tirto.id - Menonton Istirahatlah Kata-Kata, mau tak mau membuat saya membandingkan film itu dengan The Motorcycle Diaries (2004). Bukan perkara sosok yang terlibat aktivisme atau pemberontakan terhadap tiran. Tapi soal sosok dua orang yang selama ini dikultuskan, hingga kemudian film mendudukan mereka kembali ke khitahnya: manusia biasa.
Di Motorcycle Diaries—yang diambil dari buku berjudul sama karya Ernesto Guevara—kita bisa melihat sosok Ernesto. Bukan Che yang bercambang dan ditakuti musuh-musuhnya. Kita bisa melihat Ernesto yang agak pekok. Menggoda istri orang di pesta dansa. Dipaksa oleh Alberto Granado, kawan seperjalanannya, untuk mengambil bebek di tengah danau yang dingin. Atau dipalak Alberto yang sudah konak setengah mati terhadap seorang pramuria di atas kapal. Film ini juga menggambarkan sosok pejuang gerilya yang kerap diserang bengek, sama sekali tak macho seperti yang digambarkan oleh poster dan aneka foto sangarnya. Seperti itulah Yosep Anggi Noen menggambarkan sosok Wiji Thukul: penyair dalam titimangsa yang paling dibayangi ketakutan, kecemasan, juga kerinduan terhadap istri dan anaknya.
Film ini dibuka oleh adegan Sipon, istri Thukul, yang termangu. Kemudian kamera menunjukkan area yang lebih luas: seorang intel berpakaian serba hitam dan memakai jaket kulit, menginterogasi putrinya, Fitri Nganti Wani.
"Bapakmu kapan pulang?"
"Bapakmu sering membelikanmu mainan, ya?"
Yosep Anggi selaku sutradara, tidak menampakkan wajah Fitri. Sehingga atmosfer ketakutan ini tak benar-benar berhasil dihadirkan di awal. Kalaupun bisa dipahami, itu pun hanya oleh orang Indonesia yang tahu konteks betapa mengerikan laku intel di era Orde Baru.
Film kemudian berseling-seling menceritakan kehidupan Thukul pada Juli 1997. Saat itu penyair kelahiran Solo ini lari ke Pontianak, Kalimantan Barat. Ia ditampung kedua orang kawannya, Thomas dan Martin. Di periode ini, Thukul bersembunyi dan harus menelan pahit ketakutan dan kecemasan. Hal itu ditunjukkan, misalnya, saat pertama datang di rumah Thomas.
"Ada pintu lain enggak kalau-kalau aku harus kabur?"
Selain kecemasan dan ketakutan, film ini mengajarkan satu hal: menjadi penyair yang menggelorakan perlawanan itu hidupnya bertungkus lumus dengan kesepian dan kebosanan. Dan Yosep Anggi berhasil dengan baik menggambarkan kebosanan dan kesepian itu.
Lewat close up wajah Thukul yang termangu, atau saat membeli celana pendek berwarna merah di sebuah toko pakaian bekas. Kita kemudian bisa menyadari bahwa kerinduan itu demikian menggigit, sehingga jarak dan ketegangan tak bisa membuat Thukul melupakan istrinya.
Sebagai film tentang aktivis yang hilang di senjakala Orde Baru, tentu ada banyak orang kecele saat menonton film ini. Apalagi mereka yang tak mencari tahu tentang film ini sebelumnya. Tak jauh-jauh, contohnya hadir di sebelah saya. Dia berbisik pada teman di sebelahnya: filmnya membosankan, kok enggak ada adegan Thukul diculik?
Ketidaktahuan tentang film ini, juga siapa Thukul, amat dimaklumi. Apalagi ini bukan tipikal film biografi yang menceritakan detail biografis. Selain itu, banyak orang memang mengenal Thukul sebagai sosok penyair yang dihilangkan dan belum diketahui hingga sekarang. Tapi untuk kemudian menyamakan film ini dengan film bertema penculikan lain, jelas adalah tindakan gegabah. Walaupun, lagi-lagi harus bisa dimaklumi.
