tirto.id - Ada banyak label yang dilekatkan pada Wiji Thukul karena pilihan politik dan perjuangannya justru membuatnya tak sekadar disebut penyair. Ia seniman dan aktivis buruh. Ia pejuang reformasi. Ia dicap negara sebagai "dalang", yang membuatnya diburu dan ia harus bersembunyi dari kejaran para intel Orde Baru. Ia bekerja sebagai tukang becak, calo tiket bioskop, dan ia seorang suami dan seorang ayah. Ia orang hilang dan ia masih hilang.
Almarhum pembela HAM Munir, yang membuka kasus penghilangan orang secara paksa 1997-1998, menyebut sosok Thukul sebagai aktivis dan seniman rakyat yang dengan tepat menggambarkan keterwakilan kelas sosialnya. Dalam pengantar buku puisi Aku Ingin Jadi Peluru (2000), Munir menyebut pilihan Thukul untuk bergerak bersama petani, buruh, dan kaum miskin adalah kesadaran yang ia ambil sendiri.
“Tampaknya dia sama sekali tidak peduli apakah itu dimulai dari kedahsyatan ekspresi perlawanan dalam sebuah puisi, atau dia memang memilih bergerak secara fisik dalam gelora gerakan rakyat,” tulis Munir.
Mumu Aloha, penulis dan redaktur Detik, menilai ada banyak lapisan kehidupan Wiji Thukul sehingga sisi kepenyairannya, salah satu yang paling kompleks, kurang dikaji secara serius. Ia lebih kerap dianggap aktivis ketimbang sastrawan, sehingga menenggelamkan diskusi tentang estetika puisi-puisinya. Mumu mengatakan sampai saat ini belum ada kritikus sastra yang membahas puisi Wiji Thukul dengan serius.
Salah satu dugaan mengapa estetika puisinya kurang dibahas serius karena anggapan puisi Wiji adalah puisi politik yang bicara tentang perlawanan, protes, dan pamflet.
“Pelabelan semacam itu menjadi penyakit dalam kebudayaan kita, sebab sekali seniman ditempeli label tertentu—misalnya "Rendra si Burung Merak, "Rendra si penyair pamflet"—maka hal itu mereduksi setiap upaya untuk memahami karya-karyanya,” tulis Mumu. Ini diperparah dengan pilihan pemberitaan media-media di Indonesia yang abai dan melanjutkan tradisi itu sehingga kepenyairan Wiji hanya terbatas pada peristiwa protes, bukan sastra.
Puisi-puisi Thukul memang cenderung mengabaikan kaidah estetik dan pakem. Mumu mencatat, dalam menulis puisi, Thukul memang cenderung tak peduli apa pun. Misalnya dalam segi bentuk, puisinya menabrak “aturan” tentang susunan bait, rima, metafora, pemilihan kosakata dan sebagainya. Dalam segi “aliran”, ia tak peduli apakah puisinya “surealis atau naturalis”. Ia juga menolak dijuluki sebagai penyair protes atau penyair kerakyatan.
“Dengan polos ia justru “meluruskan” bahwa dirinya menulis puisi sama sekali bukan untuk membela rakyat. Ia menulis puisi karena percaya bahwa puisi adalah media yang mampu menyampaikan permasalahan orang kecil,” tulis Mumu.
Empat Puisi tentang Puisi
Ada beberapa puisi Wiji Thukul yang bisa digunakan untuk menafsir dan melacak proses kreatifnya dalam membuat sajak. Puisi-puisi seperti "Para Penyair adalah Pertapa Agung" (tanpa tanggal), "Biarkanlah Jiwamu Berlibur Hei Penyair" (Mei 1985), "Penyair" (19 Januari 1988), dan "Sajak" (1988). Empat puisi tentang kepenyairan itu bisa sedikit menggambarkan bagaimana Wiji Thukul memandang puisi.
Pada puisi "Penyair" misalnya, Thukul menggambarkan bahwa menulis puisi bukan soal medium atau tempat: “jika tak ada mesin ketik / aku akan menulis dengan tangan / jika tak ada tinta hitam / aku akan menulis dengan arang / jika tak ada kertas / aku akan menulis pada dinding.” Sikap puisinya sebagai bentuk pembangkangan sipil digambarkan pada baris: “jika aku menulis dilarang / aku akan menulis dengan / tetes darah!”
