Menuju konten utama
Wiji Thukul

Menghidupkan Thukul Melalui Film

Film tentang seorang penyair yang dihilangkan oleh rezim Soeharto, mengambil masa saat bersembunyi dari kejaran tentara dan intelijen Orde Baru. Personal sekaligus politis: menuntut negara untuk segera menuntaskan kasus kejahatan atas kemanusiaan.

Menghidupkan Thukul Melalui Film
Buku saku kumpulan puisi Wiji Tukul menemani pemutaran film 'Istirahatlah kata-kata' di Kantor Kontras Surabaya, Jawa Timur, Rabu (18/1). Film yang mengangkat sepenggal kisah Wiji Thukul diputar serentak di 15 kota (19 bioskop) pada 19 Januari 2017. ANTARA FOTO/Zabur Karuru/pd/17

tirto.id - “Film ini adalah pengeling-eling. Pengeling-eling bukan sekadar pengingat Wiji Thukul,” kata Yosep Anggi Noen, sutradara Istirahatlah Kata-Kata.

Pengeling-eling dalam bahasa Indonesia berarti pengingat, peringatan, atau kenangan. Namun bagi Anggi, yang lahir dan besar di Yogyakarta dan ketika peristiwa penculikan orang tahun 1997-98 berusia 14 tahun, kata pengeling-eling lebih dari sekadar makna harfiahnya.

“Pokoknya ini pengeling-eling, jangan diterjemahkan, ini maknanya lebih tinggi dari pengingat,” celetuk Anggi.

Sulit bagi Anggi untuk memaknai film Istirahatlah Kata-Kata itu. Kesulitan itu lantaran sosok Wiji Thukul, lakon utama film tersebut, tidak pernah dikenalnya secara langsung. Seperti kebanyakan anak Indonesia generasi tahun 1980-an dan sesudahnya, Anggi mengenal Thukul lewat puisi-puisinya, dan segelintir orang lagi yang tahu Thukul hanya lewat cerita mulut ke mulut para sahabatnya.

Thukul adalah seniman sekaligus aktivis. Ia bagian dari mayoritas masyarakat Indonesia dari pulau Jawa yang miskin, tinggal di pinggiran Kota Solo, yang punya cita-cita keadilan bagi seluruh rakyat di negara kepulauan ini. Ia terlibat dalam satu gelombang besar dari semua kalangan—mahasiswa, pemuda, intelektual, seniman, kalangan terdidik, orang-orang terkenal dan orang-orang tanpa nama—dalam organisasi maupun bukan, yang melihat Indonesia saat itu, sebuah negara yang digerakkan oleh rezim otoriter, telah seenaknya diatur untuk menopang kekayaan pribadi dan jaringan kekuasaan Soeharto sejak 1967.

Kekuasaan itu bernama Orde Baru dan ia ditopang oleh istana, tangsi militer, dan partai tunggal penguasa. Kekuasaan ini lahir lewat pembantaian massal pada 1965-1967, dan selama 30 tahun berikutnya menciptakan pola pembangunan dengan membungkam suara kritis lewat pemenjaraan bahkan pembunuhan. Orang seperti Thukul melihat simbol kekuasaan saat itu, Soeharto, harus ditumbangkan.

Momennya krusial. Pada 1997 krisis finansial menghajar Asia. Indonesia-nya Orde Baru, yang bergantung pada modal asing, sempoyongan menghadapi krisis ekonomi tersebut. Nilai tukar rupiah ke dolar empat kali lebih rendah dari tahun sebelumnya. Inflasi meroket, harga pangan melonjak, dan nilai tukar rupiah terjerembab. Indonesia menghadapi dua agenda politik besar: Pemilu 1997 dan Sidang Umum pada Maret 1998.

Kelompok pro-demokrasi, yang tumbuh pada 1980-an, melihat perlu ada kebebasan politik yang lebih besar.