Kita tentu tak akan menyaksikan kerja intelijen atau dar-der-dor ala Liam Neeson di Taken. Juga tidak akan menemui drama yang membuat jantungmu berdegup lebih kencang seperti di film Prisoners. Yang menegangkan di film ini hanyalah saat tentara tua bertanya kepada Thukul di kios cukur rambut, atau saat Udi—calon polisi gagal yang sikapnya selalu dim-Mekodim—menanyakan kartu identitas Thukul.
Sisanya, nyaris di sekujur film, Thukul ditampilkan sebagai manusia biasa. Ia seperti kita: bisa diledek kawannya ("burung kau tak seberapa besar", ditimpali oleh makian "wasyu" yang khas Jawa Tengah itu), dan yang memaksakan diri pulang ke Jawa untuk bertemu istrinya di tengah kondisi bahaya.
Kita malah akan melihat banyak simbol yang tentu bisa ditafsirkan dengan 1001 cara. Misalkan adegan ketika Thukul ke warung, di depannya ada dua orang yang makan, kemudian gambar beralih ke gelas yang dipenuhi semut. Atau saat Thukul bermimpi Udi bermain bulu tangkis, lengkap dengan celana loreng dan sepatu bot.
Acungan jempol layak kepada aktor dan aktris. Gunawan "Cindil" Maryanto amat epik memerankan Thukul, lengkap dengan cadel yang membuatnya tak bisa melafalkan huruf -R. Wajah dan pandangan kosongnya bisa menghadirkan kekalutan dan kejenuhan yang ia rasakan di pelarian. Sebagai aktor teater kawakan, Cindil lihai memainkan Thukul yang cemas terhadap keselamatan diri dan keluarganya, tapi juga tegar untuk terus menapak di jalan perlawanan.
Marissa Anita, yang memerankan Sipon, maksimal dalam memerankan sosok perempuan yang tegar sekaligus rapuh. Adegan yang ia mainkan di akhir film benar-benar bisa menguras emosi.
"Adegan menyapu (di penghujung film) itu satu kali take. Bayu mau ulang lagi karena kameranya goyang. Aku enggak mau. Karena akting mereka enggak bisa diulang lagi. Aku percaya dengan kualitas mereka selama ini di panggung," kata Anggi di Rolling Stone Indonesia.
Usaha Anggi memotret Thukul secara manusiawi amat patut dihargai. Setidaknya ia memberikan perspektif lain untuk memandang sang penyair 'Bunga dan Tembok'. Kita akan melihat Thukul yang biasa dari gambaran seorang penyair yang kata-kata membakarnya dikutip dalam pelbagai demonstrasi.
Tentu sebagai penyair yang punya banyak penggemar, pasti ada banyak pihak yang kontra terhadap film ini. Terutama karena Istirahatlah Kata-Kata diputar di jaringan bioskop terbesar di Indonesia. Tudingan mereka adalah: pihak yang membuat film ini telah mengapitalisasi Thukul, film tentangnya hanya bisa disaksikan di bioskop dengan harga mahal, padahal puisi-puisinya berkisah tentang kemiskinan dan orang papa.
Kritik semacam itu malah makin menebalkan keyakinan bahwa Thukul memang sudah dikultuskan; bahwa Thukul adalah sosok heroik yang seolah-olah haram dibawa ke layar lebar dan ditonton oleh kelas menengah yang sebelumnya sama sekali asing tentangnya. Dan karenanya, film ini justru menjadi godam terbaik dalam merobohkan tembok pengultusan itu: membebaskan penonton menafsirkan siapa Thukul.
Film ini kembali mendudukkan Wiji Thukul sebagai bagian dari ratusan juta orang Indonesia di tengah kurun paling krusial dan paling goyah, sebuah kurun yang mendorong sang penguasa Soeharto jatuh, yang meledak dalam kekerasan politik dan menelan Thukul. Ia dihilangkan penguasa dan kita sampai kini tidak tahu ia di mana.
Penulis: Nuran Wibisono
Editor: Nurul Qomariyah Pramisti