Dalam puisi yang berjudul "Sajak", ia bicara tentang proses kreatif. Ia menulis: “Sajakku adalah kata – kata / Yang mula - mula bergulung – gulung / Dalam perasaan / Lalu lahirlah ketika kuucapkan.” Bait berikutnya: “Sajakku / Adalah kebisuan / Yang sudah kuhancurkan / Sehingga aku bisa mengucapkan / Dan engkau mendengarkan.”
Thukul hendak menyampaikan bahwa sajaknya tak sekadar protes atau perlawanan; ia ingin pembacanya bisa memahami bagaimana proses puisi itu dibuat.
Sementara sikap getir dan sinis Thukul pada penyair yang hanya bicara keindahan tanpa peduli realitas sosial ditunjukan dalam sajak "Para Penyair adalah Pertapa Agung". Ia menulis: “kaum gelandangan yang mendengkur pulas seperti / huruf kanji kumal di emper-emper pertokoan cina / tak pernah terjamah tangan-tangan puisi kita / sebab tak mengandung nilai sastra.” Ia juga menulis dengan satir bahwa “puisi cuma mencari jatidiri / jangan dibuka mata batin bagi kemiskinan / dan penindasan / puisi jangan menuntut yang bukan-bukan.”
Menurutnya, selama ini banyak “penyair” bertingkah seperti “pertapa agung” yang “bermenung di dalam candi / kelima indera dan telinga sukmanya / cukup bagi tuhan saja.” Dengan kalimat yang lebih lugas, Thukul mengkritik penyair sebagai manusia yang “tergenggam nasibnya oleh nilai dan Dewa-dewa / SASTRA”. Lantas ia meminta para penyair salon ini untuk “jangan diganggu jangan disambati.”
Mikael Johani, penyair dan kritikus sastra, menilai sajak-sajak Wiji Thukul penting karena menjadi pembeda dari selera arus utama. “(Puisinya) penting karena menyuarakan perspektif dan protes rakyat kecil yang selama ini diusir dari puisi Indonesia oleh kanonisasi Manikebuis Salaharahis,” katanya.
Selama ini ada upaya kanonisasi dan kooptasi selera, sehingga puisi Thukul yang bicara tema-tema kerakyatan tidak dianggap estetik, alih-alih dianggap tak lebih dari puisi protes dan pamflet propaganda. “Tapi memang sebegitu kuatnyalah kanonisasi art pour l'art Salihara,” kata Johani.
Di puisi lain berjudul "Biarkanlah Jiwamu Berlibur Hei Penyair", sikap anti-kanonisasi dan selera Thukul makin kental. Ia membuka puisinya dengan tantangan untuk melupakan para kritikus sastra dan menuntut penyair untuk menyegarkan pemikiran dengan pemandangan baru. Pemandangan baru yang ia maksud tentu adalah realitas sosial yang sumbing, kumuh, miskin, dan berlumpur. Thukul meminta penyair untuk “pergi menyelamlah ke keributan jalan raya kotamu / barangkali masih akan kautemukan polisi lalu lintas / yang seperti / maling, berdagang kesempatan dalam pasar lakon.”
Sikap anti-genit dan mendobrak selera jumud kesusastraan digambarkan Thukul dengan baris puisi yang keras: “begitu panjang riwayat bangsa tetapi hari ini kita baru /pandai memuja / masa lalu, mengelus-elus borobudur mendewakan nilai /ketimuran semu / tetapi sibuk breakdance dan membiarkan / penyelewengan kekuasaan.”
Menurut Thukul, pembangunan yang menyingkirkan rakyat kecil tak bisa ditulis dengan kata-kata indah atau bicara tentang burung atau angin belaka.
Sikap keras inilah yang kemudian banyak membuat orang gagal menyimak puisi Thukul sebagai peristiwa sastra ketimbang protes sosial.
Karena pelabelan penyair protes, menurut Mumu, orang selalu mengidentikkan puisi Thukul sebagai protes politik. “Padahal banyak puisi-puisi dia yang enggak protes tapi "sekadar" bicara kemiskinan, misalnya.”
Label penyair protes atau penyair aktivis akhirnya mereduksi kepenyairan Wiji Thukul sendiri. Seolah ia hanya berharga karena puisinya bicara tentang kemiskinan, protes, dan pemberontakan. Padahal kepenyairan Wiji lebih dari itu; ia mencatat realitas, menggubahnya menjadi sajak, dan membacakannya sebagai peristiwa kebudayaan.
“Karena telanjur distempel penyair protes, orang hanya membahas puisi-puisi dia dalam konteks perlawanan, padahal puisi dia cukup kaya,” kata Mumu.
Penulis: Arman Dhani
Editor: Fahri Salam