Thukul dihilangkan pada kurun gelombang protes anti-Orde Baru pada akhir 1990-an itu. Ketika Soeharto lengser pada 21 Mei 1998, ia tidak terlihat dalam ratusan ribu mahasiswa dan rakyat biasa yang merayakan keruntuhan simbol rezim otoriter itu dengan gegap-gempita. Namanya muncul dalam pemberitaan saat teman-temannya, dan organisasi hak asasi manusia, mulai menyoroti kasus penghilangan secara paksa pada 1997-1998.

Sampai sekarang, bersama 12 aktivis, pemuda, dan mahasiswa lainnya, Thukul tak pernah kembali. Pria berperawakan ceking dengan gigi tonggos dan rambut ikal itu tak pernah dikembalikan oleh negara—institusi yang paling bertanggung jawab untuk menyelidiki kasus ini kepada publik dan terutama bagi keluarga korban.

Saat sebagian besar orang Indonesia membicarakannya, Wiji Thukul adalah nama, tetapi sosoknya sendiri tidak ada.

Bagi Yosep Anggi Noen, apa yang sulit itu—dalam menghadirkan Thukul lewat layar lebar—adalah masa yang hilang justru ketika seharusnya Thukul bisa menikmati kebebasan yang ia cita-citakan. Karenanya, di tengah kampanye agar negara secepatnya melakukan proses pencarian kasus penghilangan orang secara paksa, di saat orang membicarakan puisi-puisi Thukul, Anggi mengambil pilihan yang lebih personal. Ia melihat, bagaimanapun, Thukul ialah manusia biasa.

“Wiji mengalami ketakutan, kesepian, dia punya cinta untuk anak dan istrinya,” ujar Anggi.

Justru karena Thukul adalah manusia biasa, film berdurasi 97 menit yang menceritakan pelarian Thukul di Pontianak itu lahir. Ia juga menjadi sebuah tuntutan agar kasus-kasus kejahatan terhadap kemanusiaan di masa lalu segera dituntaskan.

Riset di Balik Film

Gagasan memfilmkan Wiji Thukul semula datang dari Yulia Evina Bhara, Tunggal Pawestri, dan Okky Madasari.

“Pada 2014, Wiji mendapat penghargaan dari ASEAN Literasi Award. Dari situ kita berpikir, kenapa kita enggak bikin film Wiji? Okky yang punya ide. Saya dan Tunggal langsung setuju,” ujar Yulia Evina Bhara, produser Istirahatlah Kata-Kata usai penayangan perdana di Epicentrum, 16 Januari lalu.

Sebelum ide itu diwujudkan, mereka bertiga mengajak sejumlah aktivis untuk mengapresiasi karya-karya Thukul. Pada 2015, bersama adik Thukul, Wahyu Susilo, mereka terlibat dalam gerakan "Barisan Pengingat". Ide gerakan ini mengampanyekan kasus penghilangan paksa lewat simbol Wiji Thukul dengan membuat mural di sejumlah titik di Jakarta.

Banyak aktivis yang bergabung dalam gerakan itu. Beberapa diskusi soal Thukul digelar. Puisi-puisi Thukul dibacakan. Gerakan ini juga menerbitkan buku kumpulan puisi Wiji Thukul berjudul Nyanyian Akar Rumput, terbit pada Maret 2014.

Setelah ide membuat film itu muncul, Ebe—sapaan akrab Yulia Evina Bhara—dan teman-temannya melakukan riset tentang Thukul. Mereka mencari literasi yang membahas Thukul, menemui para sahabat, dan mengumpulkan sejumlah puisi Thukul.

Sebelum memulai riset, mereka sudah sepakat menunjuk Yosep Anggi Noen sebagai sutradara.

Pemilihan Anggi tanpa perdebatan. Perdebatan panjang justru terjadi di saat riset, yang memakan waktu nyaris 1,5 tahun sebelum naskah film ditulis Anggi.

