tirto.id - Akibat satu dan lain hal, pada tahun 2021 sebagian besar orang di dunia lebih menderita dari biasanya. Gambaran situasi yang lebih buruk mungkin hanya bisa dilihat dalam serial animasi Cowboy Bebop. Di sana, pada tahun yang sama, memang tak ada pandemi tapi temperatur juga terus meninggi. Ditambah insiden Astral Gate, umat manusia terancam hujan batu bulan yang konstan melaju menubruk permukaan planet.
Akibat meledaknya Astral Gate, gerbang yang memungkinkan pesawat melakukan perjalanan lebih cepat dari cahaya, negara-negara bubar, segala infrastruktur hancur, dan para penghuni bumi terpaksa membangun rumah di bawah tanah atau pindah ke planet lain. Kapal-kapal luar angkasa jadi rumah dan kota-kota besar dengan estetika New York dan Hong Kong di berbagai planet jadi tempat singgah. Manusia sudah menyerah atau tidak peduli lagi pada bumi.
Hasilnya adalah tatanan korup antarbintang dan wild west mengambil tempat di berbagai planet dengan kriminal yang merajalela. Polisi mengupah para bounty hunter untuk melakukan pekerjaan mereka.
Kehidupan distopia yang terjadi di seantero galaksi tersebut dapat kita saksikan lagi sekarang. Cowboy Bebop kembali. Ia ditayangkan ulang di Netflix, juga dibuatkan live action yang rencananya bakal tayang November nanti.
Mahakarya anime ini berangkat dari film-film western maupun noir, yang juga terilhami Alien, Taxi Driver, 2001: A Space Odyssey, dan banyak lagi. Dari dalam negeri, ia sangat kentara terilhami serial manga/anime Lupin the Third buatan Monkey Punch.
Cowboy Bebop merupakan satu dari sedikit judul di mana para kritikus maupun semua yang pernah mengikuti kisahnya satu suara akan kemantapannya. Dalam beragam penilaian, kata "masterpiece" dilemparkan di sana-sini dan rasanya memang tak terdengar berlebihan.
Kreator Cowboy Bebop, Shinichirō Watanabe, juga dianggap sebagai salah satu tokoh yang merevolusi anime, disejajarkan dengan nama-nama seperti Katsuhiro Otomo (Akira) and Satoshi Kon (Perfect Blue).
Koboi Antariksa
Pada semesta futuristik bernuansa cyberpunk itu, jaz dalam berbagai subgenrenya, juga blues hingga waltz, tetap mengalun. Dalam episode paling ringannya pun, ia mampu mencapai tujuan: menghibur. Suatu kerja-kerja animasi nan piawai yang menjadi genre tersendiri yang disebut Cowboy Bebop.
Penggunaan elemen-elemen Barat, baik dari musik maupun referensi lain, membuat Cowboy Bebop tak bisa diasosiasikan dengan ciri satu kultur tertentu. Hal ini tampak mempermudah penonton-penonton luar Jepang untuk menikmati 26 episode dalam serial dan satu film panjangnya, Cowboy Bebop: The Movie (2001), yang berujung pada kesuksesan internasional anime ini.
Cowboy Bebop dirilis di Jepang pada 1998, diikuti Amerika Serikat pada 2001. Ia dibuat oleh Hajime Yatate, nama samaran yang digunakan oleh tim produksi dari studio animasi Sunrise. Dalam tim itu tergabung nama-nama seperti komposer Yoko Kanno dan sutradara Shinichirō Watanabe.
Cowboy Bebop merupakan karya debut Watanabe sebagai sutradara tunggal. Kelak ia juga menghasilkan anime seperti Samurai Champloo dan Space Dandy, juga turut mengarahkan film pendek dari salah satu judul sci-fi kegemarannya, Blade Runner Black Out 2022.
Gagasan untuk Cowboy Bebop pertama kali muncul tatkala Watanabe mendengarkan musik blues 1940-an. Ia lantas mulai membuat cerita dari komposisi gubahan Yoko Kanno. Ketika membuat karakter utama kisah ini, Watanabe mencampuradukkan banyak pengaruh. Untuk menampilkan kesan cool, Spike Spiegel digambarkan dari ciri fisik aktor Jepang Yusaku Matsuda. Tak sampai di situ, Spiegel bergerak layaknya versi yang lebih realistis dan murung dari Arsène Lupin III, bersikap seperti Clint Eastwood dalam film-film koboi, berkelahi menggunakan Jeet Kune Do ala Bruce Lee, dan menjalani kisah yang serupa dengan Eric Draven (The Crow).
Bersama para kru dengan kegilaannya masing-masing, Spike menemukan rumah dan tim yang fungsional. Dikatakan fungsional lantaran dengan kemuraman dan kegilaan masing-masing (terlebih Radical Edward), mereka nyaris selalu hadir untuk menolong satu sama lain di waktu-waktu kritis—yang biasanya diakibatkan minimnya perencanaan dan tendensi untuk beraksi impulsif. Fungsional juga lantaran selain berbagi kesamaan tiada-rumah-untuk-pulang, semuanya punya skillset jempolan (termasuk Ein dari spesies canis familiaris berjenis corgi).
Dengan berbagai keahlian, kru kapal angkasa Bebop seperti punya segalanya untuk menangkap buron-buron dengan harga tertinggi, selain halangan berupa hantu masa lalu dan tentunya, keberuntungan.
