tirto.id - Pada 2016 lalu, film Istirahatlah Kata-Kata ramai dibicarakan sebagai film pertama yang mengangkat kisah Wiji Thukul, aktivis dan penyair yang hilang menjelang keruntuhan Soeharto.
Film ini jadi sorotan juga lantaran sutradaranya Yosep Anggi Noen, memilih untuk menggambarkan sosok Wiji Thukul--yang kini masih hilang--sebagai seorang pelarian yang murung, suami, dan ayah alih-alih manusia politik.
Tiga tahun setelahnya, Anggi Noen kembali muncul membawa film panjang terbarunya The Science of Fictions atau Hiruk Pikuk si Al-Kisah. Kali ini ia bermain-main dengan teori konspirasi pendaratan di Bulan, sebuah 'teori' yang tarafnya sedikit lebih canggih daripada segala gagasan tentang Bumi datar. Kendati konyol, teori konspirasi semacam itu rupanya bisa menjadi bahan fiksi yang menggemaskan.
The Science of Fictions bercerita tentang Siman (diperankan Gunawan Maryanto), seorang pria pendiam yang tak sengaja menyaksikan syuting pendaratan di Bulan oleh para kru asing, di sebuah area tak berpenghuni di Gumuk Pasir, Bantul pada tahun 1960-an. Siman ditangkap oleh para penjaga dan lidahnya dipotong agar tak menyebarkan rekayasa pendaratan di Bulan.
Siman pun menjalani hidupnya dalam slow-motion, menirukan gerak-gerik khas astronot di luar angkasa. Orang-orang sekampung menganggap Siman tak waras.
Di awal film The Science of Fictions, saya sempat mengira Anggi Noen akan kembali menyentil satu sejarah kelam Indonesia, yaitu peristiwa 1960-1965. Sepenggal-dua penggal peristiwa itu memang hadir, namun dalam dosis kecil saja. Fragmen kecil itu digunakan untuk mengulik persoalan yang semakin santer beberapa tahun belakangan ini: bagaimana kebohongan direproduksi dan sejauh mana kita mengimaninya sebagai kebenaran.
Gerak Tubuh Siman
Gunawan Maryanto berakting sebagai Wiji Thukul di Istirahatlah Kata-Kata. Yosep Anggi Noen kini mengajaknya untuk memainkan karakter utama Siman dalam The Science of Fictions.
Sepanjang film Siman tak mengeluarkan satu patah kata pun karena lidahnya dipotong. Siman berbicara melalui anggota tubuhnya yang lain. Ia berusaha mengungkap kebohongan orang-orang di masa lalu dengan bergerak lambat layaknya astronot di ruang angkasa.
“Tak ada orang yang tepat selain Gunawan Maryanto. Ia bisa membahasakan sebuah situasi yang rumit dalam gerak tubuh secara sederhana,” kata Anggi Noen, dikutip Antara.
Hiruk pikuk kisah dalam The Science of Fictions hadir melalui tubuh Siman. Kebisuan lidahnya adalah cerminan pembungkaman kebenaran yang kemudian ditutupi kebohongan demi kebohongan resmi. Pemotongan lidah Siman oleh petugas bersenjata menegaskan hanya orang yang berkuasa yang bisa memaksakan orang lain untuk percaya pada kebenarannya, entah melalui sekolah, museum, monumen, atau media.
Gerakan lambat, kostum astronot yang Siman buat dengan mengumpulkan uang hasil kerja kasarnya, serta rumah yang terbuat dari perkakas mesin cuci ditampilkan sebagai cara Siman menolak diam. Siman tak menyerah. Dengan segala kekurangannya ia tetap ingin menegaskan, tak ada pendaratan astronot di Bulan, bahwa itu cuma akal-akalan penguasa.
Ada masanya ketika Siman tak bergerak lambat. Gerak tubuh Siman lancar ketika marah, kecewa, dan penuh birahi.
Siman berjalan terburu-buru usai sadar uang tabungannya dicuri teman dekatnya sendiri. Siman bergerak normal juga selepas tak menerima upah menari di acara nikahan. Siman juga cekatan menghitung uang untuk diberikan kepada salah satu perempuan (Asmara Abigail) yang hendak ia tiduri.
Di sinilah Anggi Noen mengizinkan Siman memiliki dirinya sendiri, seolah mau berkata: hidupmu tak melulu soal orang lain yang ingin kamu ungkap kebohongannya.
Semesta Siman dirancang dengan cermat. Anggi Noen membubuhkan detail-detail penting di sana-sini, mulai dari latar tempat di Bantul hingga permainan waktu dan kontras warna.
Tempat menjadi begitu berarti di film ini. Kisah dimulai dari tempat syuting pendaratan astronot di bantul (Gumuk Pasir). Tempat terlarang itu membuat Siman harus kehilangan lidah dan kemampuannya bertutur kata. Tempat itu juga yang mempengaruhi sebagian besar karakter Siman, hal-hal yang ia pilih untuk melanjutnya hidup, pilihannya atas bentuk rumah, hingga pekerjaannya menari dengan baju astronot.
Kemalangan Siman dan rekayasa pendaratan astronot di Gumuk Pasir Bantul juga digarap Anggi Noen melalui permainan warna sebagai penanda waktu. Film akan berwarna hitam putih saat membicarakan masa lalu, ketika penguasa terus mengulang kebohongan, serta saat orang-orang yang dituduh komunis ditangkap. Warna mulai masuk untuk menggambarkan Siman hari ini.
Sebagai pencipta, Anggi Noen terlihat sangat antusias dengan karakter rakitannya, Siman. Terlalu antusias bahkan, sampai-sampai beberapa tokoh selain Siman hanya keluar masuk cerita dan terlupakan begitu saja.
Lihat saja kehadiran penjual warteg (diperankan Marissa Anita) yang nampaknya hanya diada-adakan untuk menanyai berapa uang di kantong Siman. Atau mantan Tenaga Kerja Asing (diperankan Lukman Sardi) yang tidak jelas perannya selain membuat Siman berganti mata pencaharian dari buruh di pembuatan genteng hingga jadi buruh di toko besi. Asmara Abigail di film ini juga hadir sekedar menunjukkan Siman punya ketertarikan seksual. Di luar itu, mereka tak hadir.
Kehadiran kamera usang si pejabat berseragam telah berhasil menciptakan mitos pendaratan astronot di Bulan. Di tangan Anggi Noen, kamera menjadi alat untuk melontarkan sebuah pertanyaan ke penonton: Anda percaya semua yang pernah Anda tonton?
Editor: Windu Jusuf