Riset itu akhirnya mengarah pada satu fragmen hidup Thukul ketika bersembunyi di Pontianak dari kejaran para tentara dan intelijen Orde Baru. Thukul dicari-cari penguasa karena dituduh "pembuat onar" pada peristiwa 27 Juli 1996—dikenal “Kudatuli”, sebuah serangan yang direncanakan oleh orang-orang pro-Soeharto terhadap kantor Partai Demokrasi Indonesia di Jalan Diponegoro, Jakarta Pusat.

“Fragmen saat Wiji di Pontianak ini menunjukkan kegelisahannya, ketakutan. Di situ terlihat bahwa Wiji itu manusia biasa, sama seperti kita,” tutur Anggi.

Untuk mendapat cerita tentang kehidupan Thukul di Pontianak, tim produksi film menemui Martin Siregar, sahabat Thukul, aktivis yang menyembunyikan Thukul di Pontianak. Martin menjadi saksi hidup bagaimana kehidupan Thukul selama di sana.

Dari Martin, tim produksi mendapat banyak cerita. Salah satunya tentang ketakutan Thukul saat bertemu dengan tentara di tempat potong rambut. Thukul yang menyamar dengan nama Paul cuma diam ketika ditanya si tentara tentang asalnya. Fragmen itu tergambar dalam film Istirahatlah Kata-Kata.

Berbeda dengan riset yang berselang lama, pengambilan gambar justru berlangsung 15 hari. Ada dua tempat yang dipakai: Pontianak dan Yogyakarta. Selama 12 hari, kru film mengambil latar Kota Pontianak dan Sungai Kakap. Sementara syuting di Yogyakarta berlangsung dua hari di Kali Duren dan Terban.

“Ada beberapa titik di Pontianak. Kalau di Yogyakarta di kampungnya Anggi. Kalau di Pontianak dipilih karena memang ceritanya tentang Pontianak. Kecuali di Yogyakarta itu karena faktor lebih mudah menjangkaunya,” ungkap Ebe.

Infografik HL Film Wiji Thukul

Pemilihan Pemeran

Satu malam pada awal tahun 2016, Marissa Anita menerima satu pesan singkat dari Yosep Anggi Noen: "Mar, kamu bisa bahasa Jawa, kan?"

"Iya bisa, kenapa, Nggi? Kamu mau ngajak aku main film?" jawab Marissa.

Tanpa basa-basi, Anggi langsung menawari Marissa untuk memerankan salah satu tokoh dalam film itu. Marissa langsung mengiyakan tanpa pikir panjang begitu mengetahui film tersebut mengangkat sosok Wiji Thukul.

“Saya waktu itu ditawari peran pembantu saja, bukan Sipon, istrinya Wiji. Saya tetap saja mau, karena ini tentang Wiji Thukul. Adalah kehormatan bagi saya bisa terlibat dalam film ini,” kata Marisa sesudah penayangan perdana Istirahatlah Kata-Kata.

Namun, saat proses lokakarya bersama para pemeran lain, Anggi justru meminta Marissa memerankan Sipon. Marissa kaget.

“Saya bilang ke Anggi, ‘Enggak bisa gitu, dong. Ini, kan, peran besar. Enggak bisa gitu saja.’ Tapi Anggi meyakinkan saya, pokoknya bisa,” ujar Marissa.

Marisa memang tidak ada mirip-miripnya dengan Sipon. Sipon bertubuh semok, sedangkan Marissa lebih ramping. Dialek bahasa mereka berbeda. Sipon dengan logat Solo, Marissa akrab dengan dialek Surabaya yang lebih lugas. Perbedaan itu sempat membuat Marissa khawatir. Anggi sendiri meminta Marissa untuk tidak meniru Sipon.

“Saya bahkan tidak boleh bertemu dengan Mbak Sipon supaya saya tidak mengimitasi. Saya diberi kebebasan untuk menginterpretasikan perasaan lakon,” kata Marissa.