Emosi, Kontroversi, dan Legasi
Sebagai anime dewasa, Cowboy Bebop juga tak luput dari "kegagalan" semisal perspektif yang dinilai misoginis dan blaxploitation. Kontroversi yang lebih terasa dampaknya hadir di tanah kelahiran Cowboy Bebop sendiri, Jepang.
Lantaran berkonten dewasa, di Jepang Cowboy Bebop sempat hanya ditayangkan 12 episode. Entah itu kekerasan, seks, atau pun kompleksnya kehidupan dewasa, ia dianggap tidak cocok dengan penonton di bawah umur. Kebetulan, anime ini dirilis berbarengan dengan meningkatnya kekerasan di sekolah-sekolah.
Dalam panel Director Insights and Cowboy Bebop: Behind the Series, Watanabe menjelaskan mulanya mereka bekerja sama dengan Bandai Toys demi penjualan merchandise bertema antariksa untuk audiensi dari berbagai umur. Gagasan itu bertabrakan dengan ide Watanabe akan kisah para koboi antariksa. Proyek ini sempat tertunda hingga sister company Bandai Visual mengambil alih proyek—membebaskan Watanabe dkk. merealisasikan Cowboy Bebop sesuai ide mereka.
Watanabe juga enggan membuat kisah Cowboy Bebop berlarut-larut layaknya Star Trek yang bakal membuat dia terikat dalam satu proyek yang sama selama bertahun-tahun. Keputusan untuk hanya membuat Cowboy Bebop sepanjang satu musim bisa dibilang turut membantu serial ini mencapai status sebagai anime yang layak dikultuskan. Ia hanya hadir sekali dalam periode yang singkat namun selamanya bertahan dalam benak para penonton.
Maka jadilah Cowboy Bebop yang kita kenal sekarang, dengan aspek kekerasan yang tentunya tidak ditujukan untuk semua umur. Cowboy Bebop yang kita kenal dan kemudian balik menginspirasi Barat, terutama para sutradara macam Rian Johnson (Brick, Star Wars: The Last Jedi) maupun Quentin Tarantino. Sementara produser Cartoon Network, Sean Akins, menyebut Cowboy Bebop "mengubah anime" serta "meredefinisi cool dalam animasi, tak hanya di Jepang tapi juga di AS".
Tak jarang pula Cowboy Bebop terasa lebih film ketimbang film. Selain mengubah anime maupun mempertegas animasi sebagai medium cerita, dalam berbagai analisis kita bisa menemukan Cowboy Bebop dikaitkan dengan kesepian, kebosanan, dan ketidakmampuan menghadapi masa lalu. Belum lagi senggolan di sana-sini akan kapitalisme, eksistensialisme, hingga nihilisme. Sederhananya, kesulitan dalam pekerjaan dan karakter yang bokek dari waktu ke waktu akan sangat mudah nyambung dengan banyak penonton dewasa.
Cowboy Bebop bukan hanya sci-fi, melainkan juga emosi. Pendar-redup kisah manusia dan emosinya yang membuat anime ini menjadi sebuah karya yang tak lekang dimakan waktu, 2021 maupun 2071. Selayaknya kehidupan dewasa, kadang ia bikin tergelak, lebih sering lagi bikin kelu.
See you (in Live-Action), Space Cowboy
Upaya pertama mengangkat Cowboy Bebop ke dalam bentuk live-action bisa ditelusuri hingga 2008. Saat itu 20th Century Fox dikabarkan bakal memproduksi Cowboy Bebop versi orang betulan, dengan Keanu Reeves diisukan bakal memerankan Spike Spiegel. Proyek urung berlanjut dan live-action koboi antariksa pun hanya jadi ide yang terpendam selama belasan tahun.
Netflix akhirnya mengambil alih proyek ini dan merealisasikannya pada 2021, tahun yang punya arti khusus dalam anime-nya. Watanabe dikabarkan terlibat sebagai konsultan kreatif dan urusan musik tetap ditangani oleh Yoko Kanno.
Menghadirkan kisah manusia yang membuat penontonnya merasa terhubung dan terwakili jelas menjadi tantangan berat buat semua orang di balik proyek ini. Ekspektasi dan beban berat dipanggul agar Cowboy Bebop tidak menjadi seperti, ambil contoh terburuk, Dragonball: Evolution (2009). Dalam hal ini Cowboy Bebop tampak meyakinkan baik dalam teaser di mana mereka bermain-main dengan frame atautrailer resmi, setidaknya dari segi visual dan musik.
Namun, beragam kritik sudah mulai bertebaran di media sosial dan kolom komentar video teaser maupun trailer, semisal aktor John Cho yang dinilai kelewat tua untuk memerankan Spiegel, atau para aktor yang tampak seperti cosplay alih-alih menyatu dengan setelan mereka, hingga tudingan gaya sinematik yang mengingatkan pada adaptasi Scott Pilgrim vs. the World (2010).
Kendati kelak ia tak cukup memuaskan, toh kita bisa terus kembali menyaksikan ulang Cowboy Bebop dalam bentuknya yang otentik, menonton ulang 26 episode kartun pengembaraan kosmik dan urusan masa lalu yang tak kunjung usai. [Terus] mempertanyakan ulang hidup yang tak ubahnya mimpi, yang harus terus dijalani sampai bintang kita di langit sana meredup.
Editor: Rio Apinino