung pada semesta sinematik LoL.
Musim kedua Arcane kabarnya sudah mulai dikerjakan. Tentu siapa pun yang terlibat menghadapi tantangan mahaberat: Membawa seri ini jadi lebih hebat lagi atau paling tidak menyamai standar tinggi yang telah ditetapkan. Standar yang juga sangat mungkin menjadi tolok ukur bagi animasi dewasa lain. Seri atau film masa depan sangat mungkin mendongak pada Arcane; sangat mungkin frame atau koreografi dan shot pertarungannya dibanding-bandingkan dengan Arcane.
Salah satu pilihan paling tepat dari para kreator seri ini sebetulnya telah muncul sedari awal. Dengan durasi 40-44 menit per episode, mereka punya waktu cukup untuk mengembangkan banyak hal sembari tetap menampilkan atmosfer dunianya. Dengan naskah dan penulisan yang mampu menuntun penonton, familier atau tidak dengan Vi dan Powder. Kemilau animasi yang menunjukkan bahwa mereka yang survive adalah mereka yang penuh luka, yang juga harus terus siap dengan luka-luka baru.
Arcane dipersiapkan untuk menjadi besar, tanpa ada roda gigi yang putarannya tak seirama.
Editor: Rio Apinino & Aulia Adam