Sementara untuk pemeran Wiji Thukul, Anggi mempercayakan kepada Gunawan 'Cindil' Maryanto, penulis dan pelakon teater Garasi di Yogyakarta. Dari perawakan, Cindil sedikit mirip dengan Thukul. Mukanya sama-sama terkesan tengil, rambutnya sama ikalnya. Bedanya, Cindil sedikit lebih pendek dan lebih berisi dibanding Thukul yang kerempeng. Untuk lebih membuat mirip, dokter memasang gigi tonggos palsu pada Cindil. Gigi palsu itu membuat Gunawan menjadi cadel, persis seperti Thukul.

Dua peran penting dalam film itu dipilih Anggi karena alasan yang sama. Keduanya sama-sama menguasai panggung. “Marissa sudah terbiasa di depan kamera. Mas Gunawan, enggak usah ditanya, dia itu salah satu pendiri teater Garasi,” ujar Anggi.

Untuk pemeran lain, Anggi menerapkan kriteria yang sama. Eduward Manalu, yang memeran Martin, juga pemain teater. Edo sudah terbiasa tampil di panggung. Begitupula Melanie Subono yang memerankan tokoh Ida, istri Martin. Melanie sudah terbiasa di atas panggung sebagai musisi.

“Edo itu memeran Martin menjiwai sekali, bahkan saat adegan ngelap motor, enggak ada falsnya,” kata Anggi.

Melipatgandakan Wiji Thukul

Setelah melalui proses panjang dan memakan waktu nyaris tiga tahun, film Istirahatlah Kata-Kata akhirnya tayang perdana di Festival Film Locarno pada Agustus 2016. Berturut-turtu film lalu diputar di beberapa festival film, di antaranya The Pacific Meridian International Film Festival, Filmfest Hamburg, Festival Des 3 Contines, dan International Film Festival Rotterdam.

Di Locarno, film ini mendapatkan sambutan cukup meriah. Anggi mengungkapkan, ada banyak penonton yang mengikuti sesi diskusi usai pemutaran film. “Kebanyakan mereka penasaran soal siapa itu Wiji Thukul, bagaimana sekarang kasusnya?” ujar Anggi.

Pada saat penayangan perdana di XXI Epicentrum, Jakarta Selatan, film ini mendapat perhatian dari sejumlah pejabat, aktivis, dan selebritas. Beberapa pejabat di antaranya Menteri Agama Lukman Hakim Saifuddin, Menteri Ketenagakerjaan Hanif Dhakiri, dan Dirjen Kebudayaan Hilmar Farid. Dari kalangan artis ada Dian Sastrowardoyo, Fadli Padi, Sarah Sechan, dan Hannah Al Rashid.

Pemutaran perdana itu untuk menyambut penayangan serentak pada 19 Januari di 15 kota di 19 bioskop. Lima belas kota ialah Jakarta, Bekasi, Tangerang, Bandung, Semarang, Yogyakarta, Solo, Surabaya, Mojokerto, Makasar, Kupang, Pontianak, Medan, Purwokerto, dan Denpasar.

Konsekuensi pemutaran Istirahatlah Kata-Kata di bioskop komersial: ia harus mendapatkan banyak penonton. Jika tidak, napas tayang di bioskop takkan panjang. Karena itu Anggi mengajak warga Indonesia, khususnya anak muda, untuk berbondong-bondong ke bioskop menyaksikan film ini.

“Setelah tidak di bioskop, film ini masih akan terus berjuang untuk bertemu dengan para penonton. Karena itu ajaklah orang-orang terkasih untuk menonton, sebab sejatinya film ini bercerita tentang kehilangan orang yang kita cintai,” ujar Anggi.

Kalaupun film ini tidak bertahan lama di bioskop komersial, Anggi tetap percaya bahwa film Thukul akan memberikan sesuatu bagi demokrasi di Indonesia. Anggi yakin film ini tidak hanya menghidupkan Thukul, tapi juga melipatgandakan sosok Wiji Thukul.

“Ia akan tetap ada dan berlipat ganda,” tutur Anggi.

Baca juga artikel terkait WIJI THUKUL atau tulisan lainnya dari Mawa Kresna

tirto.id - Film
Reporter: Mawa Kresna
Penulis: Mawa Kresna
Editor: Fahri Salam